Tatapan netra hijau penuh arogansi itu membuat jantung Aria berdegup kencang. "Sudah selesai Pak Tua? Aku lelah berdiri terus." Tanpa menunggu jawaban, Axel segera menuju ketempat duduknya. Guru bahasa Inggris itu pun tak bisa berbuat banyak kecuali menggerutu dalam hati. Kemudian dia pun melanjutkan menulis beberapa kalimat di papan tulis.
Aria semakin tidak karuan, geram yang tadinya hampir karam sekarang kembali naik ke permukaan. Dia tidak menyangka kalau Axel akan duduk di sebelahnya. Tentu saja hal ini membuat para wanita di kelasnya saling berbisik-bisik.
"Huh, tambah satu lagi saingan."
"Tenang, dia jelas bukan level Axel."
Wajah Aria memerah saat tubuh tegap itu semakin dekat. Semua rasa seakan jadi satu. Pelajaran bahasa Inggris saat itu tak lagi digubris olehnya. Bau rokok dan alkohol dari pemuda yang duduk di sebelahnya ini, terasa memenuhi otak. Aria sampai-sampai harus menutup hidung dengan tisu sepanjang pelajaran. Dengan sedikit tarikan na
Ketika bangun dari tidur siangnya, Aria teringat pada buku catatannya. Gadis itu segera mencari di dalam tas. Ia panik saat bukunya tak ada di dalam tas. "Tenang, Ar! Cari pelan-pelan," gumamnya untuk menenangkan diri.Sekali lagi Aria mengeluarkan isi tasnya. Berkali-kali diperiksa semua kompartemen tas selempang yang tadi dibawanya ke sekolah. Tidak ada. Buku itu benar-benar tidak ketemu.Awalnya ia mengira buku itu hanya terselip di dalam tas atau mungkin di lemari buku. Namun, setelah mencari bolak-balik di kamar tanpa hasil, ia pun sadar jika buku itu telah hilang.Wajah Aria memucat karena bingung. Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia mengingat-ingat di mana ia meletakkan bukunya selama di sekolah. "Duh, di mana, ya? Kayaknya aku udah masukin buku itu ke dalam tas setelah pelajaran tadi. Apa kutaruh di loker? Atau terjatuh? Atau jangan-jangan si berandalan itu mengambilnya?"Memikirkan buku itu jatuh ke tangan Axel, membuat Aria be
Aria kehilangan kata-kata saat Axel menggerak-gerakkan buku itu sejenak sebelum meletakkannya di belakang punggung. Jauh dari jangkauan tangan mungil gadis itu.Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Aria berujar, "I'll do anything.""Anything?" Axel menegaskan.Aria tergelagap. "Eh, selama tidak melanggar hukum, norma agama, dan sosial yang kuanut." Gadis itu mengeluarkan jemarinya satu per satu seolah menghitung. "But, I'll try my best!"Alih-alih luluh, Axel justru meneleng dan berkata. "Memang kau bisa apa?"Aria ingin mengumpat, tapi ia menahan diri. "Biar seperti ini, aku bisa melakukan banyak hal." Senyum setengah menahan kesal diperlihatkan.Axel memasang wajah serius, tapi bagi Aria, ekspresi pemuda itu terlihat sangat menggoda ... untuk ditampar."Minta maaflah padaku karena kau sudah bersikap kurang ajar!" Axel mengangkat kepalanya pongah.Gadis itu menggemeretakkan gerahamnya. Aria merasa panas di hatinya mengalahkan eru
Aria melihat gerakan Sophia dan menghindar tepat waktu, membuat tamparan itu mengenai udara kosong. Terdengar seruan dari para siswa yang mengelilingi mereka. Seruan penuh cemooh pada kesalahan Sophia. Gadis berambut pirang bergelombang itu semakin kesal melihat Aria yang tidak mudah digencet apalagi siswa baru itu sudah mempermalukannya di depan banyak orang. Sophia mengerling singkat ke arah siswa yang mulai berkerumun di sekitar mereka. Hampir seluruh kafetaria sudah memandangi mereka berdua, termasuk beberapa siswa asing. Gadis berambut pirang itu dapat melihat seorang siswa berketurunan Korea menatap intens ke arah dirinya. "You B*tch!" Dia melayangkan tamparan kedua yang kali ini masuk dengan telak. Aria tidak sempat menghindar. Rasa panas dan perih langsung menjalar di pipi kirinya, tapi gadis itu membalas tatapan Sophia tajam. Seandainya dia tidak ingat kalau dia adalah murid beasiswa, dia pasti sudah akan membalas dengan menjambak rambut pirang Sophia yang d
Jantung Aria seolah melompat. Suara Sophia menggagalkan rencananya. Gadis pirang itu benar-benar menyebalkan, sengaja mencari masalah."Ti-Tidak! Jangan sembarangan menuduh," kilah Aria.Sophia memandang curiga ke arah Aria. "Kalau tidak mencuri, apa namanya?! Aku melihatmu mendekati tas Axel.""Aku mengambil bolpoinku yang jatuh. Apa itu salah?" Gadis berambut sekelam malam itu bangkit dari posisinya lalu menunjukkan bolpoin yang menjadi alibinya.Sophia tampak tidak percaya, tetapi ia juga tidak punya bukti pencurian. Lagi pula sepertinya tidak ada barang Axel yang hilang. Pemuda itu tidak mungkin ceroboh meninggalkan barang berharga di dalam tasnya."Kali ini kau lolos, tapi ingat aku akan terus mengawasimu!" ancam gadis berambut pirang.Aria hanya mengedik, lalu segera memanfaatkan kesempatan untuk pergi. Sementara Sophia mengambil buku yang diminta Axel, gadis pencinta BTS itu cepat-cepat melangkah menuju laboratorium Kimia. Ia tidak in
Seandainya saja mulutnya tak latah menyebut nama Axel, mungkin akan lebih menyenangkan jika ia berpura-pura tak melihat dan melanjutkan perjalanan. Sayang semua sudah terlambat.Tiba-tiba pria paruh baya di hadapan Axel menganggukkan kepala sedikit meski tak ada perubahan ekspresi berarti. Lain halnya dengan wanita cantik di sebelahnya. Ia langsung bangkit dan menyapa Aria ramah."Apa kau teman Axel?" Suara lembut itu angkat bicara.Aria tersenyum salah tingkah. Melihat wajah Axel merupakan perpaduan sempurna kedua orang di hadapannya, ia bisa memastikan jika mereka adalah orang tua Axel."Salam kenal Mr. dan Mrs. Davis. Saya Aria Dania Patterson." Aria memberi sedikit gerakan memperkenalkan pemuda di sisinya. "Lalu ini Ji Wook, temanku."Aria baru saja melihat Mrs. Davis membuka mulut ingin bicara, tiba-tiba Axel bangkit berdiri."Mom, I want to talk with them!""But--"Tak memedulikan protes Mrs. Davis, Axel langsung meraih t
"B*tch!" seru Axel murka, tapi berhasil menahan tangannya dari membalas Aria. Dia masih ingat tata krama yang pernah diajarkan oleh sang ayah, lagipula, hanya laki-laki rendah yang berani memukul seorang perempuan. Harga dirinya yang selangit tidak akan membiarkan itu.Mata hijaunya berkilat memandang ke arah Aria yang membalas tanpa takut. Gelegak kemarahan terlihat jelas di kedua mata hitam pekatnya. Mulut gadis itu terkatup rapat dengan rahang mengeras. Ekspresi tajam itu harusnya membuat siapa pun yang melihat akan merasakan setidaknya rasa gentar, tapi bagi Axel, sebuah rasa aneh menggelitik hatinya."Tutup mulutmu, Axel!" bentak Aria, mengancam dengan tangan kanan terangkat, siap bergerak menghantam pipi pemuda yang sudah berwarna merah. Matanya menyipit berbahaya. "Satu kata lagi dan aku akan membuatmu menderita seumur hidup."Aria kemudian menyesal telah mengatakan hal itu, mengingat statusnya adalah penerima beasiswa dari donatur terbesar di CHS yang ta
Rasa penasaran perlahan mulai naik ke permukaan. Lembar demi lembar tulisan dalam buku biru itu telah membuat debar yang tak sabar di hati Axel. Wanita satu ini diam-diam telah cukup menyita perhatiannya. Tanpa berkedip, pemilik mata emerald ini menatap baris-baris kalimat yang tertulis penuh makna.Untukmu pemilik rahim tempat dulu aku bersemayamPesan ini kutulis dengan gundah saat pikiranku tumpahKalimat ini kutulis dengan air mata tertahanSaat dadaku yang ringkih ini sesak oleh sakit yang kurasa sendirianHarusnya kau tahu dalam sebuah bahteraDiam tak bisa selesaikan perkaraKau bukan pembaca hati, perlu ada komunikasiDahinya berkerut untuk dapat memahami deretan diksi penuh arti. Kata demi kata masih terdengar membingungkan."For you the owner of the womb where I used to live?" salah satu kalimat dari hasil terjemahan Google translate ini membuat pria bermata hijau bertanya dalam hati. Dia berusaha keras untuk d
Aria tersenyum-senyum membaca lagi pesan singkat Ji Wook yang masuk di ponsel pintarnya. Perasaannya terasa damai setiap mengingat wajah manis pria yang begitu mirip dengan Park Jimin. Bukan hanya wajahnya, Ji Wook juga memperlakukan wanita dengan teramat baik.Tiba-tiba pikiran Aria bertanya-tanya. Apakah Ji Wook tertarik padanya? Atau memang perlakuannya begitu sopan dan baik kepada siapa saja?Mereka belum lama saling mengenal, tetapi Ji Wook sudah banyak membantunya. Aria tidak tahu apa motivasi pemuda Korea itu. Ia tidak mungkin berpikiran bahwa pria itu menyukainya. Meskipun dia akui, Ji Wook sungguh menarik. Setidaknya kini ia mempunyai teman di negeri asing.***Sementara Aria telah terlelap dibuai mimpi, Axel masih menunggu seseorang yang tadi menghubunginya.Pemuda dengan rambut dicat pirang itu duduk di bar salah satu klub malam terbaik di NYC. Ia senang karena berhasil mengelabui penjaga klub dengan penampilannya, hingga bisa masuk tanp
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?