William benar-benar tidak paham akan jalan pikiran Axel. Pria dengan mata hijau itu menatap layar laptopnya dengan alis berkerut tajam. Sebuah surat pengunduran diri dengan nama Axel baru saja masuk ke dalam kotak masuk surat elektroniknya, membuat paginya menjadi muram. Sang direktur membaca kata per kata dengan teliti, berusaha mencari alasan di balik ini semua.
Alasan Axel sederhana, dia hanya ingin pensiun dini, menikmati uang berlimpah hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun terakhir, dan menikmati pemasukan pasif dari berbagai macam aset yang dia miliki. William mungkin akan percaya begitu saja bila sebelumnya Axel tidak berbuat ulah dengan membatalkan pernikahannya dengan Mysha. Walau William pasti kehilangan aset berharga, tapi pria itu tidak pernah mengekang kebebasan orang. Hanya saja kali ini berbeda. Serangkaian tindakan aneh Axel selama seminggu ini membuat pria tampan itu curiga.
"Sambungkan ke kantor Axel," perintahnya pada sekretaris tanpa basa-basi.<
Ada perasaan tak enak kala Thea Davis berjalan mendekatinya di ruang tamu. Ketenangannya membaca majalah ekonomi pada Jumat malam itu terusik. William berusaha tetap tenang terutama saat ibunya memamerkan senyum manja yang biasa ia keluarkan jika ada sesuatu yang direncanakan diam-diam."Aku mengundang Mysha untuk makan malam besok."William memandang Thea dengan tatapan tak percaya. Ia langsung bangkit dari duduknya meski wajahnya tak menyiratkan keterkejutan. Ibunya kali ini bahkan tanpa memberitahu telah mengundang Mysha untuk makan malam di akhir minggu ini.Demi Tuhan! Bahkan di saat William mati-matian berusaha menekan semua asa yang bersemi dengan begitu suburnya, Thea justru menebarkan pupuk dan berusaha agar rasa itu tak hadir sepihak."Kenapa kau tampak tak senang?" Thea tersenyum begitu lembut. Senyum tulus seorang ibu yang akan melakukan apa pun demi kebahagiaan keluarganya.William masih memasang topeng sekaku pualam. "Mom, kumohon jan
William balas menatap gadis yang memandanginya. Kata-kata Mysha begitu menohok. Namun, hatinya menolak untuk percaya ucapan gadis itu. Ia benar-benar masih berharap suatu saat gadis yang dicintainya akan mampu mengingat masa kecil mereka. Perlahan-lahan, hingga tiada rasa sakit yang dirasa setiap kenangan mereka melintas di kepala gadis berkacamata itu.William kembali menarik napas dalam. Menekan segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Rasanya akhir-akhir ini ia membutuhkan pengendalian diri lebih dari biasanya.“Seberharga apa pun, masa lalu tetaplah masa lalu,” ujar William tenang. “Mysh ... , percayalah aku hanya tidak ingin melihatmu kesakitan.”Mysha melihat kesungguhan di mata pria itu ketika memintanya untuk percaya. Dan ia meyakininya. Yang tidak ia mengerti adalah sikap pria di sampingnya yang tetap tenang dan datar menghadapi emosinya yang meninggi. Kini ia justru merasa bersalah telah menumpahkan kekesalannya sendiri ke
William menghubungi Michael lewat ponsel. Dia tahu betapa sibuk Michael akhir-akhir ini, firma hukumnya mendapat banyak kasus yang disorot oleh media. Di satu sisi, firma Michael dikenal oleh banyak orang, tapi bagai pedang bermata dua, seluruh tingkah lakunya semakin diawasi dan satu langkah salah dapat berakibat karir pria berkacamata itu hancur.Akibat lainnya adalah dia tidak bisa sepenuhnya menemani Mysha sebagai seorang saudara dalam masa-masa kelam wanita itu. William mendesah, dia hanya berharap Mysha ditemani lebih banyak oleh orang-orang yang peduli kepada dirinya."Halo," sahut Michael riang di ujung sambungan. "Will? Ada apa meneleponku di akhir pekan?""Ada hal yang ingin kubicarakan. Apakah kita bisa bertemu sekarang?""Seperti biasa, tanpa basa-basi." Michael tertawa pelan, memaklumi sikap direktur satu itu. "Aku masih harus menyelesaikan berkas untuk sidang lusa. Kalau tidak keberatan, bisakah kalau kau yang datang ke apartemenku?"
Kisah tentang Mysha yang terlontar dari mulut Michael membayangi kepala William sejak pagi. Di ruang kerjanya, pria itu mematung tanpa mengerjakan apa-apa. Sebuah masa lalu yang begitu kelam masih tergambar jelas. Pantas saja Mysha menjadi wanita yang begitu mandiri. Ada senyum tertahan kala mengingat wanita itu membetulkan mesin kopinya untuk kali yang pertama. Mysha sungguh telah menjelma sebagai sosok yang luar biasa tegar.Namun, jika mengingat ketegaran Mysha runtuh saat Axel mencampakkan dirinya, mau tak mau itu membuat hati William terasa nyeri. Ia merasa tak mungkin bisa membuat Mysha langsung berpaling kepadanya dan melupakan Axel, meski lelaki playboy itu telah menorehkan segala luka. William tahu, hati Mysha masih setia.Apa yang bisa ia lakukan untuk menghibur Mysha? Setidaknya sembari menunggu sang waktu menunaikan tugasnya untuk menghapus jejak kepedihan yang ditinggalkan Axel dalam hati wanita itu.Pekerjaan.Ya ... William sadar, ia juga t
William menghela napas untuk menenangkan diri. Ia tidak boleh terpancing konfrontasi yang dilancarkan oleh pemilik apartemen itu. Bagaimana pun niatnya datang ke sini adalah demi wanita yang dicintainya.“Kau tak bisa lari selamanya. Hadapilah!” jawab William dingin. Tatapannya mengunci netra biru yang berkilat marah."Bukankah kita sudah bicara semalam suntuk. Kau sudah dengar semua alasannya. Apa lagi yang kau mau?" Senyum sinis terukir di wajah tampan lawan bicara William.William memandang ke dalam ruangan dari pintu yang setengah terbuka di hadapannya. Jendela lebar di dalam apartemen itu memerangkap jutaan garis cahaya ke ruang tamu yang dihiasi sofa putih besar. Bahkan pemilik apartemen ini tak mau repot-repot mempersilakannya masuk."Aku hanya mau Mysha bahagia." William menjawab singkat.Seketika itu juga, kesinisan di wajah pria berambut pirang itu lenyap.“Kalau begitu bahagiakan dia. Buat dia melupakanku!&
Hati William bergolak ketika Mysha melontarkan satu pertanyaan itu. Dia tidak ingin berbohong pada Mysha tapi dia juga tidak ingin melanggar janjinya pada Axel. Sama seperti ayahnya selalu memegang janji, William pun meletakkan prinsip yang sama dalam hidupnya. Hanya saja, pancaran duka di mata emas Mysha membuat hatinya gamang. Pria itu mengambil napas tidak kentara untuk menenangkan diri. Dalam waktu singkat, logikanya berjalan mendahului perasaannya.Jika William memberi tahu kebenaran tanpa persetujuan Axel, Mysha pasti akan segera memelesat pergi ke apartemen Axel yang baru dan wanita itu akan kembali terluka oleh penolakan pria itu. Entah hal bodoh apa yang akan dilakukan Axel untuk menjauhkan Mysha dari kebenaran dan William tidak bisa mengambil risiko adanya luka lain yang tertoreh dalam hati rapuh wanita itu."Will!" panggil Mysha menuntut jawaban membuat kesadaran William kembali mendarat pada kenyataan. "Katakan padaku, apakah kau tahu di mana Axel sekarang?
"Are you out of your mind?!" Axel menggeram. "Apa kau pikir aku tak punya otak untuk tahu risiko yang kuhadapi kalau sampai berkeliaran di sana dan bertemu Mysha?"William hanya menelengkan kepalanya sedikit, seolah nemastikan kata-kata lawan bicaranya."Whatever!" Axel berbalik dan membanting pintu kamarnya keras. Membiarkan William sendirian di ruang tamu.Sementara direktur utama itu seolah paham betul tindakan yang baru saja diterimanya dan sama sekali tidak merasa terkejut. Masih dengan tenang, ia kembali berjalan dan menutup pintu apartemen Axel perlahan.Dari tindakan Axel, bisa disimpulkan pria itu benar-benar bukan sosok yang dilihat Mysha. Itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. William lebih senang kalau Axel dan Mysha bisa bertemu bukan karena ketidaksengajaan. Namun, karena memang saling ingin membicarakan tentang apa yang seharusnya mereka selesaikan bersama.Lagi-lagi William harus mampu menahan semua rasa pedih juga kekesalan yan
Baru kali ini Mysha berharap lift yang akan membawanya ke lantai 19 berjalan lambat saja. Bahkan berdiri di dalam kotak besi sendirian, ia dapat mendengar suara detak jantungnya yang bergemuruh.Seandainya ia bisa memiliki sedikit saja ketenangan William, tak mungkin dirinya segugup ini."Rileks, Mysh! Ini hanya meeting seperti biasa," ucapnya lirih kepada diri sendiri.Lift berhenti kemudian membuka. Dengan langkah lambat ia berjalan keluar menuju ruang direktur utama CLD. Sepanjang koridor Mysha menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan untuk menenangkan diri.***"Mr. Davis sudah menunggu Anda, Miss Natasha." Sekretaris direktur menyambut dan membukakan pintu kantor William untuknya.Mysha membalasnya dengan senyum ramah dan anggukan. Lidahnya terlalu kelu untuk bicara."Good afternoon, Sir! Claudia bilang, Anda memanggil saya." Mysha menyapa William yang sedang menatap laptop dengan serius dari kursi kerjanya."Hi, Mys
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?