“Sebaik-baik pelindung adalah Allah”
***
Selama tiga hari Rayya berdiam diri di kamar. Atuk dan neneknya menjadi gerah melihatnya. Pagi hari, Atuk Mukhtar memanggil Rayya untuk duduk bersamanya. Wajah Rayya lesu dan kering, ia tak menyentuh minuman dan makanan.
“Rayya, maafkan Atukmu ini.”
&ldq
“Setiap orang berhak memilih jalan apa yang akan ditempuhnya.” ***Ruqyah yang dilakukan bersama ustad Khairuddin tidak berhasil, alhasil sang ustadz dan Arif sudah kembali. Merak tidak dapat membantu pengusiran si penunggu, malah mereka yang kena imbasnya. Ustaz Khairuddin dan anaknya bergegas pulang.Saat sang ustaz tahu kalau calon dari anaknya adalah Rayya, yang notabene memiliki sejarah kelam di keluarganya. Serta merta menolak gadis itu, bahk
“Aku tak tau apakah ini rahmat atau musibah, aku hanya berbaik sangka pada Allah.” ***Atuk Mukhtar Palindih Kayo sudah bulat dengan pendapatnya, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Rayya tidak diberi kesempatan bicara. Seminggu kemudian orang pandai betul telah datang, sedang menyiram-nyiram garam di halaman rumah gadang. Mulutnya komat-kamit membaca mantra, sangat serius perawakannya.Sekilas si kakek tua tampak sangar, pakaian hitan dengan ikat pinggang yang terbuat dari pelepah kapas, ada
Pilihan Terbaik “Setiap urusan yang berlaku, itulah takdir terbaik.”Sebulan telah berlalu, Rayya meninggalkan kampung kembali ke Padang untuk melanjutkan hidupnya. Rencana membinasakan tubo tidak berjalan sesuai rencana karena menurut si kakek orang pandai, satu diantaranya masih bersembunyi. Rayya tak punya pilihan lain selain mempercayainya. Ia tak memiliki kemampuan seperti orang tersebut, ta
“Kebahagiaan seorang perempuan adalah membina rumah tangga.” *** Tiba saatnya Feli akan menikah, Rayya semakin banyak mendapat tekanan dan ejekan, teman baiknya sudah melepas masa lajang. Sedangkan Rayya hanya menjadi pagar ayu. Ia tak menganggap jadi masalah dan membiarkan fitnah berlalu. Feli menikah dengan teman sekantornya, akad nikah berlangsung hikmat. Pesta diadakan meriah karena orang tua Feli kaum berada banyak undangan yang dilayangkan.
Biarlah sisa kenangan itu terurai bersama pusara. Meskipun ia tidak akan lenyap, paling tidak sirna dimakan masa. *** Enam bulan kemudian. Seorang lelaki berperawakan sedang, dengan dada bidang, tetapi sedikit kurus sedang dudu
"Jangan terlalu dalam mencinta karena belum tentu yang dicinta adalah yang terbaik. Janganlah terlalu dalam membenci karena belum tentu yang dibenci adalah yang terburuk. _____ Flashback Semua orang membalikkan badan tak terkecuali lelaki bertubuh tambun dan kekar. Tampak si lelaki berambut gondrong itu berjalan melewati mereka, tangannya tumpu, dan dada dibusungkan sambil berkacak pinggang. "Rancaklah,[1] tu. Induak tubo sudah mati. Anaknya kabur, laku kediamannya terbakar," ujarnya dengan lagak yang digagah-gagahkan, padahal tak sedikitpun rona ganteng di mukanya. Meskipun perawakannya besar dan tinggi, kebiasaan tidak merawat diri membuat ia menjadi kumal. "Dunsanak-dunsanak ambo nan ado di siko![2] Untuk masa yang akan datang, janganlah lagi takut dengan si induk tubo. Mereka sudah musnah. Tenanglah hidup di
"Harta halal lagi baik bukanlah yang memberi mudharat atau kerugian" *** "Sudah-sudah. Kalian pulanglah semua. Jangan berkumpul juga di sini. Tidak ada guna debat kusir di sini!" ujar Bandaro gusar. Sebenarnya ia kesal dengan si Juki yang masih mengungkit-ungkit tubo. Hanya karena tak lepas sakit hati, masih saja orang yang tidak berada di kampung dipermalukan. Padahal sosok yang disinggung-singgung sudah bahagia berkeluarga.
“Sesal kemudian tak berguna”***Bandaro sampai di rumahnya, cepat sekali ia sampai karena jarak ke rumah hanya seratus langkah. Ia melangkah antara senang dan takut, senangnya sebab bisa sendiri, tidak ada siapapun yang mengikuti. Takut kalau-kalau ia yang jadi makanan empuk si penunggu. Jelas sekali ia melihat asap membumbung dari kendi, membuat penasaran tingkat tinggi.Sampai di halaman, ditatapnya rumah gadang empat gonjong. Diletakkannya pijakan pertama di jenjang semen, lanjut langkah kedua, ketiga. Pada langkah keempat tangannya langsung menyibak daun pintu.Untungnya ia sedang seorang diri, ada anaknya dua orang sedang merantau di negeri jiran, dua orang lagi diboyong suami ke Pangkalan dan Jambi."Wak caliak pulo bantuaknyo!"[1] ujarnya bermonolog sendiri. Rasa penasaran yang mengelab
Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti
"Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&
"Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan."Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?""Waalaikumsalam, lai."Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki
Gerakan Fikar terhenti, sorot matanya tajam ke arah Juki. Begitu juga juki, tatapannya seolah-olah hendak mengunyah-ngunyah tubuh Fikar. "Aaaaanggg." Juki melompat ke arah Fikar, tangannya menggenggam bogem mentah yang siap menghancurkan Fikar. "Da Juki, berhenti. Kalau kamu pukul saya. Nanti saya laporkan kepada pihak berwajib." Bangkit sakit ketakutan dalam hati Fikar. "Haaa? Apaa? Takut juga rupanya kamu?" Juki mempelintir tangan Fikar. Namun pemuda berhasil lepas dan melompat ke samping hingga terhuyung ke belakang. "Tak akan berhasil kamu menakut-nakuti saya. Rasain kamu!" Juki mengambil
"Musuh jangan dicari ketemu musuh jangan lari" *** Fikar pun pulang ke rumahnya, ia tidak cemas lagi meninggalkan sang ayah karena ada ibunya menjaga di sana. Kemudian ia menaiki angkutan desa, sampai di kampungnya hampir waktu zuhur. Namun, ketika sampai ia tidak langsung pulang. Fikar menemui Juki yang sedang bersantai di rumahnya. "Da Juki … Da Juki." Fikar memanggil preman kampung itu dengan berani. Juki yang sedang tiduran karena begadang semalaman itu kaget. Ia merungut memukul lantai rumah gadang. "Siapa yang mengganggu saya siang ini? Kurang ajar!" Juki langsung bangun, menyibak sarung yang menutupi tubuhnya. Kain
"Termakan, Bu?"Fikar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan sang ibu. Namun, hatinya berkata-kata kalau ada hal yang amat mengerikan."Iya, Fikar. Entah di manaaalah ayahmu makan. Entah siapa yang iri padanya. Setahu Ibu tidak pernah ayahmu bermusuhan dengan orang." Lela memelas dengan suara lemah.Fikar seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya, bagaimana mungkin orang masih memakai benda menakutkan itu.Sejak kecil ia dihantui dengan tubo yang diyakini bisa membuat nyawa orang melayang dengan cara mengenaskan. Apabila termakan makanan yang bercampur dengan benda itu, tidak akan
"Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p
"Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.
Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan