Part 75Bram pulang ke rumah sudah jam dua belas malam, dengan hati-hati dia membuka pintu rumah, tubuhnya rasanya sangat lengket, tetapi untuk mandi tengah malam begini tentu dia memikirkan kesehatannya, dia tidak muda lagi. Dulu ketika usianya masih dua puluhan, tentu saja mandi malam, berenang tengah malam tidak terlalu berdampak pada kondisi tubuhnya, dia harus lebih menjaga kondisi tubuhnya agar selalu fit, ada istrinya yang masih sangat muda itu yang harus diimbangi staminanya. Rasanya kerongkongannya terasa sangat kering, lelaki itu menyempatkan diri mampir ke dapur mengambil segelas air minum, tanpa disadari ternyata perutnya berbunyi, dia baru merasakan lapar, saking seriusnya bekerja sampai lupa makan malam.Rasanya dia ingin meminta istrinya untuk memasak mie instan, pasti rasa kuah hangatnya itu bisa membuatnya senang, atau minum teh hangat agar rasa capek itu berkurang. Tetapi, dia juga kasihan pada istrinya, pasti sekarang sedang tidur lelap, lampu di kamarnya sudah tid
Bram langsung membuka matanya, menatap lekat manik mata istrinya yang terlihat berbinar indah di sana."Eum, habis subuh, Abang mau, dong?" ujar Bram sambil mengerling nakal."Ih, Abang! Mau apa memangnya." Dhea mencubit pelan pinggang suaminya, membuat tubuh Bram menegang."Mau makan kamu," bisik Bram."Ya udah, salat dulu sana! Jangan lupa gosok gigi.""Ha?" Bram terlonjak, dengan semangat dia bangun dari tidur menuju kamar mandi, Dhea hanya tertawa melihat kelakuan suaminya yang kayak bocah mau dikasih mainan, girang banget.Selagi suaminya salat, Dhea sempatkan ke dapur, melihat stok makanan apa yang ada di kulkas. Nasi yang dia masak tadi masih ada separuh, berarti tadi malam Bram makan, ikan nila juga sudah lenyap di atas meja. Dhea meracik bumbu untuk membuat nasi goreng, semua bumbu sudah siap tinggal di eksekusi, dia menuangkan minyak ke wajan akan menggoreng telur mata sapi, sebelum kompor dinyalakan tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang."Hmmm, kok malah masak? Jadi
"Yang penting Dhea happy, jangan terlalu diforsir, agar nggak kecapean, ada Abang yang harus Dhea prioritaskan." "Ih, maunya diprioritaskan, memangnya Abang memprioritaskan Dhea?" "Iya, dong. Bagi Abang Dhea diurutan nomor satu." Dhea hanya tersenyum simpul mendengar suaminya berkata dengan percaya diri. Semoga saja apa yang dikatakan suaminya itu benar, sehingga Dhea akan berjuang sepenuh hatinya mempertahankan suaminya ini. "Ayo, Abang antar ke butik Intan." Dhea tersenyum menyambut ajakan suaminya, hari masih terlalu pagi, tidak ada salahnya Dhea menyempatkan diri mampir ke butik dulu baru ke kantor. Bram mengendarai Maybach-nya dengan santai, tangan kanan memegang stir sementara tangan kiri memegang dan meremas telapak tangan istrinya dengan lembut, senyuman dan tatapan mata penuh cinta menghiasi suasana yang mereka rasakan. "Nanti Abang pulang jam berapa?" tanya Dhea "Belum pasti, soalnya di kantor ada masalah serius. Nanti Abang kabari, ya? Sebisa mungkin Abang akan je
Part 77Baru beberapa langkah menginjak lobi kantor, sebuah suara menghentikan langkahnya."Nyai! Nyai Annisa! Ya, ampun. Sudah tobat kamu, Nyai?"Dhea menatap pemuda itu dengan mata membola, jelas dia terkejut melihat anak tengil itu berada di kantornya."Ketua?" sapa Dhea Melihat mimik dhea yang terlihat terkejut itu membuat anak itu terkekeh, sungguh ini surprise yang tak terduga bagi pemuda itu, sudah setahun dia tidak pernah bertemu gadis ini, gadis yang membuatnya bertekuk lutut secara lahir maupun batin. Sejak gadis ini tamat kuliah, dia sangat kesulitan menemukannya, itu karena gadis ini telah pindah rumah beberapa kali."Ternyata kamu bekerja di sini, Nyai? Aku mencarimu sudah seperti orang gila, ternyata kamu begitu dekat letaknya."Dhea hanya tertawa mendengar lelaki itu bicara, terlalu lebay."Buat apa kamu mencariku, ketua? Jangan berlebihan, kamu dari dulu memang sudah seperti orang gila.""Dulu aku baru seperti, tetapi sekarang aku benar-benar sudah gila, aku tergila-g
Part 79Dhea melangkah ke ruangannya dengan sikap tenang, di lorong kantornya dia bertemu dengan Faisal yang tampak berjalan terburu-buru dengan membawa berbagai berkas di tangannya. "Selamat pagi, Pak?" sapa Dhea."Pagi. Eh, Dhea ...."Faisal menghentikan langkahnya, mungkin ada sesuatu yang akan disampaikan lelaki itu pada Dhea, namun beberapa saat ditunggu, tidak ada satu kata yang keluar dari mulutnya, lelaki itu bahkan mengibaskan tangannya dan kembali melangkah, memberi isyarat agar Dhea mengabaikan panggilannya.Dhea cukup memaklumi, mungkin lelaki itu tengah sibuk, cemas dan gelisah saat ini, hal itu sangat wajar karena Faisal manajer keuangan, tempat paling krusial untuk memainkan intrik penggelapan uang.Pagi itu semua jajaran managerial mendapat kejutan telak dari Bram, bukti-bukti transaksi selama ini terlihat begitu jelas, tidak perlu melakukan audit menyeluruh dari tim audit sudah terlihat jelas kecurangan yang terjadi. Bram yang sudah memperlihatkan ke-arogansiannya
Part 80Perdebatan kecil Aryan dan Dhea itu memantik perasaan kesal di hati Ilham, namun juga membuka peluang di dalam hati laki-laki itu."Benar, Dhea. Saya juga tidak percaya jika kamu sudah menikah, bahkan Afkar sendiri bilang suamimu itu lelaki tua. Rasanya saya tidak percaya, Sebaiknya nanti kamu suruh suamimu menjemputmu, aku tahu kamu tadi berangkat naik taksi," ujar Ilham dengan tatapan menghakimi."Kalian ini, kenapa harus memaksaku seperti itu. Suamiku itu sekarang sedang sibuk di luar kota," elak Dhea."Kalau dia cinta pada istrinya, pasti dia tidak keberatan untuk datang, kan?" kejar Aryan lagi."Terserah, kalian! Aku bilang sudah menikah! Kalian akan bertemu dengan suamiku suatu saat nanti."Dhea beranjak untuk pergi, dia sudah malas duduk di dekat lelaki yang masih mengejarnya itu walaupun sudah punya istri. "Dhea, dengan ijin kamu atau tidak, aku akan terus mengejarmu," tekad Ilham."Ilham!" bentak Aryan dengan tak senang."Kenapa sih, Pak? Dia hanya mantan Bapak?" sun
Part 81"Dia tidak mau pergi, bahkan menolak semua reward yang aku tawarkan, kecuali hanya bonus kecil saja," jawab Bram."Ha? Kok bisa? Bodoh atau apa karyawan Mas itu?""Tidak semua orang membutuhkan reward semacam itu, kondisinya juga gak bisa kuliah dulu, ibunya tengah sakit jadi gak bisa pergi jauh. Aku gak mungkin memperlakukan orang yang sudah berjasa padaku dengan dzalim, bisa kena karma aku."Adelia hanya mendengus kesal, membayangkan wajah Dhea yang sok cantik itu membuatnya semakin geram, tidak ada orang yang lebih cantik di kantor ini dari dia. Adi datang beberapa saat kemudian, lelaki itu langsung memberikan laporan beberapa hal yang diminta oleh Bram, baik lisan maupun tulisan."Sudah kamu selidiki karyawan yang bernama Annisa itu?" tanya Bram."Tidak ada karyawan bernama Annisa, Pak. Apalagi yang bekerja di lantai tiga. Mungkin dia bukan karyawan sini, Pak. Hanya tengah mengunjungi seseorang di lantai tiga.""Yah, bisa jadi. Apa mungkin namanya bukan hanya Annisa? Ada
Part 82Pukul tiga sore, Dhea menerima chat dari suaminya, dia menanyakan kapan Dhea akan pulang. Dengan cepat Dhea membalasnya. [Jam setengah lima, Bang][Ya, sudah. Abang jemput!][Oke]Akhirnya Dhea mengerjakan laporan dengan serius agar cepat selesai, tidak mungkin kan nanti suaminya datang Dhea belum sampai di butik, suaminya pasti akan curiga.Jam empat semua pekerjaan selesai, dengan buru-buru Dhea keluar kantor dan memesan ojek online menuju butik intan.Ketika mau keluar kantor, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di dekatnya. Seseorang langsung ke luar dari pintu pengemudi."Mau pulang?" tanya lelaki itu."Iya," jawab Dhea singkat."Ayo Abang antarin!""Gak usah, Bang. Aku sudah memesan ojek online, itu ojeknya sudah menunggu," ujar Dhea buru-buru menuju ke arah ojol tengah menunggunya. Lelaki itu dengan cepat mendahului langkah Dhea, dia mengeluarkan dompet dan mengambil uang warna merah."Bang, maaf, ya. Pesanan Abang saya cancel, ambil uang ini untuk kompensasi," uja
"Pak!" panggilan itu tidak kuat, tetapi juga tidak terdengar lemah. Bram dan Dhea yang tengah bersembunyi saling memandang, walaupun Bram buta, tetapi gerakan wajahnya menoleh ke arah Dhea yang tengah memeluknya, suara itu terasa sangat familiar. "Pak Bram!" Dhea segera berdiri melihat siapa yang datang, di bawah batu, sekitar lima belas orang tengah berdiri, tetapi pria paling depan adalah pria yang sangat dia tunggu-tunggu sejak semalam. "Pak Adi!" pekik Dhea dengan suara yang sangat gembira. Bram yang mendengar Dhea memanggil nama tangan kirinya, bergegas berdiri juga. "Apakah sejak tadi malam anda berada di sana? Ayo, Bu. Segera turun." "Iya. Aku bisa turun sendiri, tetapi suamiku, tolong bantu dia." "Tentu saja." Dhea dengan hati-hati menuruni batu yang tingginya hampir enam meter, permukaan batu yang kadang kasar dan licin, membuatnya sedikit kesulitan, padahal dia sudah melemparkan sepatu hak rendahnya ke bawah terlebih dahulu. Setelah Dhea turun, beberapa
Rasa sakit itu tidak tertahan, Dhea terus memegangi kepalanya dan mengeluh kesakitan. Bram yang kuatir juga meraba kepala istrinya dan mendapati tangan istrinya di sana tengah memegang kepala dengan erat. "Apa kepalamu sakit?" "Iya, sakit banget!" "Sini, berbaring. Tumpukan kepalamu di paha Abang, biar Abang pijat." Dhea segera merebahkan kepalanya di paha Bram yang kakinya sudah berselonjor, tubuh Bram bersandar pada dinding batu yang sebenarnya tidak rata. Lelaki itu langsung meraba kepala dan pelipis istrinya memijat daerah itu dengan tekanan secara perlahan-lahan. "Masih sakit?" "Iya, sakitnya berdenyut-denyut." "Coba pejamkan tubuhmu." Ketika Bram menekan bagian bawah telinga Dhea rasa sakit terasa begitu menyengat dan kuat membuat wanita itu hilang kesadaran. "Dhea?!" panggil Bram. Dhea yang hilang kesadaran itu seperti halnya orang yang tengah tertidur, terdengar juga napasnya begitu teratur. Siapa yang menyangka jika sebenarnya wanita itu pingsan karena ras
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga