Part 63Pemuda itu bahkan memandang Dhea dengan tatapan terpana, merasa heran, ada seorang peri yang duduk di install kuda sendirian. Setelah melepaskan perlengkapan berkuda, pemuda itu berjalan ke arah tempat duduk Dhea dengan santai, mata elangnya masih menelisik keberadaan Dhea di sana."Hei, sendirian saja?" Akhirnya pemuda berkulit coklat dan dengan bola mata juga coklat tua itu menyapa Dhea dengan sopan."Eh, iya." Dhea jelas tersentak karena lelaki itu menegurnya dengan santai, seolah mereka sudah kenal lama."Kenalkan, aku Arjuna. Siapa namamu, Nona?" Lelaki itu mengulurkan tangannya.Dhea tergagap, rasanya tidak sopan jika dia mengabaikan jabat tangan itu, tetapi dia sudah bertekad bahwa dia akan menutup hijab dan tak menyentuh lelaki yang bukan muhrim.Akhirnya Dhea menangkupkan kedua tangannya, sambil tersenyum ramah dia menyebutkan namanya."Saya Dhea. Maaf, saya tidak bersalaman dengan lelaki yang bukan muhrim."Lelaki itu terlihat malu, dia bahkan menatap Dhea dengan pa
Part 64"HYIAAT!!!" Suara teriakan dari suara lelaki dewasa di belakang terdengar begitu dekat dari Dhea "HAI! HAI!!!!" Suara itu memanggil Dhea dengan kuat, tetapi wanita itu bahkan tidak berani menoleh, dia hanya berteriak ketakutan. Suara derap kaki kuda semakin memekikkan telinga, Dhea sangat panik, apalagi di depan, sekitar seratus meter lagi terdapat jurang yang cukup terjal."AAAA!!! TOLOOOONG!!!" Dhea hanya bisa berteriak."HEI!! ULURKAN TANGANMU!!" Lelaki itu berteriak juga.Dhea semakin mengeratkan pegangannya, bagaimana caranya dia akan mengulurkan tangannya. Tiba-tiba, lelaki itu melompat ke arah kudanya, tali kekang lelaki itu tarik dengan kuat, hingga kuda itu berusaha mengerem langkahnya dan menaikkan dua kaki depan, akibatnya tubuh Dhea terpental ke belakang. Untung saja punggung Dhea menabrak dada liat lelaki itu. Suara ringkik kuda terdengar sangat keras.Kini kuda itu sudah berhenti sepenuhnya, berada lima meter dari jurang. Dhea yang merasa ketakutan, kini bern
Part 65"Apakah ini istri anda, Pak Bram?" tanya Fathan sambil tersenyum ramah ke arah Adelia, membuat Adelia juga tersenyum manis kepadanya."Bukan! Dia hanya sekretaris saya!"Senyum Adelia memadam seketika ketika Bram mengatakan hal itu, begitu juga dengan Fathan.Tetapi Bram tidak ambil pusing dengan reaksi mereka, lelaki itu langsung masuk ke dalam ballroom. Fathan juga tidak mau ikut campur dengan urusan kliennya, toh hal seperti itu sudah menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan.Ketika sampai dalam, Bram langsung duduk, gelayut tangan Lia sudah dia lepaskan, memang tidak pantas dia datang ke pesta dengan wanita lain, nanti akan menjadi gosip yang tidak baik. Besok pagi dia kan bertolak kembali ke Palembang, dia masih penasaran kenapa istrinya tidak mau mengangkat telponnya sejak tadi.*****Dhea bangun lebih cepat, dia langsung ke kandang kuda. Hari ini dia akan berlatih kuda lebih baik dari kemarin, sebenarnya mudah mengendalikan binatang tunggangan ini kalau tahu caranya. Dh
Part 66Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan ibunya Aryan, dia tidak peduli dengan apa yang akan wanita paruh baya itu lakukan, lagipula siapa dia? Dia bukan siapa-siapa bagi Dhea jadi tidak perlu menjaga imej."Hidup itu memang perlu uang, Bu. Jadi apa salahnya saya mencari lelaki yang mapan, jadi gak perlu capek berjuang dari nol," ujar Dhea dengan wajah tersenyum Melihat senyum itu membuat Farida sedikit panas, dia hanya mendengus, perempuan kayak gini, untung tidak jadi menantuku.Dhea masih memasang wajah ramah ketika mengukur baju, dia memang seperti itu, tidak akan mau bersikap kasar dengan orang tua, walaupun jika disakiti dia akan melawan siapapun orangnya. Dhea juga membuatkan sketsa baju kebaya kekinian untuk seremonial seperti wisuda ini, Marlina langsung saja suka melihat sketsa desain baju yang digambar Dhea dengan singkat. Tak berapa lama, mama dan adik perempuan Marlina datang, mereka sangat antusias mengukur baju kebaya dan memilih bahan yang tersedia di sana.
Part 67"Namanya Frans Hutaryus. Orang itu memang sedikit gila dan nekat.""Frans Hutaryus?""Iya.""Astaghfirullah! Aku bertemu pria bernama Frans Hutaryus di club' berkuda kemarin dan tadi pagi.""Astaga!! Apa kau tidak menyadari? Aku malah yakin, kalau sebenarnya dia sudah tahu siapa kamu, makanya dia berada di sana untuk memata-matai kamu.""Ya, Allah! Aku kan tidak tahu? Bagaimana ini?""Kau tidak usah takut. Ingat, kalau ada apa-apa segera hubungi aku!"*****Dhea akhirnya pulang setelah makan malam bersama Lingga, untunglah laki-laki itu menyanggupi permintaan Dhea, untuk menyelidiki Lia lebih lanjut, jika Bram tidak memiliki hubungan asmara dengan wanita itu, it's okey! Memang sebaiknya Dhea tidak gegabah meminta cerai duluan. Walaupun kabar tentang Frans sedikit mengganggunya, apalagi kalau teringat senyum seringai lelaki itu, sungguh membuat Dhea bergidik.Dhea melajukan mobilnya ke arah rumahnya bersama Bram, sampai gerbang dia hanya perlu memencet remote control agar pintu
Part 68Bram berlari menaiki tangga menyusul Dhea yang sudah duluan menuju ke kamar mereka, sesampai kamar, ternyata Dhea sudah masuk ke kamar mandi. Bram hanya menghela napas dan duduk ditepi ranjang menunggu istrinya selesai mandi. Beberapa menit kemudian, Dhea sudah selesai mandi. Dia keluar kamar mandi menggunakan piyama mandi, di atas kepalanya terbungkus handuk, sesekali wanita itu mengusap handuk itu untuk mengeringkan rambutnya.Bram reflek menatap istrinya, senyumnya terkembang lebar menatap istrinya tersebut."Dhe, kamu mandi keramas?" tanyanya dengan raut wajah senang.Dhea menghentikan usapan pada rambutnya dan menatap suaminya yang masih duduk di tepi ranjang, dia tahu maksud senyuman suaminya itu, tak seharusnya dia mandi keramas sekarang, tetapi karena sudah kangen mau menjalankan salat, sebisa mungkin secepatnya dia mandi wajib."Hemm! Jadi, kamu sudah selesai menstruasinya, Sayang?" tanya Bram dengan tatapan mendamba."Iya," jawab Dhea singkat.Dhea jelas tahu isi k
Part 69Setelah Bram pergi, Dhea berusaha tidak peduli dan ingin langsung tidur dan melupakan segalanya, dia berusaha memejamkan matanya kembali, nyatanya kedua mata yang terpejam itu hanya sekedar terpejam, tetapi kesadarannya masih utuh. Satu jam, dua jam, tiga jam ... Dhea berusaha untuk kembali tertidur, tetapi dia justru sulit tertidur. Wanita itu kemudian bangkit dan mendesah dengan kuat mana kala azan subuh berkumandang. Dhea bangkit dengan lesu dan masuk kamar mandi menunaikan mandi junub.Setelah salat subuh, Dhea masuk ke dapur membuat sarapan. Dia hanya membuat sarapan sandwich dan dua gelas susu coklat. Ini hari Senin, Dhea berusaha untuk semangat walaupun hatinya galau. "Semangat, Dhea! Sekarang hidup dan duniamu hanya untuk kau dedikasikan pada pekerjaan, demi masa depanmu, nanti jika kau sudah memiliki value yang baik, kau bisa resign dari kantor Bram dan memulai karier di tempat lain," monolog Dhea pada diri sendiri di depan cermin. Dhea sudah berpakaian kerja deng
Part 70 Dhea langsung menuju meja pak Hendro, lelaki itu tengah sibuk mengetik di komputernya. "Pak, biasanya siapa yang mencairkan proposal pendanaan seperti ini?" tanya Dhea. "Ya, biasanya saya." "Jadi, waktu bapak mencairkan dana, bapak tidak memeriksa lagi detail laporannya?" "La, untuk apa? Itu kan sudah di ACC sama bos, ngapain dilihat lagi? Kurang kerjaan saja," sungut Hendro. "Bukan begitu, Pak. Yang namanya bos itu juga banyak kerjaan, mungkin dia gak sempat memeriksanya, karena ini berhubungan dengan duit, jadi harus diteliti. Kalau ada kesalahan atau penggelembungan dana, jangan sampai divisi keuangan yang disalahkan." "Ah, rupanya kau ahli kali tentang masalah ini ya, Dhea? Besok lagi kau saja yang mengurusi itu." "Ya, itu tergantung sama pak Faisal, dia yang mengatur tugas kita." "Ah, kau tenang saja soal itu, nanti biar aku yang bilang sama pak Faisal." Huh, niat hati hanya mengingatkan pak Hendro agar kerja lebih profesional, ini malah pekerjaaan dilimpahkan p
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar