Aria tersenyum-senyum membaca lagi pesan singkat Ji Wook yang masuk di ponsel pintarnya. Perasaannya terasa damai setiap mengingat wajah manis pria yang begitu mirip dengan Park Jimin. Bukan hanya wajahnya, Ji Wook juga memperlakukan wanita dengan teramat baik.
Tiba-tiba pikiran Aria bertanya-tanya. Apakah Ji Wook tertarik padanya? Atau memang perlakuannya begitu sopan dan baik kepada siapa saja?
Mereka belum lama saling mengenal, tetapi Ji Wook sudah banyak membantunya. Aria tidak tahu apa motivasi pemuda Korea itu. Ia tidak mungkin berpikiran bahwa pria itu menyukainya. Meskipun dia akui, Ji Wook sungguh menarik. Setidaknya kini ia mempunyai teman di negeri asing.
***
Sementara Aria telah terlelap dibuai mimpi, Axel masih menunggu seseorang yang tadi menghubunginya.
Pemuda dengan rambut dicat pirang itu duduk di bar salah satu klub malam terbaik di NYC. Ia senang karena berhasil mengelabui penjaga klub dengan penampilannya, hingga bisa masuk tanp
Aria masih berusaha menghapus jejak-jejak duka kala ia masuk ke dalam kelas. Hatinya hancur seperti kepingan CD yang kini ada dalam dekapannya. Hidungnya memerah dengan mata yang berwarna serupa. Sesekali isaknya masih terdengar menyayat, tapi ia berusaha meminimalisir semua perhatian padanya. Bergegas gadis itu duduk di bangku dan tetap menunduk.Jangan berharap Aria bisa berkonsentrasi dalam pelajaran. Pikirannya kacau balau.Dia bahkan belum mendapatkan gaji pertamanya untuk membayar CD ini. Belum menikmati barang yang susah payah didapatkan itu. Axel sialan! Aria menyumpahi pemuda itu berulang kali. Setiap kali ia merutuk, air matanya pun ikut runtuh.***Meski waktu terasa seperti kura-kura yang tersesat, bel waktu pulang akhirnya berdentang. Sampai akhir, Axel tak menampakkan batang hidungnya. Aria pun tak mengharapkan kehadiran bajingan itu. Ia sungguh takut tak bisa menahan diri dan mengirimkan bogem mentah ke arah pemuda bermata kehijauan itu.
Axel memainkan ponsel pintarnya dengan tangan. Dia baru saja menyelesaikan beberapa transaksi penjualan. Kliennya puas dan dia sudah berkeliling kota menggunakan Ducati-nya yang tersayang. Panggilan dari Sophia sudah ditolak dan saat ini tidak ada yang mengganggunya. Namun, mengapa dirinya merasa tidak tenang?Axel menegak satu sloki vodka, berharap dapat mengusir penat dengan alkohol, tapi gagal. Bahkan dengan musik EDM berdentam di sekelilingnya, otaknya masih terus bekerja, memutar ulang kejadian tadi siang. Wajah putus asa Aria berkelebat dan rasa tidak enak itu kembali muncul."Shit!" umpat Axel pelan membanting gelas kecil itu ke meja bartender."Something happened?" tanya seorang pemuda berusia akhir dua puluhan kepadanya. Sang bartender yang sudah kenal baik dengan Axel karena menjadi pelanggan tetap di klub itu."Nothing. Gimme another shot and leave me alone!"Sang bartender mengangkat bahu dan mengisi gelas Axel dengan cairan yang dengan
Tatapan dua pasang mata bertemu dalam satu garis lurus. Aura luka begitu terasa diantara netra kedua pria yang kini saling bertatapan. Ji Wook tahu benar dengan siapa dia berhadapan. Axel Jr. Davis, remaja bertubuh tegap paling berpengaruh di sekolah.Axel yang baru saja sampai, merasa kehadiran Ji Wook telah menyita waktunya. Dia tak suka basa-basi."Ada urusan yang harus kita selesaikan, Mr Davis." Mata kecil Ji Wook tak sedetik pun berkedip. Dadanya turun naik menahan napas yang memburu."Urusan yang mana?" Dengan suara sedikit keras Axel balik bertanya. Kaki tegap itu bergerak maju menghampiri Ji Wook. Sekarang jarak mereka hanya satu meter. Tempat parkir yang luas itu menjadi sesak oleh deru napas kedua pria ini. Tentu saja ini menarik perhatian para siswa lainnya. Dagunya diangkat dengan pongah. Mata yang nanar mengintimidasi pria keturunan Korea ini."Kenapa kau patahkan CD Aria?" Ji Wook kali ini mengatur intonasinya. Satu per satu kata diucapkan
Ji Wook terlihat begitu menikmati makanan dari Aria. Keringat turun membasahi wajah dan bibirnya pun memerah. Ia mengibaskan telapak tangan di depan mulut."Apa makanannya terlalu pedas?" tanya Aria yang segera mengangsurkan sebotol air mineral kepada pemuda itu.Ji Wook menggeleng, tetapi langsung menyambar botol air itu dan menenggak isinya. "Makanannya sangat enak. Apa kau sendiri yang memasaknya?""Benarkah kau suka?" gadis blasteran Indo-Amerika itu bertanya balik. Mata yang tadi sendu kini berbinar-binar menatap Ji Wook."Apa nama makanan ini? Aku belum pernah makan sebelumnya." Ji Wook mengecap rasa yang tertinggal di mulutnya. "You made it perfectly," pujinya."Thank you," jawab Aria malu-malu. Ia segera menundukkan wajah, pipinya kini pasti memerah seperti udang rebus. Ia tak menyangka ada orang yang menyukai makanan buatannya. Selama ini hanya papa yang selalu memuji masakannya. "It's fried rice, makanan khas Indonesia. Kalau kau suka, na
Bagaimana Aria menolak kehadirannya, membuat Axel memilih menjauh. Kehidupannya kini kembali dalam ritme normal. Pemuda itu berusaha tak mengacuhkan kehadiran Aria. Menjauhinya. Sangat tidak mungkin ia terlihat selalu berada di dekat gadis itu. Memalukan! Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.“Shall we go out tonight?” Sophia tiba-tiba menyelipkan lengannya ke tangan Axel.Siswa tampan itu nyaris mendorongnya menjauh, tapi ia menahan diri. “We will. But, let go off me!” Axel menarik tangannya lepas perlahan. “Aku harus pergi. Akan kujemput kau pukul enam.”Sophia hanya bisa menyipitkan mata kesal. Ia heran mengapa Axel sama sekali tak bisa memahami pesona yang dipancarkan. Tiada pria di CHS yang tidak memujanya. Kecantikan, kepintaran, kekayaan, semua dia punya.Alih-alih menerima perasaan tulusnya, Axel justru memperhatikan Aria. Apa menariknya gadis lusuh itu? Memang harus Sophia akui, nilai-nilai Aria tak pernah je
Hampir pukul sepuluh, Axel tiba di depan restoran Korea tempat Aria bekerja. Ia mengenakan topi baseball dan kacamata hitamnya. Pemuda itu langsung menghampiri resepsionis.“Apa Miss Patterson masih di sini?”Sang resepsionis tampak kebingungan kala melihat daftar tamu di laptopnya. “I’m sorry, Sir, tidak ada reservasi atas nama Miss Patterson.”Axel menghela napas. “Maksudku, dia pelayan yang bekerja di sini. Apa Aria Dania Patterson masih belum pulang?”Kali ini keringat sebesar jagung mengalir di pelipis. Pemuda di hadapannya seperti menguarkan hawa intimidasi yang kental. “Maafkan saya. Apa ada masalah dengan Miss Patterson? Saya pegawai baru di sini. Saya masih belum hafal dengan nama semua pegawai. Saya bisa panggilkan manager jika memang perlu.”Kali ini Axel hanya berdecak perlan. “Tidak perlu. Aku hanya mau memberikan ini. Tolong sampaikan saja.”
Jantung Aria seakan-akan kehilangan satu detaknya ketika suara Sophia menggema di dalam ruang kelas. Untuk seketika suasana sunyi, semua siswa berhenti berbicara dan memfokuskan pandangan pada Aria. Gadis itu merasakan kepanikan mulai menggerogotinya. Dia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Itu hanya membuatnya gugup, tapi kali ini Aria tidak punya pilihan lain. Dia menggenggam tangannya erat, berusaha mengendalikan getaran halus yang mulai merayap. Matanya memandang ke arah Sophia, berharap dapat membuatnya tampak mengintimidasi jalang di hadapannya."Apa buktinya?" tanya Aria setenang mungkin walau dia sadar bahwa suaranya tidak semeyakinkan yang dia mau.Sophia mendengkus kasar sambil memberi kode kepada anak buahnya. Si gadis Meksiko mengebaskan Aria agar menyingkir. Tubuh kecilnya langsung terdorong hingga menabrak kursi di samping sementara dayang Sophia membongkar tasnya."HEI!" seru Aria merasa kesal, tidak suka bila ada orang yang mengusik barang
Suasana taman di belakang sekolah nyaris selalu sepi. Kali ini pun, tidak ada orang lain selain keduanya yang saling bersitatap dalam keheningan. Angin yang sesekali mendesau, tak mampu memecahkan kesunyian yang menggigit."Apa maumu Mr. Davis?" Aria angkat bicara mengenyahkan segala rasa tak nyaman pada situasi saat ini. Gadis itu menjaga wajahnya agar tetap tak berekspresi. Ia tak ingin terlihat gentar ataupun merasa berutang budi, meski memang sebenarnya ingin berterima kasih. Namun, jika dirinya berterima kasih sekarang, apa reaksi Axel? Apa pria itu akan mengancam dengan sesuatu yang lain?Tidak! Pemuda di hadapannya terlalu mengerikan untuk diberi kesempatan."A thank you would be appropriate!" Axel bersedekap kala melihat Aria yang berdiri menentangnya."Aku tak pernah minta tolong padamu." Aria mengangkat bahunya tak acuh.Rahang Axel berkedut sekali. Namun, ekspresinya tetap tenang. Hitungan mundur yang diajarkan Dad waktu kecil cukup memb