Tidak banyak yang bisa Mysha lakukan hari itu. William entah kenapa begitu posesif sejak pagi. Wajah dinginnya terkesan lebih garang dan menyeramkan. Wanita itu berusaha membujuk dan mengajaknya bicara hal yang santai, tapi William seolah mengabaikan apa pun usahanya.
Sejak bangun tidur, muka William ditekuk masam. Sesuatu yang jarang Mysha lihat bertanggar di wajah suaminya itu. Biasanya, William hanya tersenyum tipis, atau kebanyakan berwajah datar seperti papan setrikaan.
Namun, kali ini Mysha bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengusik suaminya.
Mysha masih termenung di sofa yang terletak tak jauh dari kamar mandi menunggu William keluar dari sana dan menyuguhkan secangkir kopi. Mysha kerap menyerahkan secangkir kopi tepat di depan kamar mandi agar Will bisa menghidu aroma pekat yang disukainya
Mata Mysha berkaca-kaca saat melihat garis dua terpampang nyata di hadapannya. Tidak salah lagi! Dirinya kini telah mengandung. Akhirnya setelah menunggu selama enam bulan dan sempat membuat Will panik luar biasa, Tuhan pun memberikan kepercayaan padanya. Sebenarnya, bisa dikatakan, dirinya memang sudah tidak enak badan beberapa hari terakhir. Hanya saja, karena load kerja di kantor sedang banyak, Mysha bahkan tidak berpikir kalau dirinya hamil. Mungkin hanya kelelahan. Itu yang terlintas di kepala.Hati wanita itu berbunga-bunga kala memandang hasil testpack-nya yang kini terasa penuh keajaiban. Mysha menarik napas. Rasanya ingin mengerjai Will yang kini terdengar mondar-mandir di luar kamar mandi. Namun, Mysha tidak tega. Suaminya sampai stres dalam diam.Will memang bukan orang yang terbuka dan mudah untuk membagi masalahnya kepada orang lain bah
Will mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja kerjanya. Wajahnya yang dingin tampak lebih kaku dari biasanya membuat para bawahannya enggan mengganggu sang direktur. Akibatnya, sekretarisnya yang malang harus menjadi perpanjangan tangan dari manajer lain untuk menyerahkan laporan dan pekerjaan yang menumpuk.William memang bukan pria dengan banyak kata-kata tapi hari itu Will benar-benar hanya menjawab dengan tiga pilihan. “Ya”, “tidak”, atau “hmm”, membuat sekretarisnya pusing tujuh keliling menebak-nebak maksud pucuk pimpinan tertinggi perusahaan itu. Selama bertahun-tahun bekerja, hari itu adalah salah satu saat di mana pria malang itu berharap jam pulang kantor segera tiba.Ternyata bukan hanya sang sekretaris yang berharap demikian. Mata hijau Will juga berulang kali melirik ja
William dan Mysha mempersiapkan sendiri semua keperluan calon anak pertama mereka. Mulai dari membeli baju-baju bayi, gendongan, stroller, boks bayi. Termasuk juga mendekorasi kamarnya. Meskipun sudah diketahui calon anak mereka laki-laki, William dan Mysha tetap memilih hiasan berwarna netral.Sejak Mysha hamil, William benar-benar menjadi suami siaga. Dalam urusan pekerjaan, William membatasi jam kerja istrinya dengan ketat. Tidak ada lagi jam lembur atau pekerjaan ke luar kota. Semua dilimpahkan kepada stafnya, bahkan beberapa yang amat penting langsung William sendiri yang handle.Memasuki usia kandungan Mysha ke-delapan bulan, William mengharuskan istrinya mengambil cuti. Mysha yang tak biasa berdiam diri akhirnya mencari kesibukan dengan mengikuti berbagai kelas parenting, kelas ASI, hingga kelas hypnobirthing, senam hamil dan
PROLOGAxel Jr. Davis. Remaja 17 tahun dengan rambut dicat pirang. Ketampanan bak dewa Yunani, tubuh atletis sempurna, juga tatapan dingin menusuk membuat dia digilai siapa pun. Tak ada gadis di Crown High School yang tidak menjerit histeris ketika dia melintas.Transaksi narkoba, minuman keras, juga pesta gemerlap sudah menjadi kesehariannya. Tak ada rasa takut pernah singgah di mata sewarna emerald itu.Semua siswi berusaha menjadi pacar dari siswa most wanted tersebut. Memperebutkannya!Kecuali Aria Dania Patterson.Siswi pindahan keturunan Amerika - Indonesia yang lebih sibuk dengan buku dan menyumbat rapat telinga dengan musik berdentam dari negara Korea. Ia tampak tak memedulikan pesona Axel dan lebih memilih duduk tenang di sudut kelas.Sayang takdir bicara berbeda.Ketika keduanya harus terlibat dalam perseteruan hebat, apakah benih-benih cinta akan muncul atau justru semakin memperluas jurang
Tatapan netra hijau penuh arogansi itu membuat jantung Aria berdegup kencang. "Sudah selesai Pak Tua? Aku lelah berdiri terus." Tanpa menunggu jawaban, Axel segera menuju ketempat duduknya. Guru bahasa Inggris itu pun tak bisa berbuat banyak kecuali menggerutu dalam hati. Kemudian dia pun melanjutkan menulis beberapa kalimat di papan tulis.Aria semakin tidak karuan, geram yang tadinya hampir karam sekarang kembali naik ke permukaan. Dia tidak menyangka kalau Axel akan duduk di sebelahnya. Tentu saja hal ini membuat para wanita di kelasnya saling berbisik-bisik."Huh, tambah satu lagi saingan.""Tenang, dia jelas bukan level Axel."Wajah Aria memerah saat tubuh tegap itu semakin dekat. Semua rasa seakan jadi satu. Pelajaran bahasa Inggris saat itu tak lagi digubris olehnya. Bau rokok dan alkohol dari pemuda yang duduk di sebelahnya ini, terasa memenuhi otak. Aria sampai-sampai harus menutup hidung dengan tisu sepanjang pelajaran. Dengan sedikit tarikan na
Ketika bangun dari tidur siangnya, Aria teringat pada buku catatannya. Gadis itu segera mencari di dalam tas. Ia panik saat bukunya tak ada di dalam tas. "Tenang, Ar! Cari pelan-pelan," gumamnya untuk menenangkan diri.Sekali lagi Aria mengeluarkan isi tasnya. Berkali-kali diperiksa semua kompartemen tas selempang yang tadi dibawanya ke sekolah. Tidak ada. Buku itu benar-benar tidak ketemu.Awalnya ia mengira buku itu hanya terselip di dalam tas atau mungkin di lemari buku. Namun, setelah mencari bolak-balik di kamar tanpa hasil, ia pun sadar jika buku itu telah hilang.Wajah Aria memucat karena bingung. Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia mengingat-ingat di mana ia meletakkan bukunya selama di sekolah. "Duh, di mana, ya? Kayaknya aku udah masukin buku itu ke dalam tas setelah pelajaran tadi. Apa kutaruh di loker? Atau terjatuh? Atau jangan-jangan si berandalan itu mengambilnya?"Memikirkan buku itu jatuh ke tangan Axel, membuat Aria be
Aria kehilangan kata-kata saat Axel menggerak-gerakkan buku itu sejenak sebelum meletakkannya di belakang punggung. Jauh dari jangkauan tangan mungil gadis itu.Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Aria berujar, "I'll do anything.""Anything?" Axel menegaskan.Aria tergelagap. "Eh, selama tidak melanggar hukum, norma agama, dan sosial yang kuanut." Gadis itu mengeluarkan jemarinya satu per satu seolah menghitung. "But, I'll try my best!"Alih-alih luluh, Axel justru meneleng dan berkata. "Memang kau bisa apa?"Aria ingin mengumpat, tapi ia menahan diri. "Biar seperti ini, aku bisa melakukan banyak hal." Senyum setengah menahan kesal diperlihatkan.Axel memasang wajah serius, tapi bagi Aria, ekspresi pemuda itu terlihat sangat menggoda ... untuk ditampar."Minta maaflah padaku karena kau sudah bersikap kurang ajar!" Axel mengangkat kepalanya pongah.Gadis itu menggemeretakkan gerahamnya. Aria merasa panas di hatinya mengalahkan eru
Aria melihat gerakan Sophia dan menghindar tepat waktu, membuat tamparan itu mengenai udara kosong. Terdengar seruan dari para siswa yang mengelilingi mereka. Seruan penuh cemooh pada kesalahan Sophia. Gadis berambut pirang bergelombang itu semakin kesal melihat Aria yang tidak mudah digencet apalagi siswa baru itu sudah mempermalukannya di depan banyak orang. Sophia mengerling singkat ke arah siswa yang mulai berkerumun di sekitar mereka. Hampir seluruh kafetaria sudah memandangi mereka berdua, termasuk beberapa siswa asing. Gadis berambut pirang itu dapat melihat seorang siswa berketurunan Korea menatap intens ke arah dirinya. "You B*tch!" Dia melayangkan tamparan kedua yang kali ini masuk dengan telak. Aria tidak sempat menghindar. Rasa panas dan perih langsung menjalar di pipi kirinya, tapi gadis itu membalas tatapan Sophia tajam. Seandainya dia tidak ingat kalau dia adalah murid beasiswa, dia pasti sudah akan membalas dengan menjambak rambut pirang Sophia yang d
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?