“Akh … Fabian, apa kamu terluka?” Rosalyn cemas karena tubuhnya mendadak menindih pria itu.“Aku tidak apa-apa, Rosalyn. Tapi ….” Sorot mata Fabian tertuju pada Dewa yang bersimpuh di belakang mereka.Sontak bola mata Rosalyn bergerak mengikuti arah pandang Fabian. Ia membeliak tatkala melihat pelipis Dewa dialiri darah. Kedua kaki Rosalyn ingin mendekat tetapi … tiba-tiba seorang wanita langsung menghampiri.“Ya ampun! Rosalyn, apa yang kamu lakukan? Kenapa Dewa terluka begini?”“Vinsensia ... aku tidak tahu kalau—”“Cukup! Kemarin kamu pergi tanpa sebab sekarang kamu kembali dan membuatnya terluka. Sebenarnya apa maumu Rosalyn?!” Vinsensia memelotot sembari memeluk Dewa dan membenamkan kepala terluka pria itu ke dadanya.Pemandangan itu membuat rongga dada Rosalyn menyempit. Ia masih terkejut atas peristiwa menyeramkan yang baru saja terjadi, dan … sekarang Vinsensia sedang membantu Dewa berjalan.“Minggir! Biar aku yang membantunya!” tegas wanita hamil itu. Rosalyn menjauhkan tangan
“Memangnya aku siapa berhak di sini? Sudah ada kekasihmu, jadi untuk apa?” Rosalyn tersenyum manis dan menggeser pandangan pada Vinsensia.Dewa menatap Rosalyn dan Vinsensia secara bergantian. Pria itu berpikir keras sehingga luka di kepalanya semakin sakit.“Vinsensia, temui Pandu. Katakan padanya untuk menyelidiki kecelakaan hari ini,” pinta Dewa.“Kamu mengusirku?!” Gadis itu berlinang air mata. “Dewa, aku yang membawamu ke sini, tadi Rosalyn hanya diam saja.”Bibir pucat Dewa memaksa tersenyum hangat untuk menenangkan gadis itu. Ia juga berupaya duduk menyandar lalu menatap lekat wajah memerah Vinsensia.Alih-alih berkata lembut, suara Dewa justru terdengar datar dan penuh tekanan, “Bukan mengusir, selidiki apa runtuhnya puing bangunan murni kecelakaan atau disengaja. Mengerti?”Vinsensia menghentak kaki dengan keras, lalu terisak dan keluar dari ruang perawatan. Gadis itu sempat melirik tajam pada Rosalyn yang tersenyum anggun.Setelah itu, Dewa mengulurkan satu tangan dan netra
Malam harinya di Vila Caldwell. “Kamu belum pulang?” Dewa menghela napas kala menatap Vinsensia mengantar makanan ke kamarnya.“Dewa, kamu lagi sakit. Kamu juga butuh perhatian.” Vinsensia menaruh nampan di atas nakas. “Makan dulu ya. Aku masak sup untukmu.” Sebelah sudut bibir Dewa berkedut, ia teringat kenangan masa lalu. Bola mata Dewa bergeser pada pintu karena menanti kedatangan Rosalyn.Bersamaan dengan itu pintu terbuka, seorang pelayan masuk sambil membawa bubur ayam. Aroma kaldu dan beberapa bumbunya menggugah selera. Seketika, Dewa menegakkan punggung sebab mengenal masakan ini.Sayang, melihat pelayan yang membawa makanan hati pria itu berubah hampa. “Mana mungkin Rosalyn,” gumam Dewa. Ekspresi wajah tampannya sangat masam.“Hah, apa? Kamu bilang apa?” Vinsensia menajamkan telinga tetapi Dewa tidak mengulang kalimatnya. Gadis itu melirik mangkuk bubur di tangan pelayan. “Kalian ‘kan tahu aku sudah masak untuk Dewa. Kenapa bawa makanan asing? Bagaimana kalau Dewa sakit p
“Pelakunya belum ditemukan. Tapi aku tidak menyerah, aku yakin bisa mengungkapnya,” kata Rosalyn ketika berdiskusi dengan anggota tim.“Benar, kecelakaan itu terlihat alami tapi hasil rekayasa dan kami belum memiliki bukti kuat satu pun,” sahut salah satu anggota tim.“Sebaiknya kita berhati-hati karena orang ini sangat licik dan licin. Yang jelas motifnya mencelakai Rosalyn,” geram Fabian yang berdiri tepat di samping wanita itu.Setelah beberapa saat anggota tim audit risiko membungkuk hormat pada Fabian dan Rosalyn. Tatkala Rosalyn ingin berbincang empat mata dengan Fabian, terdengar suara seorang pria tegas nan seksi.“Rosalyn Caldwell ….”Seketika Rosalyn dan Fabian menolehkan kepala. Sesaat keduana terkejut, terutama Rosalyn tidak menyangka suaminya masih nekat datang menemui padahal ia sudah menolak untuk kembali.“Senang melihatmu.” Tatapan Dewa yang semula tertuju pada Rosalyn bergeser pada Fabian. “Aku mau membawa istriku pulang, kalian sudah selesai ngobrolnya?” Secara pose
“Tentu saja salah!”Meskipun bibirnya menolak dengan lantang tetapi tubuh Rosalyn tidak bisa melawan. Apalagi saat ini punggungnya menempel pada dinding. Selain itu Dewa tidak memberi jarak sedikit pun.“Dewa, aku mau pulang!” tegas Rosalyn lagi.“Maksudmu mau melakukannya di kamar kita?” Dewa menyeringai. Kini jemari ramping dan dingin pria itu turun ke rahang dan leher lalu memainkan liontin tepat di atas dada.“Sudah kukatakan seharusnya kamu mencari kekasihmu! Aku bukan pelampiasan hasratmu, Dewa!” Rosalyn mengepalkan tinju.Lagi, Dewa menyatukan bibir mereka dengan gairah menggebu. Perlahan pria itu membimbing Rosalyn ke atas tempat tidur. Pagutan Dewa semakin dalam dan menuntut, tetapi Rosalyn mengatup rapat bibirnya.“Lepaskan aku, berengsek!” pekik Rosalyn setelah Dewa menjeda tautan bibir.“Oke.” Dewa beranjak dari tempat tidur. Ia meraih sesuatu yang tersimpan rapi di atas meja. “Ini hadiah untukmu.”Rosalyn memicingkan mata menatap sertipikat di tangan suaminya. Ia tidak me
“Kenapa makan duluan?” Dewa tertegun menatap Rosalyn yang duduk anggun menyantap semangkuk sup.Rosalyn mengenakan piama berbahan satin berwarna ungu muda menambah aura kecantikan berkali-lipat. Apalagi di bawah cahaya terang lampu membuat wanita itu kian bersinar.“Kamu lama, perutku lapar banget.” Rosalyn membelai perutnya.Senyum tipis tersungging pada bibir Dewa. Lantas ia duduk di kursi makannya dan menjentikkan jari. Kemudian pelayan menyajikan hidangan hangat untuk tuannya.Baru saja Dewa memegang garpu dan pisau hendak mengiris daging kalkun panggang, tetapi Rosalyn telah selesai makan. Wanita hamil itu berpamitan dan beranjak dari ruangan.Seketika Dewa meremas peralatan makan di tangannya. Ini memang bukan pertama kali, sejak kembali bersama dan selama empat belas hari ini sikap Rosalyn sangat dingin. Dewa … tidak suka, ia menginginkan istrinya yang manja dan membutuhkan belaian.Selain itu, Dewa berpikir Roalyn sedang mengujinya. Sebab perempuan pemilik paras ayu dengan hid
“Pak, bagaimana kalau Nyonya Rosalyn tahu?”“Tidak akan kecuali seseorang membocorkannya.” Dewa melirik tajam pada asisten pribadi. “Tutup mulutmu, Pandu!”Pandu mereguk saliva pekat. Asisten yang sudah menemani Dewa lebih dari lima tahun itu mengangguk pasrah.Keduanya berdiri di koridor pusat medis Kota Zurich.“Sudah mencari stok ketersediaan darah?” tanya Dewa lagi.“Sudah Pak, tapi … di bank darah kota ini habis.” Pandu menunduk.Satu jam lalu Dewa memerintah Pandu memeriksa kondisi Vinsensia di kamar hotel. Pandu menemukan gadis itu sudah bersimbah darah karena mengiris pergelangan tangan. Bahkan sebelumnya Vinsensia menelan sepuluh pil obat tidur sekaligus.Bahkan Pandu melewati jalan belakang dan membungkam petugas hotel dengan biaya mahal agar skandal ini tidak merebak ke media.Sekarang gadis itu kehilangan banyak darah. Dewa dan Pandu kesulitan mencari darah dengan rhesus yang cocok.“Pak, sebenarnya saya tahu siapa pemilik golongan darah yang sesuai dengan Nona Vinsensia.
“Jadi … dia memerlukan darah?” lirih Rosalyn.“Benar Nyonya. Maaf, saya pikir Pak Dewa sudah memberitahu.” Pandu menundukkan kepala. Jantung pria itu tak karuan karena nasibnya di ujung tanduk.“Oh.” Rosalyn geleng-geleng kepala dan mata hazelnya menyorot dingin ranjang pasien Vinsensia di bangsal presidential suite. Padahal ruangan itu dikhususkan bagi para petinggi saja tetapi Dewa menggelontorkan dana dalam jumlah besar demi fasilitas Vinsensia. “Dan kalian ingin aku mendonorkan darah untuk selingkuhan suamiku?”Pandu tidak berani bersuara sebab khawatir salah berkata-kata. Tadi, asisten pribadi itu telah menghubungi Dewa untuk menyelesaikan masalah ini. Sekarang mereka menunggu Presdir Cwell Grup datang ke pusat medis Kota Zurich.“Dia di mana?” Rosalyn menoleh pada Pandu.“Pak Dewa dalam perjalanan. Sebentar lagi tiba,” kata Pandu dengan tubuh gemetar hebat.Lima belas menit kemudian, derap langkah sepatu derby hitam menggema sepanjang selasar menuju ruang rawat Vinsensia.Rosal