Lidah Aria terasa kelu. Hatinya hangat, pikirannya melambung senang. Namun, ia tak mau besar kepala. Walaupun Ji Wook mengatakan itu sambil menatapnya dalam-dalam. Gadis itu tak yakin dengan perasaannya, lagi pula cinta bukanlah prioritasnya saat ini. Ia harus mengubur jauh semua hal tentang cinta.
"Kalian berdua terlihat serasi. Semoga langgeng, ya!" ucap petugas yang memasukkan adonan di bagian fortune cookies dengan senyum terkembang.
Ji Wook jadi salah tingkah. Sementara Aria menunduk tersipu.
"Sudah jam setengah tiga. Aku harus segera ke restoran!" Aria melihat arlojinya, dan berkata dengan sedikit keras untuk mengalihkan topik pembicaraan yang mulai tak nyaman.
"Bukankah kemarin kau sudah meminta izin Samchon Lee? Beliau sudah mengizinkan. Atau jika kau ingin libur, aku akan membantumu meneleponnya," ucap pemuda penggemar EXO tersebut dengan santai.
Aria menggeleng. Meskipun Mr. Lee memang sudah mengizinkan, dia tetap tidak bisa merasa tenang
Aria nyaris menyumpah-nyumpah kasar ketika mendapati bahwa Axel sudah berada di depan kompleks apartemennya. Pemuda itu duduk di atas sepeda motor berwarna merah sambil menatap Aria dan Ji Wook. Alisnya menukik tajam dan jelas-jelas terlihat bahwa dia tidak suka dengan keberadaan mereka. Perlahan Axel bangkit berdiri dan berjalan ke arah pasangan yang baru saja habis berkencan. Gerakannya pelan tapi mengancam. Secara instingtif, Ji Wook maju selangkah dan melindungi tubuh mungil Aria di balik punggungnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ji Wook memecah kesunyian yang mencekam. Kondisi di depan apartemen Aria sepi karena memang kompleks itu terletak di ujung jalan sehingga tidak banyak orang lalu lalang selain penghuni. Pemuda itu merasakan Aria menarik ujung jaketnya, memberikan pesan tersirat agar dia mengendalikan emosi. Hal itu membuatnya sadar bahwa mereka masih di tempat umum. Jendela-jendela apartemen yang menyala adalah bukti adanya orang lain di sana.Axe
Dua panekuk yang masih mengepulkan uap telah terhidang di meja. Axel dengan santai mulai menyiram sirup maple ke atas hidangannya."Ayo makan, nanti dingin." Axel mengacungkan pisau makannya ke arah Aria dengan tatapan penuh intimidasi.Aria memandangi panekuknya setengah hati. Ia tak terbiasa sarapan berat. Gadis itu sering hanya menghabiskan segelas susu, atau setangkup roti mungil di waktu pagi. Namun, membuang makanan jelas bukan bagian dari gaya hidupnya. Aria pun mengatupkan tangan dan mulai berdoa.Saat itu, Axel terpana melihat bagaimana Aria begitu khusyuk mengucapkan doa pada Sang Maha Pemberi Rezeki. Ah, berdoa. Kapan terakhir kali dia melakukannya? Ia hampir tak bisa mengingat. Mom dan Dad rajin berdoa dan acap kali mengajaknya ke gereja. Namun, dia selalu tak peduli. Pemuda itu merasa, kedua orang tuanya hanya berpura-pura beriman demi status sosial.Tak berapa lama, Axel lebih dulu menyelesaikan makannya. Beberapa potong penekuk tersisa di a
Sophia memandang kesal dari balik rak buku ke arah pasangan yang sedang asyik belajar di meja baca perpustakaan kota. Kekesalannya semakin bertumpuk saat sang pria memutuskan segera mengajak pasangannya pergi begitu mata pemuda itu bersirobok dengannya. Padahal tadi ia sampai meninggalkan perawatan tubuh di salon langganannya, ketika lelaki itu akhirnya membalas pesan yang ia kirim bertubi-tubi.Gadis pirang itu pun langsung membuntuti keduanya. Ketika mereka berjalan ke arah parkiran, Sophia berbelok ke area parkir mobil. Gadis itu segera pergi dari area perpustakaan. Ia harus mengikuti mereka. Ia tidak rela membiarkan mereka berduaan apalagi untuk bersenang-senang.Sophia segera mengendarai mobil dan menunggu di tempat yang agak tersembunyi. Gadis itu yakin, orang yang ditunggunya belum keluar. Tadi ia lihat, parkir motor sedang ramai, banyak antrian di pintu keluar.Begitu motor Ducati merah yang ditunggunya melintas, Sophia menekan pedal gas. Gadis itu tetap
Aria menatap Ji Wook dengan tidak percaya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi."Apa maksudmu?" tanya Aria dengan suara bergetar. Dia tidak menyangka kalau pemuda lembut dan perhatian bisa mengatakan hal tersebut.Ji Wook yang menyadari kesalahannya melepas pergelangan tangan Aria dan mundur sambil menghela napas. Dia mengacak rambut hitamnya dengan kalut. Rasa cemburu sudah memenuhi hatinya dengan emosi yang tidak perlu hingga dia melakukan hal yang tidak seharusnya pada Aria. Ketakutan yang muncul di mata Aria cukup memberi tahu dia sudah menjadi monster seperti apa. Tidak, dia tidak boleh mengacaukan kesempatannya untuk mendekati Aria hanya karena emosi semata."Maksudku," Ji Wook menghela napas dalam sebelum melanjutkan, "aku tidak suka dengan pengaruh Axel padamu. Terutama dengan alasannya untuk bertemu denganmu terus menerus."Aria ikut mengembuskan napas lega mendapati bahwa temannya berhasil mengendalik
Aria melihat banyak orang berbisik sembari melihat gawai mereka di sepanjang koridor sekolah. Bahkan ketika ia berlalu di dekat mereka, pandangan sinis bercampur iba mengikutinya. Aria bergidik membayangkanpikiran apa yang ada di balik tatapan itu.Gadis cerdas berkacamata itu selalu berusaha untuk tidak menonjol dan menghindar dari perkara. Namun, sejak ia masuk di Crown High School ini selalu ada saja hal yang membuatnya terlibat masalah.Ketika Aria tiba di kelas, bisik-bisik terdengar makin santer. Sekelompok siswa yang berdiri di dekatnya, beberapa kali melirik dan menyebut namanya."Apa sebenarnya yang sedang kalian bicarakan? Apa ada kaitannya denganku?" tanya Aria yang tak bisa lagi menyembunyikan rasa ingin tahunya.Para siswa itu mendadak diam, tidak menyangka jika orang yang dibicarakan mendengar ucapannya. Namun, tidak dengan seorang gadis yang setahu Aria sering memperhatikan Axel diam-diam. Gadis itu menatap kesal kepada Aria sambil
Sophia masih terus melafalkan kata-kata bernada ancaman kepada Aria. Pandangan penuh kebencian terpancar di matanya.Aria menggelengkan kepala sambil menutup telinga agar tidak mendengar kalimat kasar dari mulut ular betina. Namun, kata-kata penuh bisa itu terlanjur masuk ke dalam sukma dan terus bergema di kepala. Rasa sakitnya menggerus pertahanan diri. Gadis itu pun berlari menjauh. Tak peduli suara Ji Wook yang berkali-kali memanggilnya.Aria berlari tanpa bisa dihentikan. Air mata tak bisa lagi dicegahnya untuk tak membasahi pipi. Semua bisikan yang terdengar bergema tak lagi masuk ke kepala. Hanya ada rasa sakit yang terus menggerus sukma.Kepalan tangan Ji Wook terasa semakin mengerat. Hawa panas membakar dadanya melihat Aria diperlakukan buruk oleh wanita menjengkelkan seperti Sophia.Saat itulah Axel menoleh sejenak ke arah Ji Wook yang balik membalas tatapannya. Baru saja pria bermata emerald itu hendak membuka mulut, Ji Wook memotongnya.
"A--apa maksudmu?" tanya Aria gugup. Pertanyaan dari Ji Wook benar-benar membuat pikirannya beku."Apakah kau menyukai Axel?" ulang Ji Wook memperhatikan setiap perubahan ekspresi Aria, membuat gadis itu makin gelisah. Pemuda itu menghela napas sambil menyugar rambutnya. Rasanya tidak nyaman bila dia harus menanyakan hal ini, terutama bila perasaannya sendiri condong ke Aria, tapi dia harus tahu kebenarannya. Lebih baik bila dia tahu lebih cepat dan dia bisa melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Dia tidak akan membiarkan gadis yang disukainya jatuh ke tangan berandalan seperti Axel."Aria," panggil Ji Wook lembut, membuat Aria menahan napas. "Aku tidak ingin membuatmu semakin bingung dengan semua kejadian ini, tapi kau perlu mengetahui isi hatimu yang sebenarnya sebelum bertindak lebih jauh."Aria memalingkan muka lalu mengembuskan napas panjang. Mata hitam milik Ji Wook yang menatapnya dalam membuatnya tidak tenang. Dia merasa seperti diamati di bawah mikroskop
Aria hanya mengangguk tipis dan bergerak cepat ke arah kamar. Tak dipedulikan sosok itu memandangnya khawatir.Gadis itu menangis sepuasnya dengan menelungkupkan kepala ke dalam bantal. Ia membiarkan air mata terus membasahi sekitar.Suara ketukan terdengar. Aria tersentak.Enggan masih bergelayut ketika Aria akhirnya bangkit untuk membukakan pintu kamar. Selintas ia melirik pantulan wajahnya di cermin. Ya, Tuhan! Mata bengkak, hidung memerah, dan rona pipi yang tak wajar membuktikan ia baru saja menangis. Satu tarikan napas panjang ia berusaha mengenyahkan semua sakit yang kembali hadir setiap kali pikirannya mengembara.Langkahnya masih terasa berat ketika tangan kanannya memutar kenop pintu. Sesosok pria dengan raut wajah khawatir berdiri tegak di hadapannya."Boleh masuk?"Aria hanya mengangguk dan menggerakkan tangannya mempersilakan pria itu berjalan ke dalam kamarnya."Apa ada masalah?" Gadis itu mempersilahkannya duduk bersama
"Siapa lagi, pria yang menyatakan cinta padamu?""Astaga, maksudmu Lee Ji Wook!" seru Aria sambil menutup mulutnya yang membuka lebar. "Dia sudah tidak di sini saat pesta prom. Ji Wook mengambil kuliah di Munich. Sekarang dia bahkan sudah sibuk kursus pra kuliah untuk belajar bahasa Jerman. Hanya sekali seminggu dia berkirim kabar."Keheningan sesaat menggantung di antara mereka. Aria mengerutkan kening, melepaskan pandangan penuh selidik ke arah Axel."Mengapa kau bertanya seperti itu? Jangan-jangan kau yang diam-diam masih berhubungan dengan Sophia," cetus Aria curiga.Axel terkesiap, matanya membulat menatap tajam ke dalam mata Aria."Sejak dulu aku justru selalu menghindari ular betina macam Sophia. Dan sejak kejadian di depan laboratorium waktu itu ia sudah tidak berani lagi menampakkan diri di depan kita. Aku bahkan sudah lupa padanya sampai kau menyebut namanya tadi."Aria tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Aku suka wajahmu yang kage
Suasana bandara internasional JFK nyaris tak pernah sepi. Bendera Amerika tergantung menjuntai di rangka langit-langit atap bandara, jajaran restoran dan toko oleh-oleh ramai dipadati pengunjung. Papan reklame diletakkan di antara meja-meja petugas bandara yang sibuk melayani calon penumpang, monitor melingkar silih berganti menampilkan informasi kedatangan dan keberangkatan.Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara terbesar di New York City itu, dua insan yang tengah menapaki impian mereka tampak canggung berdiri di depan gate.Pemuda tampan bernetra emerald itu menatap intens gadis manis berpakaian gaya Ulzzang yang ia belikan di Westfield World Trade Center setahun yang lalu."Axel, apa kau yakin akan kuliah di San Francisco? Bagaimana jika Grandma merindukanmu? Di New York saja banyak universitas bagus, tak usahlah pergi jauh." Suara Thea memutus perhatian Axel. Ia masih berusaha membujuk cucu kesayangannya agar berubah pikiran."Grandma, please jangan
Suara kenop pintu yang diputar mengejutkan Aria. Cepat-cepat ia berpaling dari wajah tampan yang melenakan di hadapannya. Tepat ketika seorang pria paruh baya melangkah masuk. Sang ayah memandangi sepasang anak muda di hadapannya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sadar apa yang mungkin baru terjadi."Hey, man! What are you doing?" seru pria itu mendapati tamu laki-laki di apartemennya begitu dekat dengan putrinya."Papa ...," ucap Aria lirih sambil memandang wajah ayahnya yang tampak marah sekaligus khawatir.Axel gelagapan mendengar makian dari pria paruh baya yang ternyata adalah orang tua Aria. Pemuda itu tidak menyangka akan bertemu ayah Aria dengan cara seperti ini. Ia khawatir lelaki sepantaran Dad itu salah paham terhadapnya."I- I did nothing, Sir. Saya hanya mengantar Aria pulang," jawab Axel gugup. Belum pernah ia merasa segugup ini menghadapi seseorang, lebih dari ketika dia menghadapi ayahnya sendiri. Mungkin ka
"Aria, ada hal yang ingin aku bicarakan ...."Netra sewarna zamrud itu terlihat menyimpan bayang duka yang menggantung pekat. Aria bisa merasakan jemari kukuh itu mengeratkan genggaman. Jantungnya berdentam tak keruan.Sejak mereka bersama, Axel melancarkan aneka macam pujian yang membuatnya tak berkutik. Gadis itu bahkan tak tahu harus berekspresi apa menerima semua kalimat yang sepertinya tak mungkin layak diterima itu.Pada akhirnya, di sinilah keduanya. Mereka berada dalam satu ruangan di sebuah apartemen dua kamar yang tak terlalu luas. Sofa empuk yang mereka duduki mungkin tak sebanding dengan yang biasa Axel miliki. Lemari buku mungkin menebarkan aroma khas yang buat sebagian orang adalah candu, tapi buat yang lain terasa seperti debu.Sebersit rasa khawatir Axel akan merasa tak nyaman di apartemennya. Namun, pemuda itu tampak tak peduli. Sedikitnya Aria merasa lega.Air minum yang disediakannya sudah tandas. Aria ingin mengambil air dingin
Pertanyaan dari Axel membuat Aria terdiam. Dia memandang pemuda di hadapannya dalam kesunyian, sementara Axel membiarkan keadaan itu berlangsung. Dia ingin tahu tentang Aria. Gadis misterius yang sudah mencuri hatinya sejak awal berjumpa dan tidak pernah gagal untuk membuatnya kagum. Aria sendiri bingung mau bercerita atau tidak. Rasanya sudah lama sekali sejak dia menyebut kata "mama" dengan bibirnya dan mengingat tentang seorang wanita yang melahirkannya."Mamaku ...." Aria menggantung kata-kata di udara dan menelan ludah sebelum melanjutkan, "Dia bercerai dengan Papaku."Ada sesuatu yang berat jatuh dalam benak Axel. Mata hijaunya melembut memandang Aria yang berusaha menata perasaannya. Gadis itu menarik napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali."Sudah empat bulan berlalu sejak putusan hakim." Aria memandangi foto wanita di tangan sambil membelai pigura yang berjajar. "Itulah mengapa Papa kembali ke negara asalnya."Axel mendengarkan itu sambil me
Aria berusaha mengalihkan pikiran dengan memandang sekeliling. Ia memutuskan untuk menemani pria ini saja sekarang. Mungkin nanti jika ada kesempatan, ia akan bertanya.Restoran yang mereka masuki didominasi warna hitam dan putih. Tempatnya cukup ramai, tetapi masih terbilang nyaman bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Deretan kue-kue cantik terpajang di etalase, menggugah selera makan siapa pun yang melihat."Kau mau makan apa?" tanya Axel sembari memperhatikan Aria yang sibuk memandang daftar menu yang terpampang di dinding.Aria bergeming. Matanya masih menatap jajaran menu dan harga yang tercantum di sampingnya. Harga yang bisa menyebabkan kantongnya menipis seketika. Axel sudah terlalu baik membelikannya baju mahal, ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang suka memanfaatkan pria kaya seperti kata Sophia kemarin.Mereka sudah mengantre di depan konter dan hampir tiba di kasir untuk memesan. Axel bertanya sekali lagi. Ia menggamit lengan Aria,
Di kelas, Aria memandangi bangku kosong di dekatnya. Axel masih tak kunjung tiba. Ke mana dia? Apa pemuda itu bolos lagi hari ini?? Ataukah memang sengaja menghindari keramaian setelah kasus kemarin?Entah mengapa Aria sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran yang kini diterangkan kepadanya. Pikirannya mengembara ke berbagai penjuru.Ah, tidak. Tepatnya, pikiran Aria terpusat pada Axel. Apa gosip yang beredar juga mengganggunya? Kenapa pemuda itu berusaha menjelaskan bahwa Sophia tak punya hubungan apa-apa dengannya? Apakah jangan-jangan....Aria tak berani berpikir terlalu jauh.Namun, mengingat pemuda dengan wajah tanpa ekspresi dan sesekali terlihat posesif itu membuat jantung Aria kembali berdentam. Gadis itu bisa merasakan wajahnya menghangat.Bahkan ketika bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi, Axel tetap tak terlihat batang hidungnya. Dengan perasaan was-was, Aria melongok ponselnya. Tak ada pesan dari Axel sama sekali. Justru
"Aku tidak mau, Uncle Mike." Axel tetap pada pendiriannya, matanya memandang ke arah layar televisi di ruang tunggu kantor polisi."Ayahmu cepat atau lambat akan tahu. Jauh lebih baik bila dia tahu itu dari mulutmu." Pria berkacamata itu berusaha bernegosiasi. Mata cokelatnya memandang pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Aku akan menemanimu."Axel masih ragu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak bila pamannya meminta. Efek Michael nyaris sama dengan efek Thea dalam hidupnya. Michael yang hangat dan tidak segan untuk membantu sudah menjadi sahabat di kala orang tuanya terasa jauh. Hanya saja, akhir-akhir ini pamannya itu lebih sering berada di luar negeri untuk pekerjaan. Untung saat ini dia dapat membantu Axel. Pemuda itu berpikir cepat, dengan adanya Michael, dia memiliki sekutu. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengaku pada William.Dengan satu anggukan kepala, Axel setuju diantar Michael pulang. Pemuda itu digiring Michael keluar dari kantor
"Jam segini kau baru akan berangkat sekolah?" William mendongakkan dagu menunjuk ke arah jam di dinding.Pukul 07.45 waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut. Sedangkan dari rumah ke sekolah memerlukan waktu lebih dari empat puluh menit.Axel menghentikan langkah sejenak, menoleh singkat ke arah William yang sedang memegang sebuah majalah bisnis."Yang penting aku sekolah, Dad" jawabnya tak acuh."That's not enough, Son. Kau harus disiplin dan buat prestasi, baru bisa bersaing," ujar William gusar sembari menatap tajam ke arah putranya.Dia sudah banyak mendengar laporan kurang menyenangkan tentang Axel dari pihak sekolah, tetapi laki-laki yang bernetra senada dengan anaknya itu, tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu.Axel mendengkus, menekan kuat-kuat emosinya. Bukan hal yang mudah menjaga emosi di hadapan Dad yang tanpa ekspresi. Ingin rasanya ia berteriak, ke mana dulu Dad ketika sederet prestasi diraihnya?