William melirik ke arah Mysha yang memandangnya khawatir. Dia pamit dengan pandangan mata sebelum berjalan menjauh dari wanita itu.
"Maksud Anda?" tanya William dengan suara pelan menahan emosi.
"Saat ini Mr. Delacroix sedang berada di instalasi gawat darurat dan beliau tidak sadarkan diri. Saya harap Anda bisa segera kemari."
William memandang Mysha dari kejauhan. Axel tidak boleh meninggal sebelum membereskan luka yang ada di hati Mysha.
Direktur itu menghela napas dalam sebelum berkata, "Baiklah, saya akan tiba di sana paling lambat satu jam lagi. Tolong lakukan apa saja untuk membuat Axel bertahan."
"Baik."
William menutup teleponnya dan menghitung mundur dari angka sepuluh untuk menenangkan diri. Mysha tidak boleh tahu akan hal ini. Pria itu segera menghampiri Mysha yang masih asyik mengamati pemandangan.
"Is everything alright?" tanya wanita itu memandang William khawatir.
"I'm so sorry, Mysh. Sepertinya aku harus pergi,
Ada luka yang masih mengerak di relung hati Mysha. Sampai kapan nyerinya akan sirna tanpa jejak? Kadang wanita itu merasa bahwa yang ia butuhkan hanyalah penjelasan penuh kejujuran. Ditinggalkan tanpa ada penyelesaian membuatnya tak tenang.Mysha meregangkan tubuh. Pekerjaannya hari ini telah selesai. Diliriknya ponsel yang terletak di sisi kanan meja. Tak ada tanda-tanda William menghubunginya. Ada rasa aneh menyisip. Keinginan untuk tahu di mana pria itu berada sekarang. Apa ini artinya ia merindu?Mysha menggeleng. Memang sudah hampir satu tahun berlalu, tapi hawa gigil tetap terasa setiap mengingat Axel. Entah karena pengaruh musim gugur yang baru datang, atau karena hatinya belum juga bisa menerima kehangatan.Dering ponsel membuyarkan lamunan. William menghubunginya. Mungkin hendak mengonfirmasi tentang rencana makan malam mereka hari ini. Namun, dugaan Mysha meleset."I'm so sorry." William terdengar penuh rasa bersalah. "Ada urusan mendesak. Aku h
Setelah menolak dan berdebat cukup lama dengan William akhirnya Mysha menurut. Pria itu benar, dirinya tidak akan bisa berjalan maju jika masih berkubang dalam pikiran tentang Axel. Dan pertemuan ini ibarat sebuah pintu yang akan menentukan ke arah mana langkah berikutnya harus ia tempuh.William masih tetap diam sepanjang perjalanan. Pria itu bahkan tidak memberi tahu ke mana tujuan mereka. Mysha pun menyerah. Ia berhenti bertanya dan memalingkan wajahnya, menatap pemandangan dari jendela.William berusaha berkonsentrasi untuk menyetir, tetapi pikirannya tetap bercabang. Melihat Mysha hanya membuang pandangan ke luar jendela, ia semakin yakin, ada pergulatan batin di sana. Ia ingin menenangkan wanita itu, tapi ia tak tahu harus berbuat apa. Saat ini yang bisa ia lakukan hanya menunggu.Ada rasa lega di hatinya karena pada akhirnya Axel meluluskan permintaannya. Ia berharap sakit hati Mysha bisa hilang setelah tahu alasan kepergian Axel yang sebenarnya. Di sisi
Waktu berlalu. Musim gugur telah berubah menjadi musim dingin.Kesibukan akhir tahun menuntut Mysha dan William untuk sering bekerja lembur. Apalagi mereka harus mempersiapkan laporan tahunan dan menyelenggarakan annual meeting. Namun, kesibukan tidak membuat Mysha melupakan Axel. Wanita itu masih saja menjenguknya setiap akhir pekan. Membawakan bunga, membacakan buku, bercerita, juga memasak makanan untuknya."Mysh, kau juga harus menjaga kesehatanmu. Kita tidak perlu menjenguk Axel setiap minggu." William mengingatkan Mysha saat wanita bermata keemasan itu kembali mengajaknya ke Greenwich Village."I'm okay, Will. Axel membutuhkan kita. Dia butuh teman, butuh orang-orang yang peduli dan menyayanginya agar tetap semangat," ujarnya beralasan."Ya, tetapi kau juga perlu beristirahat. Satu minggu kau selalu bekerja lembur, dan di akhir pekan kau masih bepergian untuk merawat orang sakit. Aku tidak ingin kau juga jatuh sakit." Lagi-lagi William mengungkapkan
Mysha mengempaskan dirinya ke punggung kursi dengan lelah. Dia membuka kacamata dan memijat puncak hidung untuk meredakan rasa berdenyut pada kepala. Setelah urusan pemakaman Axel selesai, pekerjaan menerjangnya bagai ombak. Berbagai dokumen harus diperiksa dan ditandatangani sementara jadwal pertemuan dengan klien yang tertunda karena dia harus merawat Axel menyita habis waktunya. Kabar baiknya, hal itu bisa menggeser semua perasaan melankolis Mysha ke ujung pikiran.Walau kepergian Axel masih menyisakan duka, Mysha belum pernah merasa sebebas ini. Beban seakan terlepas dari pundaknya. Masa lalu kini tak lagi mengikat kakinya. Fokusnya berkali lipat, dia bisa melakukan pekerjaan dengan baik dan kelegaan memenuhi hatinya.Bulan pertama di tahun baru, Mysha harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibandingkan karyawan lain yang masih berada dalam suasana liburan. Dia sudah melakukan penerbangan ke Asia dan Eropa untuk meninjau proyek pembangunan. Tadi subuh dia baru ke
Mysha masih mengulang kalimat yang baru didengarnya lamat-lamat. Apa benar pria yang selama ini tak pernah mengungkapkan perasaannya itu melamarnya?Melihat Mysha tak bereaksi apa-apa, William kembali mengulang pertanyaannya dengan was-was. "Mysh, will you marry me?"Kali ini Mysha yakin ia tak salah dengar. William akhirnya mengemukakan seluruh isi hatinya.Hampir dua tahun sejak Axel meninggalkannya tanpa alasan. Lalu William hadir menemaninya melalui semua kepedihan. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan apa pun.Namun, apakah ia siap untuk menerima lamaran itu? Apa hatinya benar-benar sudah menjadi milik William seutuhnya?"Aku takut," bisiknya lemah.William terdiam. Tangannya kembali turun ke bawah menunggu Mysha melanjutkan kalimatnya."Aku takut aku hanya menjadikanmu pelarianku terhadap Axel. Aku takut akan menyakitimu." Mysha menggigit bibir bawahnya penuh kekhawatiran.Alih-alih kecewa, William justru mengangsurkan tangan kan
Meski sebulan sudah berlalu, William masih tak percaya kini Mysha menjadi istrinya. Mata teduh sewarna emerald itu terus memandangi wajah istrinya yang masih terlelap dalam tidur. Setiap bangun di pagi hari ia tak pernah jemu menatap kecantikan alami satu-satunya wanita yang dicintainya."Thanks God for giving me this beautiful angel," ujar William dengan tulus.Ia merasa benar-benar beruntung karena bisa memiliki Mysha seutuhnya. Usai penantian panjang yang berliku, akhirnya ia memetik hasil perjuangannya.Masih jelas dalam ingatan William saat-saat bahagia mereka ketika berbulan madu ke Wellington, Sidney, dan Bali. Mandi cahaya matahari sepanjang hari, seduhan kopi ternikmat, serta pantai-pantai terindah. Masa-masa indah berdua bersama Mysha sepanjang hari. Saling bercumbu dan bermanja. Hanya berdua, tanpa gangguan segala urusan pekerjaan."Good morning, Sweetheart!" sapa William ketika Mysha mulai membuka mata. Suaranya begitu tenang, tapi menyiratkan
Usai pesta pernikahan mewah digelar, rupanya kejutan demi kejutan masih diterima oleh Mysha. William yang dari luar tampak datar seperti papan presentasi itu, ternyata menyimpan sisi romantis yang membuat Mysha merasa begitu beruntung karena memilihnya. Setelah mengajaknya pulang ke sebuah hotel berbintang di pusat kota New York untuk merayakan malam pertama mereka, kini William menghadiahkan Mysha sebuah tiket bulan madu selama dua minggu penuh."Will? Apa ini tidak berlebihan? Apa kau yakin akan meninggalkan CLD selama itu?" Mata Mysha membeliak usai membaca surat dari biro perjalanan yang diberikan suaminya barusan."Apa kau tidak mau? Aku bisa saja membatalkannya jika kau keberatan," jawab William datar. Tak tersirat nada tersinggung sedikit pun di sana."No, no. Bukan i
Mata emas Mysha memandang ke arah jalanan, di mana pepohonan yang ditanam rapi berlarian seiring dengan cepatnya mobil sedan hitam itu melaju. Pemandangan berubah cepat dari perkotaan dengan gedung pencakar langit menjadi kawasan sub urban yang asri dengan rumah-rumah berhalaman luas.“Mysha,” panggil pria bersuara bariton di samping wanita itu ketika mobil berhenti di lampu lalu lintas. Tangannya yang kukuh menggenggam jemari Mysha yang terpangku di atas paha.Sentuhan itu membuyarkan lamunan Mysha, membuatnya menoleh dan menyunggingkan senyum pada William. Wajah pria itu tetap datar tapi Mysha dapat melihat ekspresi khawatir di mata hijaunya. Ada waktu-waktu yang harus ditebus sejak perpisahan mereka di masa kanak-kanak, tapi Mysha mulai menyadari bahwa di balik wajah dingin William, mata hijau milik pria itu lebih juju
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?