Baru kali ini Mysha berharap lift yang akan membawanya ke lantai 19 berjalan lambat saja. Bahkan berdiri di dalam kotak besi sendirian, ia dapat mendengar suara detak jantungnya yang bergemuruh.
Seandainya ia bisa memiliki sedikit saja ketenangan William, tak mungkin dirinya segugup ini.
"Rileks, Mysh! Ini hanya meeting seperti biasa," ucapnya lirih kepada diri sendiri.
Lift berhenti kemudian membuka. Dengan langkah lambat ia berjalan keluar menuju ruang direktur utama CLD. Sepanjang koridor Mysha menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan untuk menenangkan diri.
***
"Mr. Davis sudah menunggu Anda, Miss Natasha." Sekretaris direktur menyambut dan membukakan pintu kantor William untuknya.
Mysha membalasnya dengan senyum ramah dan anggukan. Lidahnya terlalu kelu untuk bicara.
"Good afternoon, Sir! Claudia bilang, Anda memanggil saya." Mysha menyapa William yang sedang menatap laptop dengan serius dari kursi kerjanya.
"Hi, Mys
Mary Natasha terdiam selama beberapa saat dengan tangan masih menggenggam gagang pintu. Matanya mengerjap beberapa kali dengan heran memandangi seorang pria gagah berambut hitam di hadapannya."Will?" tanyanya memastikan."Ya, Mrs. Natasha," balas William tanpa basa-basi. "Apakah saya bisa masuk?"Masih terkejut, Mary membuka pintu lebih lebar dan menyingkir dari ambang pintu, memberikan jalan pada WIlliam untuk masuk. Direktur utama CLD tersebut melangkah ke dalam ruang tamu yang minimalis tapi manis. Di belakangnya, Mary menutup pintu sebelum berjalan mendahului William dan mempersilakan pria itu duduk di sofa."Kau sudah menjadi lelaki yang gagah." Sebuah senyum tipis muncul di wajah Mary ketika dia membawakan teh hangat dan meletakkannya di hadapan William. "Tidak terasa sudah dua puluh tahun sejak terakhir kali kita bertemu."William menyunggingkan senyum datar yang sopan sambil meminum teh yang mengepulkan uap. Menyesap teh di tengah udara mu
Jika bisa, William ingin menyeret Axel keluar dari apartemennya dan melemparkan pria itu ke hadapan Mysha. Ia tak habis pikir bagaimana seorang CEO yang dahulu kerap tampil di garda depan dengan penuh percaya diri, juga acap kali bertindak sangat berani demi mendapatkan tender, kini justru bersembunyi di sini. Mengurung diri dan tak berani menghadapi kenyataan.Sudah tak terhitung berapa kali ia bolak-balik menyambangi apartemen Axel dan berusaha membujuknya untuk menemui Mysha. Namun, hanya kegagalan bertubi didapat.William tahu, ia tak bisa tinggal diam. Tidak ada perkembangan berarti sejak enam bulan yang lalu Axel meninggalkan Mysha. Sebanyak dan sesering apa pun dirinya hadir di sisi Mysha, ia hanya seperti bayang-bayang. Pikiran wanita itu hanya untuk Axel. Meski pedih, tapi William tak bisa mengelak akan kenyataan pahit itu. Cinta Mysha belum bisa beralih padanya.Di kantor, ia memandangi laptopnya sembari terus berpikir. Pekerjaan tak begitu menyita per
Ingin rasanya William menghajar pria di hadapannya ini hingga babak belur. Namun ia sadar tindakan itu hanya akan membawa masalah baru. Lagi pula belum tentu juga Axel akan berubah pikiran.Direktur utama CLD itu kembali menarik napas panjang untuk mendinginkan hatinya.“Pikirkanlah baik-baik. Bagaimana pun Mysha berhak mengetahui yang sesungguhnya. Dan aku tidak akan bosan mendatangimu sampai kau bersedia menemui Mysha.” William mengatakannya dengan penuh penekanan.Pria tampan dengan ekspresi datar itu pergi meninggalkan Axel yang masih diam menatap ke arah jendela besar apartemen yang menyuguhkan pemandangan langit malam dan kerlip lampu kota dari kejauhan.***Netra biru itu menerawang, mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Mysha. Gadis sederhana yang pada awalnya sama sekali tak menarik perhatiannya justru menjadi seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Kepolosan, keteguhannya memegang prinsip, dan ketulusan gadis itu
Mysha merasakan dadanya berdesir ketika melihat senyum William yang diarahkan kepadanya, merasakan aliran darah mengalir lebih banyak ke daerah wajah. Tidak, ini tidak boleh, Mysha berusaha mengingatkan dirinya. Bayangan Axel seketika berkelebat dalam benak, menghujamkan rasa sakit ke dalam hatinya. Luka yang sempat dia rawat kembali mengeluarkan darah."Ke mana?" tanya Mysha tetap mempertahankan senyumnya. Dia merasa semakin ahli untuk bersandiwara, menutupi kondisi hatinya yang tidak menentu di hadapan para klien dan William."Kau akan tahu." William tersenyum samar sebelum menyalakan mesinnya. "Tapi sebelumnya, aku ingin ke sebuah tempat."Mysha menatap William penuh tanya. Nyaris tidak pernah pria berambut hitam itu menyembunyikan sesuatu, tapi kali ini dia melakukan hal di luar kebiasaan. Walau rasa penasaran mendesak keras, wanita itu memilih tetap bungkam dan membiarkan waktu menjawab.William menggerakkan mobil itu membelah kota New York yang seda
Mata William terbelalak kaget mendengar Mysha ingin mengingat masa lalunya.Belum sampai satu detik kemudian, William kembali menetralkan wajahnya. "Aku percaya, ingatanmu pasti akan kembali, jadi jangan memaksakan diri." Pria itu menggenggam tangan Mysha lembut seolah tak ingin sampai wanita itu terluka kembali.Mysha tersenyum lembut. "Kau membuatku berani, Will. Terima kasih banyak untuk segalanya. Kau mau membantu, bukan?"Ada hening menjeda sebelum Direktur Utama CLD membelai sudut mata Mysha yang mulai tergenang air mata."I will."Mysha cukup banyak bertanya tentang apa yang terjadi di masa lalu. Namun, Willian terus berusaha menjawab semua dengan kalimat diplomatis.Malam sudah tiba kala keduanya tiba di depan apartemen Mysha."Oh, iya. Apa kau mau menemaniku hari Jumat ini?" Ada harapan terpancar samar di wajah William.Mysha terlihat keheranan. "Boleh saja. Tapi ke mana?""Nanti kau akan tahu." William mengecup
Mysha kehilangan kata-kata. Pipinya menghangat, ia yakin rona merah jambu bersemu di sana. Hatinya melambung mendengar kalimat pria yang jarang menunjukkan ekspresi. Namun lidahnya begitu kelu untuk menjawab.“Will, kurasa ….”William menggeleng, “Tidak perlu kau jawab. Aku hanya ingin kau tahu.” Lelaki itu tersenyum singkat. “Sudah waktunya makan siang. Sebaiknya kita pergi,” ajak William memutus pikiran Mysha.William berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Mysha yang masih terlihat bingung. Gadis itu pun tersenyum menyambut tangan Direktur CLD.Mereka berpamitan kepada Aris dan Mirna yang masih sibuk melayani pelanggan.***Hari masih sore ketika mereka tiba di apartemen Mysha.“Apa kita tidak sebaiknya kembali ke kantor?” tanya Mysha. Kecemasan tampak jelas di wajahnya setelah hampir seharian meninggalkan pekerjaan.“Sesekali pulang cepat tak masalah.
William melirik ke arah Mysha yang memandangnya khawatir. Dia pamit dengan pandangan mata sebelum berjalan menjauh dari wanita itu."Maksud Anda?" tanya William dengan suara pelan menahan emosi."Saat ini Mr. Delacroix sedang berada di instalasi gawat darurat dan beliau tidak sadarkan diri. Saya harap Anda bisa segera kemari."William memandang Mysha dari kejauhan. Axel tidak boleh meninggal sebelum membereskan luka yang ada di hati Mysha.Direktur itu menghela napas dalam sebelum berkata, "Baiklah, saya akan tiba di sana paling lambat satu jam lagi. Tolong lakukan apa saja untuk membuat Axel bertahan.""Baik."William menutup teleponnya dan menghitung mundur dari angka sepuluh untuk menenangkan diri. Mysha tidak boleh tahu akan hal ini. Pria itu segera menghampiri Mysha yang masih asyik mengamati pemandangan."Is everything alright?" tanya wanita itu memandang William khawatir."I'm so sorry, Mysh. Sepertinya aku harus pergi,
Ada luka yang masih mengerak di relung hati Mysha. Sampai kapan nyerinya akan sirna tanpa jejak? Kadang wanita itu merasa bahwa yang ia butuhkan hanyalah penjelasan penuh kejujuran. Ditinggalkan tanpa ada penyelesaian membuatnya tak tenang.Mysha meregangkan tubuh. Pekerjaannya hari ini telah selesai. Diliriknya ponsel yang terletak di sisi kanan meja. Tak ada tanda-tanda William menghubunginya. Ada rasa aneh menyisip. Keinginan untuk tahu di mana pria itu berada sekarang. Apa ini artinya ia merindu?Mysha menggeleng. Memang sudah hampir satu tahun berlalu, tapi hawa gigil tetap terasa setiap mengingat Axel. Entah karena pengaruh musim gugur yang baru datang, atau karena hatinya belum juga bisa menerima kehangatan.Dering ponsel membuyarkan lamunan. William menghubunginya. Mungkin hendak mengonfirmasi tentang rencana makan malam mereka hari ini. Namun, dugaan Mysha meleset."I'm so sorry." William terdengar penuh rasa bersalah. "Ada urusan mendesak. Aku h
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?