Ji Wook terlihat begitu menikmati makanan dari Aria. Keringat turun membasahi wajah dan bibirnya pun memerah. Ia mengibaskan telapak tangan di depan mulut.
"Apa makanannya terlalu pedas?" tanya Aria yang segera mengangsurkan sebotol air mineral kepada pemuda itu.
Ji Wook menggeleng, tetapi langsung menyambar botol air itu dan menenggak isinya. "Makanannya sangat enak. Apa kau sendiri yang memasaknya?"
"Benarkah kau suka?" gadis blasteran Indo-Amerika itu bertanya balik. Mata yang tadi sendu kini berbinar-binar menatap Ji Wook.
"Apa nama makanan ini? Aku belum pernah makan sebelumnya." Ji Wook mengecap rasa yang tertinggal di mulutnya. "You made it perfectly," pujinya.
"Thank you," jawab Aria malu-malu. Ia segera menundukkan wajah, pipinya kini pasti memerah seperti udang rebus. Ia tak menyangka ada orang yang menyukai makanan buatannya. Selama ini hanya papa yang selalu memuji masakannya. "It's fried rice, makanan khas Indonesia. Kalau kau suka, na
Bagaimana Aria menolak kehadirannya, membuat Axel memilih menjauh. Kehidupannya kini kembali dalam ritme normal. Pemuda itu berusaha tak mengacuhkan kehadiran Aria. Menjauhinya. Sangat tidak mungkin ia terlihat selalu berada di dekat gadis itu. Memalukan! Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.“Shall we go out tonight?” Sophia tiba-tiba menyelipkan lengannya ke tangan Axel.Siswa tampan itu nyaris mendorongnya menjauh, tapi ia menahan diri. “We will. But, let go off me!” Axel menarik tangannya lepas perlahan. “Aku harus pergi. Akan kujemput kau pukul enam.”Sophia hanya bisa menyipitkan mata kesal. Ia heran mengapa Axel sama sekali tak bisa memahami pesona yang dipancarkan. Tiada pria di CHS yang tidak memujanya. Kecantikan, kepintaran, kekayaan, semua dia punya.Alih-alih menerima perasaan tulusnya, Axel justru memperhatikan Aria. Apa menariknya gadis lusuh itu? Memang harus Sophia akui, nilai-nilai Aria tak pernah je
Hampir pukul sepuluh, Axel tiba di depan restoran Korea tempat Aria bekerja. Ia mengenakan topi baseball dan kacamata hitamnya. Pemuda itu langsung menghampiri resepsionis.“Apa Miss Patterson masih di sini?”Sang resepsionis tampak kebingungan kala melihat daftar tamu di laptopnya. “I’m sorry, Sir, tidak ada reservasi atas nama Miss Patterson.”Axel menghela napas. “Maksudku, dia pelayan yang bekerja di sini. Apa Aria Dania Patterson masih belum pulang?”Kali ini keringat sebesar jagung mengalir di pelipis. Pemuda di hadapannya seperti menguarkan hawa intimidasi yang kental. “Maafkan saya. Apa ada masalah dengan Miss Patterson? Saya pegawai baru di sini. Saya masih belum hafal dengan nama semua pegawai. Saya bisa panggilkan manager jika memang perlu.”Kali ini Axel hanya berdecak perlan. “Tidak perlu. Aku hanya mau memberikan ini. Tolong sampaikan saja.”
Jantung Aria seakan-akan kehilangan satu detaknya ketika suara Sophia menggema di dalam ruang kelas. Untuk seketika suasana sunyi, semua siswa berhenti berbicara dan memfokuskan pandangan pada Aria. Gadis itu merasakan kepanikan mulai menggerogotinya. Dia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Itu hanya membuatnya gugup, tapi kali ini Aria tidak punya pilihan lain. Dia menggenggam tangannya erat, berusaha mengendalikan getaran halus yang mulai merayap. Matanya memandang ke arah Sophia, berharap dapat membuatnya tampak mengintimidasi jalang di hadapannya."Apa buktinya?" tanya Aria setenang mungkin walau dia sadar bahwa suaranya tidak semeyakinkan yang dia mau.Sophia mendengkus kasar sambil memberi kode kepada anak buahnya. Si gadis Meksiko mengebaskan Aria agar menyingkir. Tubuh kecilnya langsung terdorong hingga menabrak kursi di samping sementara dayang Sophia membongkar tasnya."HEI!" seru Aria merasa kesal, tidak suka bila ada orang yang mengusik barang
Suasana taman di belakang sekolah nyaris selalu sepi. Kali ini pun, tidak ada orang lain selain keduanya yang saling bersitatap dalam keheningan. Angin yang sesekali mendesau, tak mampu memecahkan kesunyian yang menggigit."Apa maumu Mr. Davis?" Aria angkat bicara mengenyahkan segala rasa tak nyaman pada situasi saat ini. Gadis itu menjaga wajahnya agar tetap tak berekspresi. Ia tak ingin terlihat gentar ataupun merasa berutang budi, meski memang sebenarnya ingin berterima kasih. Namun, jika dirinya berterima kasih sekarang, apa reaksi Axel? Apa pria itu akan mengancam dengan sesuatu yang lain?Tidak! Pemuda di hadapannya terlalu mengerikan untuk diberi kesempatan."A thank you would be appropriate!" Axel bersedekap kala melihat Aria yang berdiri menentangnya."Aku tak pernah minta tolong padamu." Aria mengangkat bahunya tak acuh.Rahang Axel berkedut sekali. Namun, ekspresinya tetap tenang. Hitungan mundur yang diajarkan Dad waktu kecil cukup memb
Ducati merah Axel mencicit akibat gesekan tiba-tiba ban dengan aspal. Pria itu meliukkan motornya lalu kembali melaju sambil mengumpat. Ia nyaris menabrak seorang wanita yang seketika muncul untuk menyeberang. Untung saja refleksnya bekerja dengan baik. Seandainya tidak, tentu ia terpaksa meminta bantuan Uncle Mike untuk membereskan.Pikiran pemuda tampan itu sedang kacau. Memacu Ducati ternyata tidak serta-merta menghilangkan kegalauan. Benaknya masih dipenuhi wajah Aria dengan mata yang berkaca-kaca sebelum gadis itu lari meninggalkannya. "Aku benci kau!" kata-kata Aria berkali-kali terngiang di telinga Axel.Misinya untuk mendapatkan kepercayaan Aria gagal. Padahal ia telah bersusah payah mengencani Sophia demi mendapat CD boyband favorit gadis berkulit sawo matang itu. Bahkan pembelaan Axel di depan seisi kelas yang menuduhnya mencuri tak juga membuat gadis itu melunak.Pikiran Axel semakin penuh dengan pertanyaan. Apa yang kurang dari dirinya? Wajah tampan,
Aria tercenung memikirkan perlakuan Axel kepadanya tadi.Menawari untuk mengantarnya ke tempat kerja?Aneh. Aria mengerutkan alisnya. Rasa marah kembali menggelegak. Dia berani taruhan kalau Axel ingin mengerjainya lagi. Tangan gadis itu terkepal erat. Sudah cukup Axel sekelompok dengannya di tugas besar fisika, sekarang ingin mengantarnya pergi ke tempat kerja.Mengapa pemuda itu tidak bisa membiarkannya sendiri!?"Aria?" panggil Ji Wook membuat kesadaran Aria kembali. Dia langsung menoleh menatap pemuda berdarah Korea di sampingnya. "Ada yang tidak beres?"Aria tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak, tidak ada."Ji Wook tersenyum maklum. Matanya tetap mengarah ke jalan. "Karena Axel?"Aria menghela napas dalam ketika mendengar nama si Kodok Bangkong disebutkan. Senyum Ji Wook melebar."Abaikan dia, oke?" ucap pemuda itu sambil terus mengendalikan mobil melewati keramaian di New York pada sore hari, "Aku dengar kem
Aria masih berkutat dalam pikirannya. Apa jadinya jika sampai ia berutang budi. Apa setiap hari pria itu akan menagih juga menerornya untuk membayar utang plus bunganya. Sungguh tak bisa dibayangkan jika dia dikuntit oleh debt collector. Amit-amit!Entah sudah berapa kali Aria mencoba melepas helm yang dikunci paksa ke kepalanya. Untung, dia berhasil dan langsung meletakkannya di kaca spion. Sejujurnya, gadis itu ingin melempar helm itu ke kepala Axel. Namun, akal sehat masih berjalan dengan baik. Ia memilih membalikkan badan dan berjalan menuju halte yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia harus mengejar bus terakhir menuju apartemennya.Sial! Axel membuntuti.“Come on! It’s gonna rain!” Axel masih mengekor sembari menaiki motornya pelan menyusuri tepian jalan. Namun, pengabaian Aria membuatnya kesal“ARIA!”Kali ini Aria tersentak dan menoleh. “Shut up! Aku sudah katakan tak ingin pulang denganmu. Ada bus yang
Apa kau sudah pulang? Di luar mulai hujan dan aku jadi mengkhawatirkanmu.Aria membaca pesan singkat dari Ji Wook yang disertakan emotikon beruang dengan tanda tanya besar. Lantas ia mengetik balasan dan memberi emotikon kucing tersenyum.Don't worry, aku baik-baik saja. Sehat, selamat, sampai di rumah. Bagaimana rapatnya?Balasan pesan dari Ji Wook berturut-turut masuk. Emotikon panda tertawa dan beruang tidur segera menyusul pesan singkat tersebut.Syukurlah, lega rasanya. As usual, rapat membosankan.Kalau begitu selamat beristirahat, tidur yang nyenyak. Mimpikan aku, ya!Bibir Aria terkembang membacanya. Ia membayangkan senyum manis Ji Wook yang selalu terlihat ketika bersamanya. Sebuah senyum yang menghangatkan hati.Gadis manis itu mengirimkan emotikon tawa lebar. Lantas membalas pesannya.Thanks. Have a sweet dream too. See you tomorrow.Sebuah pesan kembali masuk. Bukan Ji Wook, kali ini nama Axel yang muncul di