Part 48Setelah makan dan salat magrib, Dhea bermaksud untuk langsung merebahkan tubuhnya di ranjang, rasanya tubuhnya sudah sangat letih, apalagi batinnya.Ketika baru saja merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu, ponselnya kembali berdering. Dhea langsung duduk dan meraih ponselnya di atas nakas tempat tidur. Wanita itu langsung melempar pelan ponselnya di atas kasur ketika melihat nama suaminya terpampang di layar ponsel.Setelah berhenti berdering, ponsel itu kembali mengeluarkan suara dering, entah kenapa sekarang suaranya terdengar lebih nyaring. Dhea sebenarnya malas menjawab panggilan suaminya, tetapi lelaki itu tidak berhenti menghubunginya, hingga panggilan ke tujuh, Dhea akhirnya menyentuh tombol panggilan warna hijau."Dhea!!" teriakan di seberang sana membuat Dhea menjauhkan ponselnya dari telinga.Dengan perlahan, wanita itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga."Dhea! Hallo!" Lelaki itu masih saja berteriak."Iya, hallo ...," jawab Dhea sedikit takut.Tetapi wanita i
Part 49"Hei, ketemu lagi!" sapa lelaki bermata sipit itu tetapi pandangannya tetap tajam.Dhea menatap orang itu dengan pandangan yang lebih entah, apakah dia harus beramah tamah dengan orang itu, atau sebaliknya. Dia bahkan merasa tidak kenal dengannya."Pak Lingga kenal dengan mbak Dhea?" tanya Pak Hamid."Kenal, Pak. Dia kakak ipar kekasih saya," jawab Lingga dengan suara jelas menandakan kepercayaan diri yang tinggi, membuat Dhea melongo dibuatnya."Oh, kalau begitu, silahkan jika Pak Lingga dan Mbak Dhea kalau mau mengobrol. Saya pamit dulu ya, Pak. Urusan kita lanjutkan besok di depan notaris, nanti Pak Lingga saya kabari lewat Wa saja.""Baik, Pak Hamid. Sampai jumpa besok," ujar Lingga sambil menyalami Pak Hamid."Mari, Mbak Dhea ... Saya duluan," sapa Pak Hamid."Oh iya, silahkan Pak."Tinggal mereka berdua di depan ruko Dhea, suasana tampak begitu canggung. Dhea baru dua kali ketemu lelaki ini, tetapi sepak terjangnya sudah diceritakan oleh Sania. Rasanya tidak percaya jika
Part 50Setalah makan siang bersama Lingga, Dhea langsung pergi ke supermarket untuk belanja sayuran, kulkasnya sudah kosong. Seandainya apa yang dikatakan Sania benar, jika Bram tengah berada di pesawat menuju ke sini, tentu Dhea harus menyiapkan makan malam.Dhea membeli dua ekor ikan nila, daging ayam dan daging sapi, serta bumbu-bumbu dapur. Setelah Samapi rumah, dia segera mengeksekusi ikan nila menjadi ikan panggang, membuat sambal terasi dan merebus beberapa sayuran untuk sarapan. Setelah selesai, hari sudah jam lima sore, Dhea segera membersihkan diri bersiap menyambut kedatangan suaminya.Setalah berdandan, Dhea merasa ada yang aneh, kenapa suaminya belum juga sampai? Bahkan tidak juga menghubungi. Sampai jam sembilan malam, lelaki itu belum juga datang, apa katanya mau datang pagi-pagi sekali? Omong kosong!Dhea meraih ponsel di atas nakas, kembali mengecek aplikasi pesan, tidak ada satu pesan pun yang datang dari suaminya, wanita itu hanya mendesah untuk menghalau sesak di
Part 51"Yah, Abang memang harus mengatakan semua ini, kemarilah. Duduk dipangkuan Abang, Abang ingin Dhea mendengarnya dengan jelas."Lengan kekar lelaki itu meraih pinggang ramping Dhea dan memeluk wanita itu dipangkuannya. Dhea yang mendapat perlakuan itu tidak dapat menolak, tetapi rasa tak nyaman, takut dan merasa deg degan tak bisa dia tepis dari perasaannya. "Sepuluh tahun yang lalu, Abang baru menduduki jabatan sebagai wakil Presdir di perusahaan kakek, HG group. Abang menghadiri pesta peresmian sebuah gedung yang Abang garap. Tetapi di pesta itu, Abang diracun oleh seseorang, minuman yang Abang minum sengaja dimasukan racun. Abang dilarikan ke rumah sakit, untung saja Pak Seto, ayah Adi sigap menyelamatkan Abang. Saat itu, Adi belum bekerja dengan Abang, Pak Seto itu pengawal kakek, tapi hari itu dia mengawal Abang. Nyawa Abang bisa diselamatkan ketika melalui operasi yang panjang, mengeluarkan semua jenis racun dan memotong usus yang terkontaminasi parah. Tetapi ternyata r
Part 52"Ngomong apa kamu, Sayang? Jangan ngaco deh! Selamanya Abang hanya akan menikah sekali, hanya kamu istri Abang, gak ada yang lain. Abang hanya mau menolong dia saja."Bram jelas terkejut mendengar perkataan Dhea, enak saja minta pisah setelah dia memberikan kecanduan ini? Jangan ngimpi!Suara Bram yang meningkat beberapa oktaf itu membuat Dhea terjengit, kenapa nada bicara lelaki ini seperti orang yang posesif gitu? Gak masuk akal! "Dengar, Sayang ... Mengertilah, Abang minta pengertian Dhea tentang masalah ini. Abang hanya ingin menolong Lia. Hanya itu niat Abang, demi kebaikannya di masa lalu. Bukan untuk apa-apa, jiwa raga Abang semuanya sudah Abang serahkan untuk Dhea, please ... Dengar itu, Sayang? Hanya Dhea yang berhak menjadi istri Abang, bukan yang lain," ujar Bram dengan tatapan sendu, memandang manik mata istrinya dengan serius. "Yah, mungkin hanya aku yang berhak menjadi istri Abang, tetapi siapapun bisa menjadi kekasih Abang, apalagi perempuan itu," ujar Dhea mas
Part 53"Pak Adi, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Dhea ketika dalam perjalanan. "Iya, apa, Bu?" "Hari itu, saya mendapati Pak Adi dan suami saya dalam keadaan yang ambigu, sebenarnya apa yang kalian lakukan? Apa kalian melakukan itu?" Adi menatap Dhea dari kaca spion tengah, seulas senyum dia berikan pada wanita di belakangnya. "Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak. Saya hanya sedang mengobati punggung Pak Bram yang terkilir," jawab Adi. "Terkilir? Kok dia kayak orang yang gak terluka gitu?" Dhea bermonolog, dia merasa aneh saja, jika lelaki itu terluka tentu tidak akan menggaulinya sampai berkali-kali seperti itu. "Tapi kenapa Pak Adi juga buka baju?" "Oh, itu saya juga terluka di punggung. Pak Bram habis mengobati saya, hanya saja saya luka luar, sedang pak Bram luka dalam." Dhea jadi teringat ucapan Lingga, apa mereka berdua terluka karena berantem dengan Lingga? "Apa kalian waktu itu berantem dengan Lingga?" tanya Dhea dengan tatapan tajam. Tentu saja Adi kaget mendenga
Part 54Dhea menarik napas berkali-kali, mencoba melonggarkan dadanya yang terasa sesak, dua sosok manusia itu sudah pergi dari sana, tetapi Dhea masih mematung memandangi jalanan walaupun mobil mereka tidak terlihat lagi. Dhea menjadi ragu untuk membeli rumah di kawasan ini, apakah Bram ke sini untuk membelikan rumah perempuan itu? Dhea sudah menduga semua itu. Suaminya itu begitu royal, melihat kisah masa lalu mereka tak bisa dipungkiri pasti Bram melakukan itu semua, mungkin bukan hanya rumah, bisa jadi mobil, perhiasan, tanah, dan semua properti kekayaan rela lelaki itu berikan untuk seseorang yang bernama Lia.Dengan memberanikan diri Dhea masuk ke kantor pemasaran tersebut, selain untuk bertanya-tanya soal rumah, dia harus mendapatkan info tentang kedatangan dua pasang manusia tadi."Selamat sore, selamat datang, Nona?" ucapan yang begitu ramah didapat dari seorang wanita berambut pendek fengan wajah putih bersih, usia wanita ini dapat di tebak akhir tiga puluhan."Selamat sore
Part 55Dhea tidak tahu musti berbuat apa, tetapi Bram selalu jujur dengan apa yang dia lakukan. Dia mengaku membelikan rumah, lelaki itu juga membelikan rumah sederhana yang disubsidi pemerintah, bukan rumah yang berlebihan. Kisahnya dengan Lia juga diceritakan dengan sederhana, apa Dhea harus membuka hati dengan tangan terbuka agar bisa menjalin hubungan dengan Lia, untuk mengontrol kedekatan wanita itu dengan suaminya?Entahlah, apa Dhea sanggup melakukan itu? Berteman dengan wanita yang jelas istimewa kedudukannya di sisi suaminya, mana bisa dia mengendalikan rasa cemburu. Cemburu? Apa Dhea sudah mencintai suaminya sekarang? Bisa jadi, bagaimana dia tidak mencintai jika seluruh jiwa raganya sudah dia serahkan pada lelaki itu, setiap sentuhan halal suaminya dia juga menikmati.Pagi ini Dhea membuat sarapan yang cukup berat, memasak lauk ayam semur dan sayur capcay bakso dan brokoli, ditambah sambel bawang. Selain untuk sarapan nasi dan lauk pauk itu akan dibuat bekal makan siang,
"Pak!" panggilan itu tidak kuat, tetapi juga tidak terdengar lemah. Bram dan Dhea yang tengah bersembunyi saling memandang, walaupun Bram buta, tetapi gerakan wajahnya menoleh ke arah Dhea yang tengah memeluknya, suara itu terasa sangat familiar. "Pak Bram!" Dhea segera berdiri melihat siapa yang datang, di bawah batu, sekitar lima belas orang tengah berdiri, tetapi pria paling depan adalah pria yang sangat dia tunggu-tunggu sejak semalam. "Pak Adi!" pekik Dhea dengan suara yang sangat gembira. Bram yang mendengar Dhea memanggil nama tangan kirinya, bergegas berdiri juga. "Apakah sejak tadi malam anda berada di sana? Ayo, Bu. Segera turun." "Iya. Aku bisa turun sendiri, tetapi suamiku, tolong bantu dia." "Tentu saja." Dhea dengan hati-hati menuruni batu yang tingginya hampir enam meter, permukaan batu yang kadang kasar dan licin, membuatnya sedikit kesulitan, padahal dia sudah melemparkan sepatu hak rendahnya ke bawah terlebih dahulu. Setelah Dhea turun, beberapa
Rasa sakit itu tidak tertahan, Dhea terus memegangi kepalanya dan mengeluh kesakitan. Bram yang kuatir juga meraba kepala istrinya dan mendapati tangan istrinya di sana tengah memegang kepala dengan erat. "Apa kepalamu sakit?" "Iya, sakit banget!" "Sini, berbaring. Tumpukan kepalamu di paha Abang, biar Abang pijat." Dhea segera merebahkan kepalanya di paha Bram yang kakinya sudah berselonjor, tubuh Bram bersandar pada dinding batu yang sebenarnya tidak rata. Lelaki itu langsung meraba kepala dan pelipis istrinya memijat daerah itu dengan tekanan secara perlahan-lahan. "Masih sakit?" "Iya, sakitnya berdenyut-denyut." "Coba pejamkan tubuhmu." Ketika Bram menekan bagian bawah telinga Dhea rasa sakit terasa begitu menyengat dan kuat membuat wanita itu hilang kesadaran. "Dhea?!" panggil Bram. Dhea yang hilang kesadaran itu seperti halnya orang yang tengah tertidur, terdengar juga napasnya begitu teratur. Siapa yang menyangka jika sebenarnya wanita itu pingsan karena ras
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga