Part 62Dhea hanya tersenyum simpul mengenang kenakalannya dahulu. Ketua geng motor itu ternyata anak Borjuis, anak seorang pejabat teras atas di kota ini. Anak itu masih kuliah di universitas Sriwijaya, gayanya yang sok dan nge-bossy membuat semua orang segan padanya kecuali Dhea. Dalam satu trek, anak muda sombong itu dikalahkan oleh Dhea dalam balap liar itu. Sejak itu semua anggota geng motor dan semua orang yang ada di kawasan Jakabaring memanggil Dhea dengan sebutan 'Nyai' sebuah sebutan untuk seorang nenek tetua yang dihormati.Entah ke mana si ketua geng motor itu dalam setahun ini, dulu anak itu gencar sekali mengejar Dhea, tanpa bosan meminta Dhea jadi kekasihnya, bahkan berjanji akan menjadi pria baik dan sejati jika Dhea mau menjadi pacarnya. Tetapi Dhea tetap menolak, ada hati Aryan yang harus dijaga saat itu. Dhea besar di kota ini, setiap sudut kota ini dia hapal. Walaupun di depan ibu dan paman sepupu serta anak-anaknya, Dhea menjadi anak yang kalem dan lemah lembut,
Part 63Pemuda itu bahkan memandang Dhea dengan tatapan terpana, merasa heran, ada seorang peri yang duduk di install kuda sendirian. Setelah melepaskan perlengkapan berkuda, pemuda itu berjalan ke arah tempat duduk Dhea dengan santai, mata elangnya masih menelisik keberadaan Dhea di sana."Hei, sendirian saja?" Akhirnya pemuda berkulit coklat dan dengan bola mata juga coklat tua itu menyapa Dhea dengan sopan."Eh, iya." Dhea jelas tersentak karena lelaki itu menegurnya dengan santai, seolah mereka sudah kenal lama."Kenalkan, aku Arjuna. Siapa namamu, Nona?" Lelaki itu mengulurkan tangannya.Dhea tergagap, rasanya tidak sopan jika dia mengabaikan jabat tangan itu, tetapi dia sudah bertekad bahwa dia akan menutup hijab dan tak menyentuh lelaki yang bukan muhrim.Akhirnya Dhea menangkupkan kedua tangannya, sambil tersenyum ramah dia menyebutkan namanya."Saya Dhea. Maaf, saya tidak bersalaman dengan lelaki yang bukan muhrim."Lelaki itu terlihat malu, dia bahkan menatap Dhea dengan pa
Part 64"HYIAAT!!!" Suara teriakan dari suara lelaki dewasa di belakang terdengar begitu dekat dari Dhea "HAI! HAI!!!!" Suara itu memanggil Dhea dengan kuat, tetapi wanita itu bahkan tidak berani menoleh, dia hanya berteriak ketakutan. Suara derap kaki kuda semakin memekikkan telinga, Dhea sangat panik, apalagi di depan, sekitar seratus meter lagi terdapat jurang yang cukup terjal."AAAA!!! TOLOOOONG!!!" Dhea hanya bisa berteriak."HEI!! ULURKAN TANGANMU!!" Lelaki itu berteriak juga.Dhea semakin mengeratkan pegangannya, bagaimana caranya dia akan mengulurkan tangannya. Tiba-tiba, lelaki itu melompat ke arah kudanya, tali kekang lelaki itu tarik dengan kuat, hingga kuda itu berusaha mengerem langkahnya dan menaikkan dua kaki depan, akibatnya tubuh Dhea terpental ke belakang. Untung saja punggung Dhea menabrak dada liat lelaki itu. Suara ringkik kuda terdengar sangat keras.Kini kuda itu sudah berhenti sepenuhnya, berada lima meter dari jurang. Dhea yang merasa ketakutan, kini bern
Part 65"Apakah ini istri anda, Pak Bram?" tanya Fathan sambil tersenyum ramah ke arah Adelia, membuat Adelia juga tersenyum manis kepadanya."Bukan! Dia hanya sekretaris saya!"Senyum Adelia memadam seketika ketika Bram mengatakan hal itu, begitu juga dengan Fathan.Tetapi Bram tidak ambil pusing dengan reaksi mereka, lelaki itu langsung masuk ke dalam ballroom. Fathan juga tidak mau ikut campur dengan urusan kliennya, toh hal seperti itu sudah menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan.Ketika sampai dalam, Bram langsung duduk, gelayut tangan Lia sudah dia lepaskan, memang tidak pantas dia datang ke pesta dengan wanita lain, nanti akan menjadi gosip yang tidak baik. Besok pagi dia kan bertolak kembali ke Palembang, dia masih penasaran kenapa istrinya tidak mau mengangkat telponnya sejak tadi.*****Dhea bangun lebih cepat, dia langsung ke kandang kuda. Hari ini dia akan berlatih kuda lebih baik dari kemarin, sebenarnya mudah mengendalikan binatang tunggangan ini kalau tahu caranya. Dh
Part 66Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan ibunya Aryan, dia tidak peduli dengan apa yang akan wanita paruh baya itu lakukan, lagipula siapa dia? Dia bukan siapa-siapa bagi Dhea jadi tidak perlu menjaga imej."Hidup itu memang perlu uang, Bu. Jadi apa salahnya saya mencari lelaki yang mapan, jadi gak perlu capek berjuang dari nol," ujar Dhea dengan wajah tersenyum Melihat senyum itu membuat Farida sedikit panas, dia hanya mendengus, perempuan kayak gini, untung tidak jadi menantuku.Dhea masih memasang wajah ramah ketika mengukur baju, dia memang seperti itu, tidak akan mau bersikap kasar dengan orang tua, walaupun jika disakiti dia akan melawan siapapun orangnya. Dhea juga membuatkan sketsa baju kebaya kekinian untuk seremonial seperti wisuda ini, Marlina langsung saja suka melihat sketsa desain baju yang digambar Dhea dengan singkat. Tak berapa lama, mama dan adik perempuan Marlina datang, mereka sangat antusias mengukur baju kebaya dan memilih bahan yang tersedia di sana.
Part 67"Namanya Frans Hutaryus. Orang itu memang sedikit gila dan nekat.""Frans Hutaryus?""Iya.""Astaghfirullah! Aku bertemu pria bernama Frans Hutaryus di club' berkuda kemarin dan tadi pagi.""Astaga!! Apa kau tidak menyadari? Aku malah yakin, kalau sebenarnya dia sudah tahu siapa kamu, makanya dia berada di sana untuk memata-matai kamu.""Ya, Allah! Aku kan tidak tahu? Bagaimana ini?""Kau tidak usah takut. Ingat, kalau ada apa-apa segera hubungi aku!"*****Dhea akhirnya pulang setelah makan malam bersama Lingga, untunglah laki-laki itu menyanggupi permintaan Dhea, untuk menyelidiki Lia lebih lanjut, jika Bram tidak memiliki hubungan asmara dengan wanita itu, it's okey! Memang sebaiknya Dhea tidak gegabah meminta cerai duluan. Walaupun kabar tentang Frans sedikit mengganggunya, apalagi kalau teringat senyum seringai lelaki itu, sungguh membuat Dhea bergidik.Dhea melajukan mobilnya ke arah rumahnya bersama Bram, sampai gerbang dia hanya perlu memencet remote control agar pintu
Part 68Bram berlari menaiki tangga menyusul Dhea yang sudah duluan menuju ke kamar mereka, sesampai kamar, ternyata Dhea sudah masuk ke kamar mandi. Bram hanya menghela napas dan duduk ditepi ranjang menunggu istrinya selesai mandi. Beberapa menit kemudian, Dhea sudah selesai mandi. Dia keluar kamar mandi menggunakan piyama mandi, di atas kepalanya terbungkus handuk, sesekali wanita itu mengusap handuk itu untuk mengeringkan rambutnya.Bram reflek menatap istrinya, senyumnya terkembang lebar menatap istrinya tersebut."Dhe, kamu mandi keramas?" tanyanya dengan raut wajah senang.Dhea menghentikan usapan pada rambutnya dan menatap suaminya yang masih duduk di tepi ranjang, dia tahu maksud senyuman suaminya itu, tak seharusnya dia mandi keramas sekarang, tetapi karena sudah kangen mau menjalankan salat, sebisa mungkin secepatnya dia mandi wajib."Hemm! Jadi, kamu sudah selesai menstruasinya, Sayang?" tanya Bram dengan tatapan mendamba."Iya," jawab Dhea singkat.Dhea jelas tahu isi k
Part 69Setelah Bram pergi, Dhea berusaha tidak peduli dan ingin langsung tidur dan melupakan segalanya, dia berusaha memejamkan matanya kembali, nyatanya kedua mata yang terpejam itu hanya sekedar terpejam, tetapi kesadarannya masih utuh. Satu jam, dua jam, tiga jam ... Dhea berusaha untuk kembali tertidur, tetapi dia justru sulit tertidur. Wanita itu kemudian bangkit dan mendesah dengan kuat mana kala azan subuh berkumandang. Dhea bangkit dengan lesu dan masuk kamar mandi menunaikan mandi junub.Setelah salat subuh, Dhea masuk ke dapur membuat sarapan. Dia hanya membuat sarapan sandwich dan dua gelas susu coklat. Ini hari Senin, Dhea berusaha untuk semangat walaupun hatinya galau. "Semangat, Dhea! Sekarang hidup dan duniamu hanya untuk kau dedikasikan pada pekerjaan, demi masa depanmu, nanti jika kau sudah memiliki value yang baik, kau bisa resign dari kantor Bram dan memulai karier di tempat lain," monolog Dhea pada diri sendiri di depan cermin. Dhea sudah berpakaian kerja deng
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k