Part 44Dengan perlahan Dhea memasukkan anak kunci ke lubang kunci, cocok! Perlahan Dhea putar anak kunci tersebut, tak bisa dipungkiri, dada Dhea berdebar dengan kuat, dia tidak tahu apa yang ada di dalam sana, tetapi perasaannya sangat takut, tangannya bahkan gemetar, dia yakin kamar ini berhubungan erat dengan nama yang terukir di cincin itu, LIA!Dhea melongok ke dalam ruangan tersebut, luas kamar tersebut sama dengan kamar yang dia tempati sekarang. Namun di kamar ini tidak ada ranjangnya, hanya ada beberapa buffet yang menempel di dinding dan dipenuhi dengan benda-benda pajangan. Di tengah ruangan terdapat piano berwarna putih mengkilap, dengan tempat duduk memanjang cukup diduduki dua orang.Dhea masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya, mengamati setiap sudut ruangan, di dinding sebelah kiri terdapat lukisan wajah Bram, tengah tertawa lebar memakai kaca mata hitam. Ada beberapa lukisan abstrak juga di sana. Dhea menyusuri pajangan dalam buffet, ada boneka beruang, ada harmon
Part 45"Abang! Abang sudah datang? Katanya mau datang besok?" tanya Dhea dengan binar bahagia. Bram segera memeluk istrinya itu, perasaan rindu tak bisa lagi dibendung, padahal baru semalam tidak bertemu, kenapa rasanya serasa seabad? Bram bukannya menjawab pertanyaan Dhea, lelaki itu malah mencium dahi istrinya dengan kuat, menghirup aroma mawar pada shampoo yang biasa dipakai Dhea. "Memangnya kerjaan Abang sudah beres?" tanya Dhea lagi. "Iya, sudah Abang bereskan semua. Makanya Abang langsung ke sini," jawab Bram sambil mengusap lembut jilbab yang dikenakan Dhea. "Abang sudah kangen," bisik lelaki itu ditelinga Dhea, membuat bulu kuduk Dhea meremang. "Hmm, hmmm! Benar-benar ya, kalian? Kalau mau bermesraan itu jangan ditempat umum, jangan manas-manasi jomblo, gak kasihan apa kalian sama aku?" gerutu Sania melihat kelakuan kakak dan kakak iparnya ini. Dhea yang mendengar perkataan Sania langsung melepaskan pelukan Bram, semburat merah mewarnai pipinya, Dhea benar-benar meras
Part 46"Lia?" gumam Bram.Suara Bram memang hanya berupa gumaman, tetapi sangat jelas di telinga Dhea.Pegangan di tangan Dhea kini Bram lepaskan, lelaki itu terlihat bingung dan terburu-buru."Sayang, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Abang ada perlu sebentar. Ini tolong dibawa dulu."Bram menyerahkan paper bag belanjaan ke tangan Dhea.Dengan secepatnya lelaki itu berlari menaiki tangga eskalator, dalam sekejap dunia Dhea terasa runtuh. Wanita itu tak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Tanpa menunggu lama, Dhea juga bergegas menuju lantai atas, dia jelas tahu apa yang membuat suaminya itu terburu-buru meninggalkannya.Bram tidak akan menyangka jika Dhea sudah mengetahui tentang wanita yang kini membuat suaminya ketar-ketir itu. Sampai lantai atas, Dhea berlari mengedarkan pandangan ke segala arah mencari keberadaan suaminya.Begitu juga dengan Bram, dia yakin sekali, wanita yang tanpa sengaja dilihatnya tadi adalah wanita yang sama, wanita yang tidak pernah dilihatnya selama ini,
Part 47Sudah dua jam Dhea berada di rumah sakit, belum juga suaminya menghubungi. Dhea terpaksa menghubungi Sania, entah kenapa perasaannya sudah terjun bebas. Dhea menduga bahwa hubungan antara suaminya dan gadis bernama Lia itu adalah hubungan yang tidak sederhana, ada bawa-bawa perasaan di sana. Dhea menghela napas dengan berat, kenapa harus ada hubungan intim antara dirinya dan suaminya? Seandainya hubungannya masih seperti sebelumnya, keperawanannya masih utuh, mungkin Dhea tidak sesakit ini, dia menganggap bahwa hubungan pernikahan hanya sebatas bisnis semata. Namun perlakuan Bram dua hari ini, hubungan badan yang sudah dilakukan berkali-kali dalam tempo waktu dua hari, membuat dirinya tidak lagi menganggap pernikahan ini hanya sekedar pernikahan di atas kertas, lelaki itu suaminya, tubuh lelaki itu miliknya, dia adalah istri sah! Di satu sisi Dhea ingin membela haknya, meraih kembali suaminya, namun di sisi lain harga dirinya sungguh tidak mengizinkannya. Jika lelaki itu m
Part 48Setelah makan dan salat magrib, Dhea bermaksud untuk langsung merebahkan tubuhnya di ranjang, rasanya tubuhnya sudah sangat letih, apalagi batinnya.Ketika baru saja merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu, ponselnya kembali berdering. Dhea langsung duduk dan meraih ponselnya di atas nakas tempat tidur. Wanita itu langsung melempar pelan ponselnya di atas kasur ketika melihat nama suaminya terpampang di layar ponsel.Setelah berhenti berdering, ponsel itu kembali mengeluarkan suara dering, entah kenapa sekarang suaranya terdengar lebih nyaring. Dhea sebenarnya malas menjawab panggilan suaminya, tetapi lelaki itu tidak berhenti menghubunginya, hingga panggilan ke tujuh, Dhea akhirnya menyentuh tombol panggilan warna hijau."Dhea!!" teriakan di seberang sana membuat Dhea menjauhkan ponselnya dari telinga.Dengan perlahan, wanita itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga."Dhea! Hallo!" Lelaki itu masih saja berteriak."Iya, hallo ...," jawab Dhea sedikit takut.Tetapi wanita i
Part 49"Hei, ketemu lagi!" sapa lelaki bermata sipit itu tetapi pandangannya tetap tajam.Dhea menatap orang itu dengan pandangan yang lebih entah, apakah dia harus beramah tamah dengan orang itu, atau sebaliknya. Dia bahkan merasa tidak kenal dengannya."Pak Lingga kenal dengan mbak Dhea?" tanya Pak Hamid."Kenal, Pak. Dia kakak ipar kekasih saya," jawab Lingga dengan suara jelas menandakan kepercayaan diri yang tinggi, membuat Dhea melongo dibuatnya."Oh, kalau begitu, silahkan jika Pak Lingga dan Mbak Dhea kalau mau mengobrol. Saya pamit dulu ya, Pak. Urusan kita lanjutkan besok di depan notaris, nanti Pak Lingga saya kabari lewat Wa saja.""Baik, Pak Hamid. Sampai jumpa besok," ujar Lingga sambil menyalami Pak Hamid."Mari, Mbak Dhea ... Saya duluan," sapa Pak Hamid."Oh iya, silahkan Pak."Tinggal mereka berdua di depan ruko Dhea, suasana tampak begitu canggung. Dhea baru dua kali ketemu lelaki ini, tetapi sepak terjangnya sudah diceritakan oleh Sania. Rasanya tidak percaya jika
Part 50Setalah makan siang bersama Lingga, Dhea langsung pergi ke supermarket untuk belanja sayuran, kulkasnya sudah kosong. Seandainya apa yang dikatakan Sania benar, jika Bram tengah berada di pesawat menuju ke sini, tentu Dhea harus menyiapkan makan malam.Dhea membeli dua ekor ikan nila, daging ayam dan daging sapi, serta bumbu-bumbu dapur. Setelah Samapi rumah, dia segera mengeksekusi ikan nila menjadi ikan panggang, membuat sambal terasi dan merebus beberapa sayuran untuk sarapan. Setelah selesai, hari sudah jam lima sore, Dhea segera membersihkan diri bersiap menyambut kedatangan suaminya.Setalah berdandan, Dhea merasa ada yang aneh, kenapa suaminya belum juga sampai? Bahkan tidak juga menghubungi. Sampai jam sembilan malam, lelaki itu belum juga datang, apa katanya mau datang pagi-pagi sekali? Omong kosong!Dhea meraih ponsel di atas nakas, kembali mengecek aplikasi pesan, tidak ada satu pesan pun yang datang dari suaminya, wanita itu hanya mendesah untuk menghalau sesak di
Part 51"Yah, Abang memang harus mengatakan semua ini, kemarilah. Duduk dipangkuan Abang, Abang ingin Dhea mendengarnya dengan jelas."Lengan kekar lelaki itu meraih pinggang ramping Dhea dan memeluk wanita itu dipangkuannya. Dhea yang mendapat perlakuan itu tidak dapat menolak, tetapi rasa tak nyaman, takut dan merasa deg degan tak bisa dia tepis dari perasaannya. "Sepuluh tahun yang lalu, Abang baru menduduki jabatan sebagai wakil Presdir di perusahaan kakek, HG group. Abang menghadiri pesta peresmian sebuah gedung yang Abang garap. Tetapi di pesta itu, Abang diracun oleh seseorang, minuman yang Abang minum sengaja dimasukan racun. Abang dilarikan ke rumah sakit, untung saja Pak Seto, ayah Adi sigap menyelamatkan Abang. Saat itu, Adi belum bekerja dengan Abang, Pak Seto itu pengawal kakek, tapi hari itu dia mengawal Abang. Nyawa Abang bisa diselamatkan ketika melalui operasi yang panjang, mengeluarkan semua jenis racun dan memotong usus yang terkontaminasi parah. Tetapi ternyata r
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k
Bram dan Dhea tentu terkejut mendengar perkataan Sayuti yang bernada menghina itu, Bram begitu geram mendengarnya, tadi waktu rapat tidak ada bersuara setelah rapat baru berani berkoar-koar. "Apa ini rencana kalian? suami istri menguasai hampir semua saham, apa perusahan juga tidak akan kenapa-napa dipimpin oleh bocah ingusan seperti ini, mana dia perempuan pula. bisa apa perempuan muda seperti dia?" serang Sayuti dengan nada tidak senang. "Ini juga bukan keinginan kami, Om! ini keinginan nenek. kalau aku boleh memilih lebih baik istriku tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak kami," balas Bram tak kalah kesal pula. "Halah, munafik kamu! sejak kamu menikahinya, dia sudah kamu beri kedudukan sebagai direktur di anak cabang perusahan padahal pendidikan dan kemampuannya tidak kualified." Bram ingin membalas kembali perkataan pamannya ini, tetapi Dhea sudah mencekal lengannya dan dengan gelengan dia mengisyaratkan agar suaminya ini menghentikan perdebatan. "
"Tidak bisa! apa tidak ada kandidat yang lain? masih banyak orang yang kompeten selain wanita yang masih muda itu. Lagipula, dia juga punya riwayat pernah di penjara, dia juga sudah sangat lama absen dan telah mengundurkan diri dari perusahaan." "Pak Sayuti, jaga bicara anda!" Bram yang sudah membuka mulut, ternyata kalah cepat dengan ucapan Samsudin, pengacara itu menatap Sayuti dengan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang diutus di ruangan itu, segala apa yang dikatakan Samsudin berlindung dari hukum, ada juga petugas pengadilan dan kejaksaan yang menyaksikan jalannya rapat. "Pak sekretaris, putar lagi vidionya!" perintah Samsudin. "Demikianlah pesan dan wasiatku, saya ingatkan buat semuanya, patuhilah semua yang saya katakan ini, jika ada salah satu pihak menentang ataupun tidak patuh dan tidak menuruti semua yang saya katakan, saya sudah mengajukan perkara hukum dengan pengacara saya, dan menuntut untuk hukuman yang tidak main-main." "Ha!" Beberapa orang mendeng
"Sebelum Nyonya Hartina wafat, beliau meminta saya menjadi pengacaranya, untuk mengurus semua harta benda yang dia tinggalkan dan meninggalkan surat wasiat untuk dibacakan di depan semua anggota direksi perusahaan HG Aditama grup." Semua orang memusatkan perhatian pada Samsudin, lelaki itu memang pandai berbicara hingga membius semua orang, pantasan saja menjadi pengacara top dalam waktu enam tahun. "Saudara sekalian lihat? ini adalah surat yang ditulis tangan sendiri oleh Nyonya Hartina, ada tanda tangan beliau dan cap tiga jari di sini. Tetapi selain itu, beliau juga membuat rekaman vidio, karena jika dengan surat menurut beliau tidak kuat, jadi setelah bangun dari koma, beliau langsung menghubungi saya dan meminta rekaman vidio, coba tolong putar vidionya," pinta pengacara itu pada Fikri yang sudah siap di depan laptop. Di hadapan mereka sudah terpajang layar monitor dengan sorot ini infokus yang mulai memutarkan sebuah tayangan vidio, kemudian sosok nenek Hartina yang tenga