Tujuh jam lamanya operasi yang dijalani Dhea, setelah selesai, Dhea ditempatkan di ruang ICU dengan dipasangi peralatan medis yang sangat banyak, Bram sendiri juga tidak paham alat apa saja yang terpasang di tubuh istrinya. Selama dua puluh empat jam masih dalam pantauan dokter, sehingga siapapun tidak boleh masuk ke ruang ICU tersebut, hanya bisa melihat dari jendela kaca. "Pak Ibrahim, kenapa makanan yang kami beli belum di makan? anda juga harus menjaga kesehatan," ujar Khaidir yang telah kembali bersama istrinya. "Oh, iya. Saya sampai lupa makan. Maklumlah, situasi seperti ini bagaimana saya bisa menelan makanan. Sebaiknya kalian makan saja yang kalian bawa tadi, saya akan makan di luar saja bersama putra dan menantu saya," ujar Ibrahim. "Kamu jaga di sini ya, Dir? jaga juga ruang instalasi anak, cucuku ada di sana." "Baik, Pak." "Ayo, Vi ... Bram, kita cari makan dulu," ajak Ibrahim. Dua lelaki yang lebih muda dari Ibrahim itu hanya mengangguk dan mengikutinya, hari s
"Mungkin kau salah tempat, dulu ketika Kamelia masih tinggal di sana, selama lima tahun pertama, aku selalu menginap di sana, gak pernah lihat kamu di sana," ujar Viyatan lagi. "Benarkah?" Bram menyapa Viyatan dengan tidak percaya, apabila apa yang dikatakan Viyatan benar, pupuslah harapannya untuk bertemu Lia. Ibrahim sendiri juga memandang Viyatan tak percaya, kejadian itu memang sudah hampir sembilan tahun berlalu. Tetapi dia bukanlah orang yang hilang ingatan, saat kejadian itu bukankah Viyatan memutuskan untuk menjadi dosen di Singapura dan tidak mau mengurus perusahaan yang didirikannya? apa mungkin Viyatan selalu menginap di rumah tepi pantai? ah, mungkin saja iya. Toh dari Singapura ke Batam hanya ditempuh kurang dari sejam perjalanan. "Ya, begitulah. aku kadang menginap sampai tiga harian di sana, apa selama kamu tinggal di sana pernahkah gadis bernama Lia itu mengungsikan kamu ke tempat lain selama itu?" tanya Viyatan lagi. "Tidak, aku selalu di sana," jawab Bram de
Mendengar perkataan Ibrahim jelas kedua wanita itu sedikit takut. Biar bagaimanapun, Ibrahim adalah kepala keluarga, keputusan yang diambil lelaki itu kadang juga nekad dan tidak pakai pertimbangan apalagi menyangkut Kamelia putrinya. Sehingga kedua wanita itu langsung terdiam tidak berkutik. Mereka berdua akhirnya menyusut dan hanya berbicara dengan berbisik-bisik. Sementara Bram cukup lama berada di mushola, dia benar-benar khusuk berdoa demi kesembuhan istri dan putranya. Entah akan sehancur apa dirinya nanti jika sampai kehilangan istrinya. Cukup baginya dia kehilangan wanita itu selama tujuh bulan ini, jangan sampai selama-lamanya. Makanya hari ini dia benar-benar merayu Allah agar memulihkan kesehatan istrinya agar mereka bisa bersama-sama kembali, menjadi keluarga kecil yang bahagia dengan seorang putra buah cinta mereka berdua. Setelah cukup lama berdoa, membuat suasana hati Bram sedikit tenang, sepertinya kini dia sudah memasrahkan nasibnya ke depan kepada tuhan yang maha
"Hei, Bram! Mana Dhea, Mana my lovely beauty?!" teriak seseorang setelah melihat Bram di bangku tunggu. "Apa matamu buta? ini rumah sakit kenapa berteriak seperti itu?!" balas Bram dengan jengkel. Frans segera menutup mulutnya dengan sebelah tangannya setelah menyadari kecerobohannya, dengan perlahan lelaki itu mendekati Bram dan menatap ruangan bertuliskan ICU dengan huruf besar di depannya. "Apa Dhea kesayanganku ada di dalam sana?" tanya lelaki itu dengan suara pelan sekarang. "Berani benar kamu menyebut istri orang seperti itu. Apa kamu sama sekali tidak menghargai ada suaminya di sini?" Bram makin terlihat jengkel, sudah cukup dia makan hati mengundang musuh bebuyutan nya datang ke sini, sekarang lelaki itu harus menerima kelakuan absurb lelaki itu yang sengaja menyulut emosinya. "Memang hargamu berapa? eh, aku lupa kamu pewaris grup Aditama, aku jelas tidak bisa membeli harga dirimu," kekeh Frans dengan tatapan tengil. "Diam, sekarang kau temui perawat di sana. Seben
"Apa maksudmu?" Frans tambah bingung dengan perkataan gadis ini, seolah dia tengah diajak berbicara oleh makhluk luar angkasa tidak tahu apa maksudnya. "Begini, Bang ... Ternyata Dhea itu selama ini hilang ingatan karena kecelakaan yang terjadi delapan tahun yang lalu, karena hilang ingatan akhirnya dia dirawat oleh seorang ibu yang keluarganya juga jadi korban kecelakaan yang sama. Tetapi setelah dia datang ke kota Batam ini, ternyata wajahnya sangat mirip dengan Kamelia Zahrain kakak aku, sehingga ayahku langsung tes DNA dan ternyata Dhea itu terbukti adalah Kamelia Zahrain putrinya bapak Ibrahim Ahmad Zahrain ayahku, apa kau kenal siapa itu Ibrahim Zahrain?" Frans hanya menggeleng pelan, dia memang tidak kenal siapa orang-orang yang disebut oleh Novita, bagaimana dia bisa kenal? dia yang selalu berjibaku di kota Jakarta, bandung dan Palembang manalah kenal dengan tokoh dari daerah lain. "Pak Ibrahim Zahrain ayahku itu adalah pengusaha nomor satu di Batam, dia juga menjabat se
"Apa kau tidak curiga jika seseorang mencoba mencelakai kesayanganku itu?" tanya Frans yang sudah mendonorkan darah. Sekarang lelaki itu sedang duduk dan memakan bekal yang dibawa oleh Novita, karena Bram yang memberikan, kalau lelaki ini kena pelet ya bagus, syukurin saja. Bram jelas sangat jengkel karena lelaki ini masih saja memanggil istrinya kesayanganku, benar-benar tidak menghargainya sebagai suami. "Bisa tidak kau memanggil istriku tidak pakai kata-kata kesayanganku? hargai sedikit diriku kenapa, sih?" ujar Bram jengkel. "Ya suka-suka akulah! kalau kamu cemburu itu urusanmu sendiri, bagiku ya memang Dhea adalah kesayanganku." "Brengsek! kau boleh menyukai istriku, tetapi buat dirimu sendiri jangan kau umbar begitu saja, aku juga tidak bisa mengendalikan perasaan orang." "Ya suka-suka aku lah mau mengekpresikan seperti apa. Kalau kamu tidak tahan, berikan saja Dhea padaku." "Pemikiran macam apa itu? ah, sudahlah ...." Bram menyesali kenapa dia masih saja tersulut
Sudah satu bulan Dhea berbaring di ICU dalam keadaan koma, awalnya Bram yang optimis sekarang harapannya juga semakin menipis. Bagaimana tidak, semakin hari pikirannya semakin kacau dan pemilih kesedihan. Bram juga tidak fokus mengurus perusahaan, semuanya dilimpahkan pada Fikri, Adi dan Arjuna. Sementara para rivalnya di intern perusahaan semakin gencar menggoyahkan namanya agar lengser dari perusahaan, Bram sendiri sepertinya sudah tidak peduli, sudah tidak ada ambisi untuk melakukan apa-apa, buat apa harta yang banyak sementara istrinya, sumber kebahagiaannya dalam keadaan yang tidak tentu seperti ini. Hanya doa dan air mata yang masih dilangitkan lelaki itu, satu-satunya harapan agar istrinya bisa bangun kembali, karena dia menyakini, mukjizat dan keajaiban Tuhan masih ada. Hari itu Arjuna datang berkunjung ke Batam, sengaja meluangkan waktu. Sebagai wakil Dirut, sebulan ini terpaksa dia mengambil alih semua kerja kakaknya, kesibukan yang semakin bertambah dan tak pernah ada wa
Setelah menjenguk baby Angga, kedua lelaki itu kembali ke ruang ICU, menunggu Dhea di ruang tunggu keluarga pasien yang disediakan rumah sakit dan disewa oleh Bram dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Mereka duduk di sofa panjang dengan secangkir kopi yang dipesan melalui gofood. "Jam berapa tiket pesawatmu?" tanya Bram. "Jam lima sore, ini baru jam dua belas, masih ada beberapa jam aku ada di sini." "Jam dua siang putraku akan pulang, apa kau akan mengantarnya?" "Tentu, jadi perawat yang tadi yang akan menjaga putramu?" "Iya, di sana juga ada pembantu dan supirnya yang akan menjaga putraku, juga ada beberapa pengawal yang ditempatkan di sana." Arjuna menatap pintu ruang ICU di mana Dhea dirawat, di sana ada dua orang pria berseragam safari yang tengah duduk dengan santai sembari memainkan ponsel. "Apa Dhea juga dijaga pengawal?" tanya Arjuna. "Aku hanya berjaga-jaga saja. Sayang sekali kediamannya belum dipasang cctv, jadi tidak tahu apa yang sebenarnya istriku a
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar