Waktu berlalu. Musim gugur telah berubah menjadi musim dingin.
Kesibukan akhir tahun menuntut Mysha dan William untuk sering bekerja lembur. Apalagi mereka harus mempersiapkan laporan tahunan dan menyelenggarakan annual meeting. Namun, kesibukan tidak membuat Mysha melupakan Axel. Wanita itu masih saja menjenguknya setiap akhir pekan. Membawakan bunga, membacakan buku, bercerita, juga memasak makanan untuknya.
"Mysh, kau juga harus menjaga kesehatanmu. Kita tidak perlu menjenguk Axel setiap minggu." William mengingatkan Mysha saat wanita bermata keemasan itu kembali mengajaknya ke Greenwich Village.
"I'm okay, Will. Axel membutuhkan kita. Dia butuh teman, butuh orang-orang yang peduli dan menyayanginya agar tetap semangat," ujarnya beralasan.
"Ya, tetapi kau juga perlu beristirahat. Satu minggu kau selalu bekerja lembur, dan di akhir pekan kau masih bepergian untuk merawat orang sakit. Aku tidak ingin kau juga jatuh sakit." Lagi-lagi William mengungkapkan
Mysha mengempaskan dirinya ke punggung kursi dengan lelah. Dia membuka kacamata dan memijat puncak hidung untuk meredakan rasa berdenyut pada kepala. Setelah urusan pemakaman Axel selesai, pekerjaan menerjangnya bagai ombak. Berbagai dokumen harus diperiksa dan ditandatangani sementara jadwal pertemuan dengan klien yang tertunda karena dia harus merawat Axel menyita habis waktunya. Kabar baiknya, hal itu bisa menggeser semua perasaan melankolis Mysha ke ujung pikiran.Walau kepergian Axel masih menyisakan duka, Mysha belum pernah merasa sebebas ini. Beban seakan terlepas dari pundaknya. Masa lalu kini tak lagi mengikat kakinya. Fokusnya berkali lipat, dia bisa melakukan pekerjaan dengan baik dan kelegaan memenuhi hatinya.Bulan pertama di tahun baru, Mysha harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibandingkan karyawan lain yang masih berada dalam suasana liburan. Dia sudah melakukan penerbangan ke Asia dan Eropa untuk meninjau proyek pembangunan. Tadi subuh dia baru ke
Mysha masih mengulang kalimat yang baru didengarnya lamat-lamat. Apa benar pria yang selama ini tak pernah mengungkapkan perasaannya itu melamarnya?Melihat Mysha tak bereaksi apa-apa, William kembali mengulang pertanyaannya dengan was-was. "Mysh, will you marry me?"Kali ini Mysha yakin ia tak salah dengar. William akhirnya mengemukakan seluruh isi hatinya.Hampir dua tahun sejak Axel meninggalkannya tanpa alasan. Lalu William hadir menemaninya melalui semua kepedihan. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan apa pun.Namun, apakah ia siap untuk menerima lamaran itu? Apa hatinya benar-benar sudah menjadi milik William seutuhnya?"Aku takut," bisiknya lemah.William terdiam. Tangannya kembali turun ke bawah menunggu Mysha melanjutkan kalimatnya."Aku takut aku hanya menjadikanmu pelarianku terhadap Axel. Aku takut akan menyakitimu." Mysha menggigit bibir bawahnya penuh kekhawatiran.Alih-alih kecewa, William justru mengangsurkan tangan kan
Meski sebulan sudah berlalu, William masih tak percaya kini Mysha menjadi istrinya. Mata teduh sewarna emerald itu terus memandangi wajah istrinya yang masih terlelap dalam tidur. Setiap bangun di pagi hari ia tak pernah jemu menatap kecantikan alami satu-satunya wanita yang dicintainya."Thanks God for giving me this beautiful angel," ujar William dengan tulus.Ia merasa benar-benar beruntung karena bisa memiliki Mysha seutuhnya. Usai penantian panjang yang berliku, akhirnya ia memetik hasil perjuangannya.Masih jelas dalam ingatan William saat-saat bahagia mereka ketika berbulan madu ke Wellington, Sidney, dan Bali. Mandi cahaya matahari sepanjang hari, seduhan kopi ternikmat, serta pantai-pantai terindah. Masa-masa indah berdua bersama Mysha sepanjang hari. Saling bercumbu dan bermanja. Hanya berdua, tanpa gangguan segala urusan pekerjaan."Good morning, Sweetheart!" sapa William ketika Mysha mulai membuka mata. Suaranya begitu tenang, tapi menyiratkan
Usai pesta pernikahan mewah digelar, rupanya kejutan demi kejutan masih diterima oleh Mysha. William yang dari luar tampak datar seperti papan presentasi itu, ternyata menyimpan sisi romantis yang membuat Mysha merasa begitu beruntung karena memilihnya. Setelah mengajaknya pulang ke sebuah hotel berbintang di pusat kota New York untuk merayakan malam pertama mereka, kini William menghadiahkan Mysha sebuah tiket bulan madu selama dua minggu penuh."Will? Apa ini tidak berlebihan? Apa kau yakin akan meninggalkan CLD selama itu?" Mata Mysha membeliak usai membaca surat dari biro perjalanan yang diberikan suaminya barusan."Apa kau tidak mau? Aku bisa saja membatalkannya jika kau keberatan," jawab William datar. Tak tersirat nada tersinggung sedikit pun di sana."No, no. Bukan i
Mata emas Mysha memandang ke arah jalanan, di mana pepohonan yang ditanam rapi berlarian seiring dengan cepatnya mobil sedan hitam itu melaju. Pemandangan berubah cepat dari perkotaan dengan gedung pencakar langit menjadi kawasan sub urban yang asri dengan rumah-rumah berhalaman luas.“Mysha,” panggil pria bersuara bariton di samping wanita itu ketika mobil berhenti di lampu lalu lintas. Tangannya yang kukuh menggenggam jemari Mysha yang terpangku di atas paha.Sentuhan itu membuyarkan lamunan Mysha, membuatnya menoleh dan menyunggingkan senyum pada William. Wajah pria itu tetap datar tapi Mysha dapat melihat ekspresi khawatir di mata hijaunya. Ada waktu-waktu yang harus ditebus sejak perpisahan mereka di masa kanak-kanak, tapi Mysha mulai menyadari bahwa di balik wajah dingin William, mata hijau milik pria itu lebih juju
Tidak banyak yang bisa Mysha lakukan hari itu. William entah kenapa begitu posesif sejak pagi. Wajah dinginnya terkesan lebih garang dan menyeramkan. Wanita itu berusaha membujuk dan mengajaknya bicara hal yang santai, tapi William seolah mengabaikan apa pun usahanya.Sejak bangun tidur, muka William ditekuk masam. Sesuatu yang jarang Mysha lihat bertanggar di wajah suaminya itu. Biasanya, William hanya tersenyum tipis, atau kebanyakan berwajah datar seperti papan setrikaan.Namun, kali ini Mysha bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengusik suaminya.Mysha masih termenung di sofa yang terletak tak jauh dari kamar mandi menunggu William keluar dari sana dan menyuguhkan secangkir kopi. Mysha kerap menyerahkan secangkir kopi tepat di depan kamar mandi agar Will bisa menghidu aroma pekat yang disukainya
Mata Mysha berkaca-kaca saat melihat garis dua terpampang nyata di hadapannya. Tidak salah lagi! Dirinya kini telah mengandung. Akhirnya setelah menunggu selama enam bulan dan sempat membuat Will panik luar biasa, Tuhan pun memberikan kepercayaan padanya. Sebenarnya, bisa dikatakan, dirinya memang sudah tidak enak badan beberapa hari terakhir. Hanya saja, karena load kerja di kantor sedang banyak, Mysha bahkan tidak berpikir kalau dirinya hamil. Mungkin hanya kelelahan. Itu yang terlintas di kepala.Hati wanita itu berbunga-bunga kala memandang hasil testpack-nya yang kini terasa penuh keajaiban. Mysha menarik napas. Rasanya ingin mengerjai Will yang kini terdengar mondar-mandir di luar kamar mandi. Namun, Mysha tidak tega. Suaminya sampai stres dalam diam.Will memang bukan orang yang terbuka dan mudah untuk membagi masalahnya kepada orang lain bah
Will mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja kerjanya. Wajahnya yang dingin tampak lebih kaku dari biasanya membuat para bawahannya enggan mengganggu sang direktur. Akibatnya, sekretarisnya yang malang harus menjadi perpanjangan tangan dari manajer lain untuk menyerahkan laporan dan pekerjaan yang menumpuk.William memang bukan pria dengan banyak kata-kata tapi hari itu Will benar-benar hanya menjawab dengan tiga pilihan. “Ya”, “tidak”, atau “hmm”, membuat sekretarisnya pusing tujuh keliling menebak-nebak maksud pucuk pimpinan tertinggi perusahaan itu. Selama bertahun-tahun bekerja, hari itu adalah salah satu saat di mana pria malang itu berharap jam pulang kantor segera tiba.Ternyata bukan hanya sang sekretaris yang berharap demikian. Mata hijau Will juga berulang kali melirik ja