Part 69Setelah Bram pergi, Dhea berusaha tidak peduli dan ingin langsung tidur dan melupakan segalanya, dia berusaha memejamkan matanya kembali, nyatanya kedua mata yang terpejam itu hanya sekedar terpejam, tetapi kesadarannya masih utuh. Satu jam, dua jam, tiga jam ... Dhea berusaha untuk kembali tertidur, tetapi dia justru sulit tertidur. Wanita itu kemudian bangkit dan mendesah dengan kuat mana kala azan subuh berkumandang. Dhea bangkit dengan lesu dan masuk kamar mandi menunaikan mandi junub.Setelah salat subuh, Dhea masuk ke dapur membuat sarapan. Dia hanya membuat sarapan sandwich dan dua gelas susu coklat. Ini hari Senin, Dhea berusaha untuk semangat walaupun hatinya galau. "Semangat, Dhea! Sekarang hidup dan duniamu hanya untuk kau dedikasikan pada pekerjaan, demi masa depanmu, nanti jika kau sudah memiliki value yang baik, kau bisa resign dari kantor Bram dan memulai karier di tempat lain," monolog Dhea pada diri sendiri di depan cermin. Dhea sudah berpakaian kerja deng
Part 70 Dhea langsung menuju meja pak Hendro, lelaki itu tengah sibuk mengetik di komputernya. "Pak, biasanya siapa yang mencairkan proposal pendanaan seperti ini?" tanya Dhea. "Ya, biasanya saya." "Jadi, waktu bapak mencairkan dana, bapak tidak memeriksa lagi detail laporannya?" "La, untuk apa? Itu kan sudah di ACC sama bos, ngapain dilihat lagi? Kurang kerjaan saja," sungut Hendro. "Bukan begitu, Pak. Yang namanya bos itu juga banyak kerjaan, mungkin dia gak sempat memeriksanya, karena ini berhubungan dengan duit, jadi harus diteliti. Kalau ada kesalahan atau penggelembungan dana, jangan sampai divisi keuangan yang disalahkan." "Ah, rupanya kau ahli kali tentang masalah ini ya, Dhea? Besok lagi kau saja yang mengurusi itu." "Ya, itu tergantung sama pak Faisal, dia yang mengatur tugas kita." "Ah, kau tenang saja soal itu, nanti biar aku yang bilang sama pak Faisal." Huh, niat hati hanya mengingatkan pak Hendro agar kerja lebih profesional, ini malah pekerjaaan dilimpahkan p
Part 71Setelah bertemu Dhea, Burliyan langsung menuju ruangan bosnya. Lelaki tua puluh dua tahun itu sudah tujuh tahun bekerja di perusahaan ini, dia tahu betul konflik yang terjadi pada perusahaan. Sehingga dia percaya dengan perkataan Dhea.Burliyan mengetuk pintu ruangan Bram, terdengar sahutan masuk dari dalam. Lelaki itu langsung memutar handle pintu dan masuk. Bram tengah berkutat di depan laptopnya, sementara di hadapannya Adelia tengah memengang buku dan pena."Permisi, Pak ...," sapa Iyan."Iyan? Masuk!"Iyan melangkah mendekati Bram yang kembali menatap layar laptopnya."Permisi, Pak. Ada yang akan saya bicarakan dengan bapak. Ini sangat penting!" ujar Burliyan."Terus, kapan Mas mau memecat pengkhianat itu?" tanya Adelia dengan menatap lurus ke arah Bram."Tidak semudah itu, nanti diinvestigasi dulu."Burliyan hanya melongo mendengar perkataan Adelia, terus terang dia juga ketinggalan info tentang issue yang baru beredar di kantor ini."Apa yang akan kau bicarakan, Yan?""
Part 72"Karyawati itu segan mau menghadap bapak langsung, jadi dia hanya bisa mempercayai saya. Lagipula saya sudah kenal dengan baik dan dekat dengannya. Tenang saja, Pak. Orangnya bisa dipercaya, kok.""Oh, gitu? Sekarang kamu cari file proyek tahun sebelum perusahaan ini saya akuisisi. Saya akan membandingkan, suruh Fikri dan Adi menghadap saya, besok pagi, kamu kumpulkan semua manajer divisi dan staf, saya akan mengadakan rapat terbuka. Masalah ini harus di kupas dengan jelas, saya tidak ingin memelihara ular di perusahaan saya sendiri!" perintah Bram dengan mata nyalang."Baik, Pak. Akan segera saya kerjakan."Burliyan segera keluar dari ruangan Bram, mengerjakan apa yang diminta oleh lelaki itu, sedang Bram tengah serius mempelajari proposal itu kembali.Tak berapa lama terdengar suara panggilan di ponselnya, di sana Adi yang menelpon."Iya, Di?""Pak, maaf ... Apa Bapak memerintahkan untuk menangkap karyawan yang membawa lari proposal?" tanya Adi di seberang telepon."Siapa ya
Part 73Dhea menghempaskan tubuhnya ke sofa di butik Intan, dia sengaja pulang duluan mengingat kejadian yang menimpanya beberapa saat yang lalu. Hari masih jam setengah tiga sore, tetapi dia langsung pulang tanpa memberitahu siapapun, apalagi Faisal atasannya. Biarlah, dia juga tidak peduli, saat ini di kantor semua orang tengah menjudge dia sebagai pengkhianat, entah apa yang dipikirkan orang-orang itu.Sialan perempuan itu, apa haknya menuduhnya pengkhianat! Tidak tahu saja dia siapa wanita yang tengah dia tuduh itu. Dhea yang baru tiba setelah bertemu dengan Burliyan tiba-tiba didatangi perempuan yang itu, perempuan yang otomatis sangat tidak dia sukai karena hubungannya dengan suaminya. "Oh? Jadi ini si pengkhianat itu? Malu, dong sama jilbab yang kamu kenakan itu, kelakuan gak sebanding sama penampilan!" Dhea yang tengah serius menatap komputernya mendongak menatap dengan tajam perempuan yang tengah tersenyum sinis terlihat sangat mencemooh dirinya."Hei, sekarang cepat serah
Part 74Ketika Dhea pulang, suasana rumah masih sepi. Bram belum pulang. Mungkin saja lelaki itu masih kerja, tentu mendapati kasus yang bukan sepele itu akan menyita pikirannya. Merasa penasaran, Dhea langsung mengirim pesan pada Burliyan.[Assalamualaikum, Pak. Bagaimana reaksi Pak bos tadi?]Baru saja mengirim pesan, reaksi Burliyan sangat cepat, pesan itu langsung centang biru dan lelaki itu langsung mengetik balasannya.[Walaikumsalam, Dhea ... Tentu saja reaksinya sangat terkejut, dia tercenung cukup lama mungkin menyadari kebodohannya] Dhea tersenyum membaca pesan itu, bahkan diakhir kalimat Burliyan tambahkan emoji tertawa.[Wah, tentu anda sibuk sekali sekarang, ya?] balas Dhea.[Bagaimana tidak sibuk? Sejak dia mendapatkan proposal darimu itu, kami disuruh investigasi menyeluruh, sepertinya kami akan lembur pulangnya hingga larut malam, karena besok pagi akan diadakan rapat darurat management atas.][Maaf ya, Pak. Jadi membuat anda sibuk][Kenapa kamu minta maaf? Justru kam
Part 75Bram pulang ke rumah sudah jam dua belas malam, dengan hati-hati dia membuka pintu rumah, tubuhnya rasanya sangat lengket, tetapi untuk mandi tengah malam begini tentu dia memikirkan kesehatannya, dia tidak muda lagi. Dulu ketika usianya masih dua puluhan, tentu saja mandi malam, berenang tengah malam tidak terlalu berdampak pada kondisi tubuhnya, dia harus lebih menjaga kondisi tubuhnya agar selalu fit, ada istrinya yang masih sangat muda itu yang harus diimbangi staminanya. Rasanya kerongkongannya terasa sangat kering, lelaki itu menyempatkan diri mampir ke dapur mengambil segelas air minum, tanpa disadari ternyata perutnya berbunyi, dia baru merasakan lapar, saking seriusnya bekerja sampai lupa makan malam.Rasanya dia ingin meminta istrinya untuk memasak mie instan, pasti rasa kuah hangatnya itu bisa membuatnya senang, atau minum teh hangat agar rasa capek itu berkurang. Tetapi, dia juga kasihan pada istrinya, pasti sekarang sedang tidur lelap, lampu di kamarnya sudah tid
Bram langsung membuka matanya, menatap lekat manik mata istrinya yang terlihat berbinar indah di sana."Eum, habis subuh, Abang mau, dong?" ujar Bram sambil mengerling nakal."Ih, Abang! Mau apa memangnya." Dhea mencubit pelan pinggang suaminya, membuat tubuh Bram menegang."Mau makan kamu," bisik Bram."Ya udah, salat dulu sana! Jangan lupa gosok gigi.""Ha?" Bram terlonjak, dengan semangat dia bangun dari tidur menuju kamar mandi, Dhea hanya tertawa melihat kelakuan suaminya yang kayak bocah mau dikasih mainan, girang banget.Selagi suaminya salat, Dhea sempatkan ke dapur, melihat stok makanan apa yang ada di kulkas. Nasi yang dia masak tadi masih ada separuh, berarti tadi malam Bram makan, ikan nila juga sudah lenyap di atas meja. Dhea meracik bumbu untuk membuat nasi goreng, semua bumbu sudah siap tinggal di eksekusi, dia menuangkan minyak ke wajan akan menggoreng telur mata sapi, sebelum kompor dinyalakan tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang."Hmmm, kok malah masak? Jadi
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k