Axel Jr. Davis. Remaja 17 tahun dengan rambut dicat pirang. Ketampanan bak dewa Yunani, tubuh atletis sempurna, juga tatapan dingin menusuk membuat dia digilai siapa pun. Tak ada gadis di Crown High School yang tidak menjerit histeris ketika dia melintas.
Transaksi narkoba, minuman keras, juga pesta gemerlap sudah menjadi kesehariannya. Tak ada rasa takut pernah singgah di mata sewarna emerald itu.
Semua siswi berusaha menjadi pacar dari siswa most wanted tersebut. Memperebutkannya!
Kecuali Aria Dania Patterson.
Siswi pindahan keturunan Amerika - Indonesia yang lebih sibuk dengan buku dan menyumbat rapat telinga dengan musik berdentam dari negara Korea. Ia tampak tak memedulikan pesona Axel dan lebih memilih duduk tenang di sudut kelas.
Sayang takdir bicara berbeda.
Ketika keduanya harus terlibat dalam perseteruan hebat, apakah benih-benih cinta akan muncul atau justru semakin memperluas jurang
Tatapan netra hijau penuh arogansi itu membuat jantung Aria berdegup kencang. "Sudah selesai Pak Tua? Aku lelah berdiri terus." Tanpa menunggu jawaban, Axel segera menuju ketempat duduknya. Guru bahasa Inggris itu pun tak bisa berbuat banyak kecuali menggerutu dalam hati. Kemudian dia pun melanjutkan menulis beberapa kalimat di papan tulis.Aria semakin tidak karuan, geram yang tadinya hampir karam sekarang kembali naik ke permukaan. Dia tidak menyangka kalau Axel akan duduk di sebelahnya. Tentu saja hal ini membuat para wanita di kelasnya saling berbisik-bisik."Huh, tambah satu lagi saingan.""Tenang, dia jelas bukan level Axel."Wajah Aria memerah saat tubuh tegap itu semakin dekat. Semua rasa seakan jadi satu. Pelajaran bahasa Inggris saat itu tak lagi digubris olehnya. Bau rokok dan alkohol dari pemuda yang duduk di sebelahnya ini, terasa memenuhi otak. Aria sampai-sampai harus menutup hidung dengan tisu sepanjang pelajaran. Dengan sedikit tarikan na
Ketika bangun dari tidur siangnya, Aria teringat pada buku catatannya. Gadis itu segera mencari di dalam tas. Ia panik saat bukunya tak ada di dalam tas. "Tenang, Ar! Cari pelan-pelan," gumamnya untuk menenangkan diri.Sekali lagi Aria mengeluarkan isi tasnya. Berkali-kali diperiksa semua kompartemen tas selempang yang tadi dibawanya ke sekolah. Tidak ada. Buku itu benar-benar tidak ketemu.Awalnya ia mengira buku itu hanya terselip di dalam tas atau mungkin di lemari buku. Namun, setelah mencari bolak-balik di kamar tanpa hasil, ia pun sadar jika buku itu telah hilang.Wajah Aria memucat karena bingung. Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia mengingat-ingat di mana ia meletakkan bukunya selama di sekolah. "Duh, di mana, ya? Kayaknya aku udah masukin buku itu ke dalam tas setelah pelajaran tadi. Apa kutaruh di loker? Atau terjatuh? Atau jangan-jangan si berandalan itu mengambilnya?"Memikirkan buku itu jatuh ke tangan Axel, membuat Aria be
Aria kehilangan kata-kata saat Axel menggerak-gerakkan buku itu sejenak sebelum meletakkannya di belakang punggung. Jauh dari jangkauan tangan mungil gadis itu.Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Aria berujar, "I'll do anything.""Anything?" Axel menegaskan.Aria tergelagap. "Eh, selama tidak melanggar hukum, norma agama, dan sosial yang kuanut." Gadis itu mengeluarkan jemarinya satu per satu seolah menghitung. "But, I'll try my best!"Alih-alih luluh, Axel justru meneleng dan berkata. "Memang kau bisa apa?"Aria ingin mengumpat, tapi ia menahan diri. "Biar seperti ini, aku bisa melakukan banyak hal." Senyum setengah menahan kesal diperlihatkan.Axel memasang wajah serius, tapi bagi Aria, ekspresi pemuda itu terlihat sangat menggoda ... untuk ditampar."Minta maaflah padaku karena kau sudah bersikap kurang ajar!" Axel mengangkat kepalanya pongah.Gadis itu menggemeretakkan gerahamnya. Aria merasa panas di hatinya mengalahkan eru
Aria melihat gerakan Sophia dan menghindar tepat waktu, membuat tamparan itu mengenai udara kosong. Terdengar seruan dari para siswa yang mengelilingi mereka. Seruan penuh cemooh pada kesalahan Sophia. Gadis berambut pirang bergelombang itu semakin kesal melihat Aria yang tidak mudah digencet apalagi siswa baru itu sudah mempermalukannya di depan banyak orang. Sophia mengerling singkat ke arah siswa yang mulai berkerumun di sekitar mereka. Hampir seluruh kafetaria sudah memandangi mereka berdua, termasuk beberapa siswa asing. Gadis berambut pirang itu dapat melihat seorang siswa berketurunan Korea menatap intens ke arah dirinya. "You B*tch!" Dia melayangkan tamparan kedua yang kali ini masuk dengan telak. Aria tidak sempat menghindar. Rasa panas dan perih langsung menjalar di pipi kirinya, tapi gadis itu membalas tatapan Sophia tajam. Seandainya dia tidak ingat kalau dia adalah murid beasiswa, dia pasti sudah akan membalas dengan menjambak rambut pirang Sophia yang d
Jantung Aria seolah melompat. Suara Sophia menggagalkan rencananya. Gadis pirang itu benar-benar menyebalkan, sengaja mencari masalah."Ti-Tidak! Jangan sembarangan menuduh," kilah Aria.Sophia memandang curiga ke arah Aria. "Kalau tidak mencuri, apa namanya?! Aku melihatmu mendekati tas Axel.""Aku mengambil bolpoinku yang jatuh. Apa itu salah?" Gadis berambut sekelam malam itu bangkit dari posisinya lalu menunjukkan bolpoin yang menjadi alibinya.Sophia tampak tidak percaya, tetapi ia juga tidak punya bukti pencurian. Lagi pula sepertinya tidak ada barang Axel yang hilang. Pemuda itu tidak mungkin ceroboh meninggalkan barang berharga di dalam tasnya."Kali ini kau lolos, tapi ingat aku akan terus mengawasimu!" ancam gadis berambut pirang.Aria hanya mengedik, lalu segera memanfaatkan kesempatan untuk pergi. Sementara Sophia mengambil buku yang diminta Axel, gadis pencinta BTS itu cepat-cepat melangkah menuju laboratorium Kimia. Ia tidak in
Seandainya saja mulutnya tak latah menyebut nama Axel, mungkin akan lebih menyenangkan jika ia berpura-pura tak melihat dan melanjutkan perjalanan. Sayang semua sudah terlambat.Tiba-tiba pria paruh baya di hadapan Axel menganggukkan kepala sedikit meski tak ada perubahan ekspresi berarti. Lain halnya dengan wanita cantik di sebelahnya. Ia langsung bangkit dan menyapa Aria ramah."Apa kau teman Axel?" Suara lembut itu angkat bicara.Aria tersenyum salah tingkah. Melihat wajah Axel merupakan perpaduan sempurna kedua orang di hadapannya, ia bisa memastikan jika mereka adalah orang tua Axel."Salam kenal Mr. dan Mrs. Davis. Saya Aria Dania Patterson." Aria memberi sedikit gerakan memperkenalkan pemuda di sisinya. "Lalu ini Ji Wook, temanku."Aria baru saja melihat Mrs. Davis membuka mulut ingin bicara, tiba-tiba Axel bangkit berdiri."Mom, I want to talk with them!""But--"Tak memedulikan protes Mrs. Davis, Axel langsung meraih t
"B*tch!" seru Axel murka, tapi berhasil menahan tangannya dari membalas Aria. Dia masih ingat tata krama yang pernah diajarkan oleh sang ayah, lagipula, hanya laki-laki rendah yang berani memukul seorang perempuan. Harga dirinya yang selangit tidak akan membiarkan itu.Mata hijaunya berkilat memandang ke arah Aria yang membalas tanpa takut. Gelegak kemarahan terlihat jelas di kedua mata hitam pekatnya. Mulut gadis itu terkatup rapat dengan rahang mengeras. Ekspresi tajam itu harusnya membuat siapa pun yang melihat akan merasakan setidaknya rasa gentar, tapi bagi Axel, sebuah rasa aneh menggelitik hatinya."Tutup mulutmu, Axel!" bentak Aria, mengancam dengan tangan kanan terangkat, siap bergerak menghantam pipi pemuda yang sudah berwarna merah. Matanya menyipit berbahaya. "Satu kata lagi dan aku akan membuatmu menderita seumur hidup."Aria kemudian menyesal telah mengatakan hal itu, mengingat statusnya adalah penerima beasiswa dari donatur terbesar di CHS yang ta
Rasa penasaran perlahan mulai naik ke permukaan. Lembar demi lembar tulisan dalam buku biru itu telah membuat debar yang tak sabar di hati Axel. Wanita satu ini diam-diam telah cukup menyita perhatiannya. Tanpa berkedip, pemilik mata emerald ini menatap baris-baris kalimat yang tertulis penuh makna.Untukmu pemilik rahim tempat dulu aku bersemayamPesan ini kutulis dengan gundah saat pikiranku tumpahKalimat ini kutulis dengan air mata tertahanSaat dadaku yang ringkih ini sesak oleh sakit yang kurasa sendirianHarusnya kau tahu dalam sebuah bahteraDiam tak bisa selesaikan perkaraKau bukan pembaca hati, perlu ada komunikasiDahinya berkerut untuk dapat memahami deretan diksi penuh arti. Kata demi kata masih terdengar membingungkan."For you the owner of the womb where I used to live?" salah satu kalimat dari hasil terjemahan Google translate ini membuat pria bermata hijau bertanya dalam hati. Dia berusaha keras untuk d