“Kenapa kamu yang menjemput anak-anak? Di mana Rosalyn?” Dewa tercengang melihat Lily ada di depan pintu kamar hotel.Sudah satu minggu ini kedua anaknya selalu mengunjungi hotel setiap hari, mereka akan pulang di waktu malam hari. Bahkan tak jarang menginap, dan tentu saja bersama Rosalyn.Hanya saja petang ini, Rosalyn tidak datang. Melainkan mengirim Lily sebagai pengganti. Tentu hal itu membuat Dewa berang karena gagal melepas rindu kepada sang mantan.“Nona sedang menghadiri pesta ulang tahun pemilik rumah mode Galgal. Maka dari itu saya—”“Di mana alamatnya?!” potong Dewa diikuti tatapan intimidasi. “Satu hal lagi, jangan panggil dia Nona, tapi Nyonya! Rosalyn masih istriku!”Refleks Lily mengangguk karena takut, tampang suami bosnya sangat garang dan suaranya menyakiti gendang telinga. Dengan tangan gemetaran Lily memperlihatkan alamat pesta pada Dewa.“Jaga anak-anak di dalam, jangan membuka pintu untuk orang tak di kenal. Sebentar lagi Pandu datang, kalau kalian membutuhkan s
“Aduh … perutku mual lagi,” gumam Rosalyn sambil mengerjapkan mata.Kala ia menengok ke samping, rasa tak nyaman di lambung langsung menghilang. Akan tetapi detak jantungnya yang tidak aman.“T-Tuan Caldwell?” tunjuk Rosalyn. Ia tidak percaya mantan suaminya masih ada di sini. Buru-buru ia menyentuh topeng di wajah, ternyata masih ada.Kini Rosalyn bernapas lega karena Dewa tidak mengetahui identitasnya yang lain. Ia menjaga sikap menjadi anggun dan berwibawa.“Nona Schmid di mana suamimu? Pria tega macam apa membiarkan istrinya ke pesta sendirian.” Dewa tertawa serta geleng-geleng kepala. Pandangan pria itu lurus ke depan menatap jalanan dan fokus mengendarai mobil.Belum sempat Rosalyn menjawab, Dewa kembali menambahkan, “Ah, tujuanku ke pesta untuk mencari mantan istri yang sedang hamil, tapi setelah melihatmu … sepertinya aku menyukaimu Nona Schmid.”Rosalyn mengedip-ngedipkan mata. “Apa maksudmu Tuan Caldwell?”“Aku dengar kamu seorang janda, bagaimana kalau kita menikah saja. Aku
“Padahal … kamu tidak perlu repot begini,” lirih Rosalyn sambil memindai paras tampan yang kini memangkunya ala bridal.Dikarenakan mesin mobil mati, Dewa dan Rosalyn memutuskan menyusuri jalan untuk mencari penginapan atau rumah warga. Sekitar lima belas menit berada di luar, Dewa langsung menggendong Rosalyn. Pria itu khawatir mantan istri kelelahan.“Siapa yang repot?” sahut Dewa diakhiri kerlingan sebelah mata.Rosalyn membolakan mata lalu mengalihkan pandangan ke sisi lain. Mati-matian ia menahan rasa panas pada pipinya.Mengetahui mantan istri sedang tersipu-sipu, Dewa semakin menggoda wanita itu. Ia sengaja mengecup dan berbisik tepat di daun telinga Rosalyn, “Kamu malu karena digendong? Istriku ini manis banget.”Rosalyn mengedikkan bahu lalu terdiam.Setelah berjalan sekitar dua kilometer, keduanya menemukan penginapan. Mereka memesan kamar, dikarenakan hanya tersisa satu ruang kosong, alha
[Terima kasih cincinnya, Dewa. Ngomong-ngomong, kapan kamu menceraikan dia?] Jantung Rosalyn seketika merosot setelah membaca pesan di ponsel sang suami, dari seseorang wanita yang sudah jadi duri dalam pernikahannya. Dadanya semakin sakit seperti tertusuk ribuan jarum ketika melihat foto profil wanita itu. Di foto itu terlihat sang wanita sedang memamerkan cincin berlian yang melingkar elok di jari manis. "Jadi, cincin itu untuknya?" Rosalyn mungkin terlalu polos. Semula, ia pikir Dewa mengingat hari ulang tahunnya dan telah menyiapkan sebuah kado berupa cincin berlian. Namun, kini ia tahu ... Cincin itu untuk wanita kedua suaminya. Rosalyn meremas ponsel milik suaminya. Bibirnya melengkungkan senyum nelangsa. Mata almondnya memandang nanar sertifikat cincin yang ia temukan diantara tumpukan pakaian. “Apa yang kamu lakukan?” Tiba-tiba suara dingin seorang pria menusuk gendang telinga Rosalyn dan membuyarkan lamunan. “Ada pesan di ponselmu," tutur Rosalyn lemah, dengan suara
“Cerai katamu?!” ucap Dewa. Seketika pria itu langsung memutar tubuh menghadap Rosalyn dan memancarkan aura dingin yang menyelimuti kamar. “Apa yang harus dipertahankan, Dewa?" Rosalyn menahan sesak dalam dada. Ia mengepalkan tangan dengan kuat hingga kuku cantik menusuk telapaknya. "Kamu tidak mencintaiku. Kamu juga tidak menginginkan anak di pernikahan ini." Pria itu berjalan mendekati Rosalyn, lalu duduk di tepi ranjang. Jemari lentik Dewa menyapu halus kulit lengan seputih susu istrinya. Meskipun lembut, tidak ada kehangatan pada sentuhan itu. Rosalyn merinding dibuatnya. Ia tahu sentuhan ini pertanda suaminya sedang marah besar bukan sebuah ungkapan kasih sayang. Satu sudut bibir Dewa terangkat. Ia berkata, “Sepertinya kamu mulai gila, Rosalyn.” Sepersekian detik, Rosalyn terkesiap. Bukankah seharusnya Dewa senang atas permintaan cerai ini? Lagipula, mungkin pernyataan Dewa ada benarnya. Dia mungkin sudah gila. Orang waras mana yang akan terus mengejar cinta suami hasil da
"Kamu ... Fabian?!" Rosalyn nyaris tidak percaya melihat sosok pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini muncul di hadapannya setelah sekian lama tak berjumpa. Fabian tersenyum lebar. “Kebetulan sekali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?” Wajah tampan pria itu tampak menyejukkan di bawah sinar matahari musim semi. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Rosalyn tersenyum hangat, sejenak melupakan rasa lelahnya. Fabian menyahut dengan suara lembut, “Secara fisik aku sehat.” Sesaat kemudian Rosalyn merasakan Fabian memperhatikannya. Ia tahu pria itu sedang menunjukkan ketertarikan dan kekaguman yang tidak berubah sedari dulu. Tiba-tiba Fabian mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Rosalyn. Membuat wanita itu mengerutkan alis serta bertanya, “Ini untuk apa?” “Aku tahu kamu sangat berbakat. Kebetulan perusahaan kami sedang mencari seorang arsitek andal.” Sorot mata Fabian terlihat tulus ketika mengucapkannya. Pria itu menambahkan, “Datanglah besok, kami mengadakan wawacar
Sementara Rosalyn telah menghilang dari pandangannya, Dewa justru kini sedang dirundung perasaan aneh. Pria itu langsung mengajak sang kekasih meninggalkan kafe tersebut. "Ayo pulang, Vinsensia. Kamu harus beristirahat." Vinsensia mengangguk pelan. "Kamu tidak ingin menemui istrimu dulu?" Gadis itu menyeringai tipis, karena upayanya sebentar lagi membuahkan hasil. Namun, Dewa hanya terdiam, memasang wajah dingin dengan tatapan menghujam ke arah Rosalyn menghilang. “Biasanya sikap perempuan berubah karena memiliki pria idaman lain.” Wajah Vinsensia tampak seperti berpikir, tetapi kemudian berubah menjadi sedikit berempati. “Aku pikir, Rosalyn bisa menjadi istri yang baik.” Dewa menggeram sembari mengepalkan tangan. Kalimat yang diutarakan Vinsensia saat ini sungguh cocok dengan perubahan istrinya yang drastis kemarin. Melihat ekspresi marah Dewa, Vinsensia semakin menjadi-jadi merendahkan Rosalyn. “Seandainya itu benar, citramu bisa rusak andai kata media mengetahuinya. Menurutku
"Apa Dewa sudah pulang?" Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit. Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan. "Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya." Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir. Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat. Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga. Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya. Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka. Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya