Suasana taman di belakang sekolah nyaris selalu sepi. Kali ini pun, tidak ada orang lain selain keduanya yang saling bersitatap dalam keheningan. Angin yang sesekali mendesau, tak mampu memecahkan kesunyian yang menggigit.
"Apa maumu Mr. Davis?" Aria angkat bicara mengenyahkan segala rasa tak nyaman pada situasi saat ini. Gadis itu menjaga wajahnya agar tetap tak berekspresi. Ia tak ingin terlihat gentar ataupun merasa berutang budi, meski memang sebenarnya ingin berterima kasih. Namun, jika dirinya berterima kasih sekarang, apa reaksi Axel? Apa pria itu akan mengancam dengan sesuatu yang lain?
Tidak! Pemuda di hadapannya terlalu mengerikan untuk diberi kesempatan.
"A thank you would be appropriate!" Axel bersedekap kala melihat Aria yang berdiri menentangnya.
"Aku tak pernah minta tolong padamu." Aria mengangkat bahunya tak acuh.
Rahang Axel berkedut sekali. Namun, ekspresinya tetap tenang. Hitungan mundur yang diajarkan Dad waktu kecil cukup memb
Ducati merah Axel mencicit akibat gesekan tiba-tiba ban dengan aspal. Pria itu meliukkan motornya lalu kembali melaju sambil mengumpat. Ia nyaris menabrak seorang wanita yang seketika muncul untuk menyeberang. Untung saja refleksnya bekerja dengan baik. Seandainya tidak, tentu ia terpaksa meminta bantuan Uncle Mike untuk membereskan.Pikiran pemuda tampan itu sedang kacau. Memacu Ducati ternyata tidak serta-merta menghilangkan kegalauan. Benaknya masih dipenuhi wajah Aria dengan mata yang berkaca-kaca sebelum gadis itu lari meninggalkannya. "Aku benci kau!" kata-kata Aria berkali-kali terngiang di telinga Axel.Misinya untuk mendapatkan kepercayaan Aria gagal. Padahal ia telah bersusah payah mengencani Sophia demi mendapat CD boyband favorit gadis berkulit sawo matang itu. Bahkan pembelaan Axel di depan seisi kelas yang menuduhnya mencuri tak juga membuat gadis itu melunak.Pikiran Axel semakin penuh dengan pertanyaan. Apa yang kurang dari dirinya? Wajah tampan,
Aria tercenung memikirkan perlakuan Axel kepadanya tadi.Menawari untuk mengantarnya ke tempat kerja?Aneh. Aria mengerutkan alisnya. Rasa marah kembali menggelegak. Dia berani taruhan kalau Axel ingin mengerjainya lagi. Tangan gadis itu terkepal erat. Sudah cukup Axel sekelompok dengannya di tugas besar fisika, sekarang ingin mengantarnya pergi ke tempat kerja.Mengapa pemuda itu tidak bisa membiarkannya sendiri!?"Aria?" panggil Ji Wook membuat kesadaran Aria kembali. Dia langsung menoleh menatap pemuda berdarah Korea di sampingnya. "Ada yang tidak beres?"Aria tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak, tidak ada."Ji Wook tersenyum maklum. Matanya tetap mengarah ke jalan. "Karena Axel?"Aria menghela napas dalam ketika mendengar nama si Kodok Bangkong disebutkan. Senyum Ji Wook melebar."Abaikan dia, oke?" ucap pemuda itu sambil terus mengendalikan mobil melewati keramaian di New York pada sore hari, "Aku dengar kem
Aria masih berkutat dalam pikirannya. Apa jadinya jika sampai ia berutang budi. Apa setiap hari pria itu akan menagih juga menerornya untuk membayar utang plus bunganya. Sungguh tak bisa dibayangkan jika dia dikuntit oleh debt collector. Amit-amit!Entah sudah berapa kali Aria mencoba melepas helm yang dikunci paksa ke kepalanya. Untung, dia berhasil dan langsung meletakkannya di kaca spion. Sejujurnya, gadis itu ingin melempar helm itu ke kepala Axel. Namun, akal sehat masih berjalan dengan baik. Ia memilih membalikkan badan dan berjalan menuju halte yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia harus mengejar bus terakhir menuju apartemennya.Sial! Axel membuntuti.“Come on! It’s gonna rain!” Axel masih mengekor sembari menaiki motornya pelan menyusuri tepian jalan. Namun, pengabaian Aria membuatnya kesal“ARIA!”Kali ini Aria tersentak dan menoleh. “Shut up! Aku sudah katakan tak ingin pulang denganmu. Ada bus yang
Apa kau sudah pulang? Di luar mulai hujan dan aku jadi mengkhawatirkanmu.Aria membaca pesan singkat dari Ji Wook yang disertakan emotikon beruang dengan tanda tanya besar. Lantas ia mengetik balasan dan memberi emotikon kucing tersenyum.Don't worry, aku baik-baik saja. Sehat, selamat, sampai di rumah. Bagaimana rapatnya?Balasan pesan dari Ji Wook berturut-turut masuk. Emotikon panda tertawa dan beruang tidur segera menyusul pesan singkat tersebut.Syukurlah, lega rasanya. As usual, rapat membosankan.Kalau begitu selamat beristirahat, tidur yang nyenyak. Mimpikan aku, ya!Bibir Aria terkembang membacanya. Ia membayangkan senyum manis Ji Wook yang selalu terlihat ketika bersamanya. Sebuah senyum yang menghangatkan hati.Gadis manis itu mengirimkan emotikon tawa lebar. Lantas membalas pesannya.Thanks. Have a sweet dream too. See you tomorrow.Sebuah pesan kembali masuk. Bukan Ji Wook, kali ini nama Axel yang muncul di
Aria terbeliak mendengar permohonan Ji Wook. Detik berikutnya ia malah tertawa."Mana mungkin kau yang pintar, anggota komite sekolah, dan selalu mendapat peringkat sepuluh terbaik di CHS meminta diajarkan pelajaran sekolah," ucap Aria tak percaya.Ji Wook terdiam, memandang gadis cerdas itu. "Hei, justru karena komite sekolah, aku sering tidak masuk pelajaran. Aku butuh bantuanmu untuk mempelajari materi yang tertinggal," yakinnya.Aria menggeleng. Wajahnya masih mengisyaratkan ketidakpercayaan. Namun, ia senang jika mereka bisa belajar bersama."Baiklah. Nanti kukabari kalau aku libur kerja," jawab Aria.***Sesuai perjanjian, Aria dan Ji Wook belajar bersama saat gadis cerdas itu libur kerja. Begitu mendapat pesan dari Aria, Ji Wook langsung meminta izin untuk tidak ikut rapat komite.Sebelumnya Ji Wook tidak pernah absen mengikuti kegiatan komite sekolah. Perannya sebagai ketua divisi humas, membuatnya turut aktif da
Axel memandangi ponsel canggih di tangannya dengan alis berkerut tajam. Apa gunanya teknologi canggih untuk berkomunikasi bila lawannya menolak untuk diajak berbicara? Pemuda itu meradang melihat tanda bahwa pesannya sudah masuk tapi tidak dibaca, ditelpon pun Aria tak menjawab. Entah mengapa rasa marah merayap pelan di dalam dadanya. Tangannya terkepal erat ketika membayangkan bahwa Aria sedang bersama Ji Wook."Sh*t!" umpat Axel kasar ketika dia memutar kembali bayangan Aria masuk ke dalam mobil Ji Wook. Melihat bagaimana senyum Aria merekah untuk pemuda Korea itu membuat Axel ingin memukul sesuatu atau seseorang.Bukankah mereka yang harusnya bekerja kelompok? Dia dan Aria, seperti yang sudah dititahkan oleh Mr. Alfred, si guru Fisika, bukan dengan Ji Wook. Namun, Aria malah pergi dengan si brengsek itu entah ke mana dan membiarkan Axel sendirian di salah satu tempat nongkrong di dekat sekolah, mengamati beberapa murid sedang asyik bercerita.Kesal karena tid
Ya, Tuhan! Seolah tak percaya, Aria mengenang peristiwa beberapa hari lalu. Ia mengeluh pada Ji Wook akan tugas pelajaran sejarahnya yang macet. Tak pernah diduga, pemuda tampan itu justru terang-terangan mengajaknya kencan sekaligus mengerjakan tugas sejarah. Aria tak pernah menyangka dua hal itu bisa dikerjakan sekaligus. Senyum tipis mengembang di wajahnya.Aria mematut diri di depan cermin. Bertanya-tanya apakah ia sudah cukup rapi. Rasa gugup menerjang hebat mengingat ia akan segera bertemu Ji Wook di luar sekolah. Yah, meski sebenarnya ini dalam rangka mengerjakan laporan, sedangkan kencan adalah alasan kedua. Tetap saja, siapa yang tidak berdebar jika akan berdua dengan seorang pemuda yang begitu baik hati?Kaus bergaris hitam-putih ditutupi blazer krem gelap dipadu celana jin sedikit ketat dan bot berwarna cokelat. Aria membiarkan rambut hitam berombaknya tergerai bebas. Memberi hiasan berupa jepit rambut di sisi kanan. Benda yang gadis itu curigai merupakan ha
Lidah Aria terasa kelu. Hatinya hangat, pikirannya melambung senang. Namun, ia tak mau besar kepala. Walaupun Ji Wook mengatakan itu sambil menatapnya dalam-dalam. Gadis itu tak yakin dengan perasaannya, lagi pula cinta bukanlah prioritasnya saat ini. Ia harus mengubur jauh semua hal tentang cinta."Kalian berdua terlihat serasi. Semoga langgeng, ya!" ucap petugas yang memasukkan adonan di bagian fortune cookies dengan senyum terkembang.Ji Wook jadi salah tingkah. Sementara Aria menunduk tersipu."Sudah jam setengah tiga. Aku harus segera ke restoran!" Aria melihat arlojinya, dan berkata dengan sedikit keras untuk mengalihkan topik pembicaraan yang mulai tak nyaman."Bukankah kemarin kau sudah meminta izin Samchon Lee? Beliau sudah mengizinkan. Atau jika kau ingin libur, aku akan membantumu meneleponnya," ucap pemuda penggemar EXO tersebut dengan santai.Aria menggeleng. Meskipun Mr. Lee memang sudah mengizinkan, dia tetap tidak bisa merasa tenang
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?