Aria masih berkutat dalam pikirannya. Apa jadinya jika sampai ia berutang budi. Apa setiap hari pria itu akan menagih juga menerornya untuk membayar utang plus bunganya. Sungguh tak bisa dibayangkan jika dia dikuntit oleh debt collector. Amit-amit!
Entah sudah berapa kali Aria mencoba melepas helm yang dikunci paksa ke kepalanya. Untung, dia berhasil dan langsung meletakkannya di kaca spion. Sejujurnya, gadis itu ingin melempar helm itu ke kepala Axel. Namun, akal sehat masih berjalan dengan baik. Ia memilih membalikkan badan dan berjalan menuju halte yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia harus mengejar bus terakhir menuju apartemennya.
Sial! Axel membuntuti.
“Come on! It’s gonna rain!” Axel masih mengekor sembari menaiki motornya pelan menyusuri tepian jalan. Namun, pengabaian Aria membuatnya kesal
“ARIA!”
Kali ini Aria tersentak dan menoleh. “Shut up! Aku sudah katakan tak ingin pulang denganmu. Ada bus yang
Apa kau sudah pulang? Di luar mulai hujan dan aku jadi mengkhawatirkanmu.Aria membaca pesan singkat dari Ji Wook yang disertakan emotikon beruang dengan tanda tanya besar. Lantas ia mengetik balasan dan memberi emotikon kucing tersenyum.Don't worry, aku baik-baik saja. Sehat, selamat, sampai di rumah. Bagaimana rapatnya?Balasan pesan dari Ji Wook berturut-turut masuk. Emotikon panda tertawa dan beruang tidur segera menyusul pesan singkat tersebut.Syukurlah, lega rasanya. As usual, rapat membosankan.Kalau begitu selamat beristirahat, tidur yang nyenyak. Mimpikan aku, ya!Bibir Aria terkembang membacanya. Ia membayangkan senyum manis Ji Wook yang selalu terlihat ketika bersamanya. Sebuah senyum yang menghangatkan hati.Gadis manis itu mengirimkan emotikon tawa lebar. Lantas membalas pesannya.Thanks. Have a sweet dream too. See you tomorrow.Sebuah pesan kembali masuk. Bukan Ji Wook, kali ini nama Axel yang muncul di
Aria terbeliak mendengar permohonan Ji Wook. Detik berikutnya ia malah tertawa."Mana mungkin kau yang pintar, anggota komite sekolah, dan selalu mendapat peringkat sepuluh terbaik di CHS meminta diajarkan pelajaran sekolah," ucap Aria tak percaya.Ji Wook terdiam, memandang gadis cerdas itu. "Hei, justru karena komite sekolah, aku sering tidak masuk pelajaran. Aku butuh bantuanmu untuk mempelajari materi yang tertinggal," yakinnya.Aria menggeleng. Wajahnya masih mengisyaratkan ketidakpercayaan. Namun, ia senang jika mereka bisa belajar bersama."Baiklah. Nanti kukabari kalau aku libur kerja," jawab Aria.***Sesuai perjanjian, Aria dan Ji Wook belajar bersama saat gadis cerdas itu libur kerja. Begitu mendapat pesan dari Aria, Ji Wook langsung meminta izin untuk tidak ikut rapat komite.Sebelumnya Ji Wook tidak pernah absen mengikuti kegiatan komite sekolah. Perannya sebagai ketua divisi humas, membuatnya turut aktif da
Axel memandangi ponsel canggih di tangannya dengan alis berkerut tajam. Apa gunanya teknologi canggih untuk berkomunikasi bila lawannya menolak untuk diajak berbicara? Pemuda itu meradang melihat tanda bahwa pesannya sudah masuk tapi tidak dibaca, ditelpon pun Aria tak menjawab. Entah mengapa rasa marah merayap pelan di dalam dadanya. Tangannya terkepal erat ketika membayangkan bahwa Aria sedang bersama Ji Wook."Sh*t!" umpat Axel kasar ketika dia memutar kembali bayangan Aria masuk ke dalam mobil Ji Wook. Melihat bagaimana senyum Aria merekah untuk pemuda Korea itu membuat Axel ingin memukul sesuatu atau seseorang.Bukankah mereka yang harusnya bekerja kelompok? Dia dan Aria, seperti yang sudah dititahkan oleh Mr. Alfred, si guru Fisika, bukan dengan Ji Wook. Namun, Aria malah pergi dengan si brengsek itu entah ke mana dan membiarkan Axel sendirian di salah satu tempat nongkrong di dekat sekolah, mengamati beberapa murid sedang asyik bercerita.Kesal karena tid
Ya, Tuhan! Seolah tak percaya, Aria mengenang peristiwa beberapa hari lalu. Ia mengeluh pada Ji Wook akan tugas pelajaran sejarahnya yang macet. Tak pernah diduga, pemuda tampan itu justru terang-terangan mengajaknya kencan sekaligus mengerjakan tugas sejarah. Aria tak pernah menyangka dua hal itu bisa dikerjakan sekaligus. Senyum tipis mengembang di wajahnya.Aria mematut diri di depan cermin. Bertanya-tanya apakah ia sudah cukup rapi. Rasa gugup menerjang hebat mengingat ia akan segera bertemu Ji Wook di luar sekolah. Yah, meski sebenarnya ini dalam rangka mengerjakan laporan, sedangkan kencan adalah alasan kedua. Tetap saja, siapa yang tidak berdebar jika akan berdua dengan seorang pemuda yang begitu baik hati?Kaus bergaris hitam-putih ditutupi blazer krem gelap dipadu celana jin sedikit ketat dan bot berwarna cokelat. Aria membiarkan rambut hitam berombaknya tergerai bebas. Memberi hiasan berupa jepit rambut di sisi kanan. Benda yang gadis itu curigai merupakan ha
Lidah Aria terasa kelu. Hatinya hangat, pikirannya melambung senang. Namun, ia tak mau besar kepala. Walaupun Ji Wook mengatakan itu sambil menatapnya dalam-dalam. Gadis itu tak yakin dengan perasaannya, lagi pula cinta bukanlah prioritasnya saat ini. Ia harus mengubur jauh semua hal tentang cinta."Kalian berdua terlihat serasi. Semoga langgeng, ya!" ucap petugas yang memasukkan adonan di bagian fortune cookies dengan senyum terkembang.Ji Wook jadi salah tingkah. Sementara Aria menunduk tersipu."Sudah jam setengah tiga. Aku harus segera ke restoran!" Aria melihat arlojinya, dan berkata dengan sedikit keras untuk mengalihkan topik pembicaraan yang mulai tak nyaman."Bukankah kemarin kau sudah meminta izin Samchon Lee? Beliau sudah mengizinkan. Atau jika kau ingin libur, aku akan membantumu meneleponnya," ucap pemuda penggemar EXO tersebut dengan santai.Aria menggeleng. Meskipun Mr. Lee memang sudah mengizinkan, dia tetap tidak bisa merasa tenang
Aria nyaris menyumpah-nyumpah kasar ketika mendapati bahwa Axel sudah berada di depan kompleks apartemennya. Pemuda itu duduk di atas sepeda motor berwarna merah sambil menatap Aria dan Ji Wook. Alisnya menukik tajam dan jelas-jelas terlihat bahwa dia tidak suka dengan keberadaan mereka. Perlahan Axel bangkit berdiri dan berjalan ke arah pasangan yang baru saja habis berkencan. Gerakannya pelan tapi mengancam. Secara instingtif, Ji Wook maju selangkah dan melindungi tubuh mungil Aria di balik punggungnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ji Wook memecah kesunyian yang mencekam. Kondisi di depan apartemen Aria sepi karena memang kompleks itu terletak di ujung jalan sehingga tidak banyak orang lalu lalang selain penghuni. Pemuda itu merasakan Aria menarik ujung jaketnya, memberikan pesan tersirat agar dia mengendalikan emosi. Hal itu membuatnya sadar bahwa mereka masih di tempat umum. Jendela-jendela apartemen yang menyala adalah bukti adanya orang lain di sana.Axe
Dua panekuk yang masih mengepulkan uap telah terhidang di meja. Axel dengan santai mulai menyiram sirup maple ke atas hidangannya."Ayo makan, nanti dingin." Axel mengacungkan pisau makannya ke arah Aria dengan tatapan penuh intimidasi.Aria memandangi panekuknya setengah hati. Ia tak terbiasa sarapan berat. Gadis itu sering hanya menghabiskan segelas susu, atau setangkup roti mungil di waktu pagi. Namun, membuang makanan jelas bukan bagian dari gaya hidupnya. Aria pun mengatupkan tangan dan mulai berdoa.Saat itu, Axel terpana melihat bagaimana Aria begitu khusyuk mengucapkan doa pada Sang Maha Pemberi Rezeki. Ah, berdoa. Kapan terakhir kali dia melakukannya? Ia hampir tak bisa mengingat. Mom dan Dad rajin berdoa dan acap kali mengajaknya ke gereja. Namun, dia selalu tak peduli. Pemuda itu merasa, kedua orang tuanya hanya berpura-pura beriman demi status sosial.Tak berapa lama, Axel lebih dulu menyelesaikan makannya. Beberapa potong penekuk tersisa di a
Sophia memandang kesal dari balik rak buku ke arah pasangan yang sedang asyik belajar di meja baca perpustakaan kota. Kekesalannya semakin bertumpuk saat sang pria memutuskan segera mengajak pasangannya pergi begitu mata pemuda itu bersirobok dengannya. Padahal tadi ia sampai meninggalkan perawatan tubuh di salon langganannya, ketika lelaki itu akhirnya membalas pesan yang ia kirim bertubi-tubi.Gadis pirang itu pun langsung membuntuti keduanya. Ketika mereka berjalan ke arah parkiran, Sophia berbelok ke area parkir mobil. Gadis itu segera pergi dari area perpustakaan. Ia harus mengikuti mereka. Ia tidak rela membiarkan mereka berduaan apalagi untuk bersenang-senang.Sophia segera mengendarai mobil dan menunggu di tempat yang agak tersembunyi. Gadis itu yakin, orang yang ditunggunya belum keluar. Tadi ia lihat, parkir motor sedang ramai, banyak antrian di pintu keluar.Begitu motor Ducati merah yang ditunggunya melintas, Sophia menekan pedal gas. Gadis itu tetap