“Sesal kemudian tak berguna”
***
Bandaro sampai di rumahnya, cepat sekali ia sampai karena jarak ke rumah hanya seratus langkah. Ia melangkah antara senang dan takut, senangnya sebab bisa sendiri, tidak ada siapapun yang mengikuti. Takut kalau-kalau ia yang jadi makanan empuk si penunggu. Jelas sekali ia melihat asap membumbung dari kendi, membuat penasaran tingkat tinggi.
Sampai di halaman, ditatapnya rumah gadang empat gonjong. Diletakkannya pijakan pertama di jenjang semen, lanjut langkah kedua, ketiga. Pada langkah keempat tangannya langsung menyibak daun pintu.
Untungnya ia sedang seorang diri, ada anaknya dua orang sedang merantau di negeri jiran, dua orang lagi diboyong suami ke Pangkalan dan Jambi.
"Wak caliak pulo bantuaknyo!"[1] ujarnya bermonolog sendiri. Rasa penasaran yang mengelab
"Hati-hati bertindak sebelum timbul penyesalan" *** (Masih flashback) "Cantik sekali kamu sore ini!" Bandaro menggoda Lela, matanya tidak berhenti melirik. "Cantik 'kan boleh, apalagi di depan suami malah dianjurkan. Apa saya nggak boleh bergaya?" sergah Lela tidak mau kalah. Wajahnya dibuat judes, padahal di belakang sang suami ia senyam-senyum sendiri. Lela berhasil membuat suaminya berkerut muka. Makanya jangan dipancing-pancing juga amarahku, batinnya. "Kamu tidak biasanya berdandan, palingan pakai sarung kucel dan londres. Mana ada seperti ini!" cemooh Bandaro, ujung bibirnya tersungging sebelang. "Tidak cantik? Tidak suka?" tanya Lela menyeringai. "N--nggak, sih. Suka. Baguslah itu!" Bandaro pura-pura memuji, padahal dalam batinnya berteriak lain. Ia memalingkan
"Suami adalah pakaian istri, istri adalah pakaian suami. Saling melengkapi kekurangan dan menutupi kekurangan. *** Keesokan harinya. Masih pagi buta, Lela langsung memeriksa sang suami. Ia mengusap kening dan leher, tubuhnya terasa sangat panas mengeringkan permukaan kulit. Sementara tubuhnya tampak kedinginan, gemetar sangat terasa akibat gigil yang dirasakan. "Tuan … Tuan. Ya, Tuhan. Sedang demam Tuanku ini." Lela memanggil suaminya, lalu menyibak geba[1] dan mengganti dengan kain sarung tipis. Kemudian ia bergegas pergi ke dapur, dengan penerangan lampu minyak. Diambilnya wadah ukuran besar, lalu diisi air termos panas ke dalamnya. Sambil menuang, ekor matanya menangkap kerlap-kerlip seperti lampu sedang bergerak pelan. Oleh karena perhatiannya terpecah, air panas menyiram punggung kakinya. "Aduh."
"Gunakan lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan. Masa luangmu sebelum datang masa sempitmu, masa sehatmu sebelum datang sakitmu, masa kayamu sebelum datang kemiskinanmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu" *** Lela mengirim pesan kepada orang rantau yang baru pulang. Menunggu pula sebulan baru mereka kembali karena pengurusan paspor memakan waktu lama. Sementara sakit Bandaro makin parah dari hari ke hari. Matanya jadi cekung, lingkaran bawah matanya menghitam. Obat yang diberikan oleh bidan desa kurang tampak efeknya. Walaupun badannya lemah. Kalau dibantu, ia telah sanggup duduk. Lela makin gelisah melihat kondisi suaminya, saban hari hanya menjaga saja. Kedainya juga tutup, sudah hari kelima tidak ia buka. Untuk belanja harian terpaksa ia buka celengan modalnya daripada makan tak ada rasa lauknya. "Makan, Tuan." Lela menyodorkan bub
"Saat orang tua masih ada, gunakan waktu terbaik untuk melayani mereka. Waktu mereka tak sebanyak waktu di masa depan"***Sesampainya di rumah Tuan Sati, Lela menceritakan keluhan suaminya. Dari awal mereka bertengkar sampai saat ini ada di hadapan orang pandai itu. Bandaro duduk lemah, ia lelah untuk ikutan bicara hanya menjadi pendengar saja.Kemudian Tuan Sati menggunakan segenap ilmu kebatinannya untuk mengetahui penyebab Bandaro sakit. Ia terkenal dengan analisa penyakit yang aneh, tetapi banyak orang yang yakin pada perkataannya. Juga banyak yang sembuh. Menyebabkan warga lebih nyaman berobat dengannya daripada ke puskesmas.Selesai mengobati Bandaro, ia menyuruh Bandaro menunggu sejenak. Lalu memanggil Lela ke ruangan dapur rumahnya."Lela. Apakah suamimu ada musuh?" tanya Tuan Sati."Tidak ada, Tuan. Kenapa?" jawab lela bingung, ia
"Baktimu adalah bentuk dari kasih sayangmu" *** Pagi hari Fikar berangkat berdua saja dengan sang Ayah, mereka naik angdes sampai ke pasar Bukittinggi. Angin menerpa wajah Bandaro yang sedang duduk di tepi, sehingga ia gelagapan sampai terbatuk-batuk. Kemudian Fikar menyerahkan sapu tangan kepada ayahnya untuk menutupi mulut. Lalu ia mengulurkan sebotol aqua, Bandaro meneguknya sekali. "Sudaaah." Bandaro serak sekali. "Kenapa, Yah?" "Dingin airnya!"
Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan
"Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.
"Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p
Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti
"Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&
"Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan."Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?""Waalaikumsalam, lai."Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki
Gerakan Fikar terhenti, sorot matanya tajam ke arah Juki. Begitu juga juki, tatapannya seolah-olah hendak mengunyah-ngunyah tubuh Fikar. "Aaaaanggg." Juki melompat ke arah Fikar, tangannya menggenggam bogem mentah yang siap menghancurkan Fikar. "Da Juki, berhenti. Kalau kamu pukul saya. Nanti saya laporkan kepada pihak berwajib." Bangkit sakit ketakutan dalam hati Fikar. "Haaa? Apaa? Takut juga rupanya kamu?" Juki mempelintir tangan Fikar. Namun pemuda berhasil lepas dan melompat ke samping hingga terhuyung ke belakang. "Tak akan berhasil kamu menakut-nakuti saya. Rasain kamu!" Juki mengambil
"Musuh jangan dicari ketemu musuh jangan lari" *** Fikar pun pulang ke rumahnya, ia tidak cemas lagi meninggalkan sang ayah karena ada ibunya menjaga di sana. Kemudian ia menaiki angkutan desa, sampai di kampungnya hampir waktu zuhur. Namun, ketika sampai ia tidak langsung pulang. Fikar menemui Juki yang sedang bersantai di rumahnya. "Da Juki … Da Juki." Fikar memanggil preman kampung itu dengan berani. Juki yang sedang tiduran karena begadang semalaman itu kaget. Ia merungut memukul lantai rumah gadang. "Siapa yang mengganggu saya siang ini? Kurang ajar!" Juki langsung bangun, menyibak sarung yang menutupi tubuhnya. Kain
"Termakan, Bu?"Fikar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan sang ibu. Namun, hatinya berkata-kata kalau ada hal yang amat mengerikan."Iya, Fikar. Entah di manaaalah ayahmu makan. Entah siapa yang iri padanya. Setahu Ibu tidak pernah ayahmu bermusuhan dengan orang." Lela memelas dengan suara lemah.Fikar seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya, bagaimana mungkin orang masih memakai benda menakutkan itu.Sejak kecil ia dihantui dengan tubo yang diyakini bisa membuat nyawa orang melayang dengan cara mengenaskan. Apabila termakan makanan yang bercampur dengan benda itu, tidak akan
"Prasangka menjadikan mata buta, telinga tuli, dan hati tertutupi. Jauhilah." 🌹🌹🌹 Pagi harinya, tepat pukul enam. Embusan hawa dingin masih terasa, embun pun masih melekat di dedaunan. Di rumah gadang, Lela sedang bersiap-siap mengemasi bekal yang akan dibawa nanti ke rumah sakit. Raut wajahnya terlihat pucat karena semalaman tidak bisa tidur, dini hari juga sudah terbangun. Pikirannya jadi tidak tenang, mengingat sang suami yang dirawat. Ia mengalami mimpi buruk dua kali. Dalam bunga tidurnya itu, Lela melihat suaminya muntah darah. Sontak ia terkejut, langsung terjaga. Lalu tidur lagi, ternyata mimpinya masih bersambung, ia melihat suaminya meregang nyawa dalam p
"Setiap penyakit ada obatnya kecuali mati.(kutipan) *** "Gimana kabar, Pak Bandaro?" Juki duduk di samping Bandaro yang sedang tak enak hati. "Saat ini sudah mulai baik. Kenapa kamu ke sini bersama anakku?" tanya Bandaro dengan ketus. "Jangan kayak gitulah, Tuan. Aku hanya berniat baik saja. Si Fikar itu, sudah tau hari sudah gelap. Dikeraskannya juga hati pergi rumah sakit. Angkutan umum sudah tidak ada. Untunglah ada aku," ujar Juki berbesar hati. "Heemmmh." Bandaro menarik napas. Kalau tidak karena anaknya ada di sana, sudah diusirnya si Juki dari hadapannya.
Sore hari setelah salat Ashar, Fikar melihat ayahnya sedang tidur. Nafasnya yang sesak sudah mulai teratur. Lama ia menatap, ada hal yang mengganggu pikirannya. Lalu Fikar menemui perawat di lobby rumah sakit. "Sus, saya mau pulang ke kampung. Ibu saya belum tahu kalau Ayah dirawat." "Kalau kamu pulang, siap yang menjaga ayahmu? Apakah kamu yakin akan segera datang?" tanya perawat yang cantik itu. "Saya pasti balik, Sus. Paling sebelum senja saya sudah sampai di sini." Fikar bersikeras. "Baiklah. Jangan sampai lama datang, ya!" Perawat yang lebih tua melihat Fikar dengan ketus. "Terima kasih, Sus." Fikar berlalu, ia menyayangkan