Pernyataan tegas Bram jelas melukai perasaan Ibrahim, sebagai ayah mertua yang menerima menantunya dengan baik dan seorang kakek yang sangat menyayangi cucunya jelas tersinggung dengan perkataan Bram, seolah-olah dia tidak bisa menjaga cucunya dengan baik. "Apa maksudmu dengan mempertaruhkan resiko? apa kamu menganggap ayah ini sebagai orang yang tidak becus menjaga cucu sendiri?" tanya Ibrahim dengan tatapan nyalang. Semua orang terdiam mendengar perseteruan yang baru dimulai tersebut, perhatian mereka sepenuhnya kepada kedua orang menantu dan mertua tersebut. "Ayah, putraku baru sembuh dari perawatan panjangnya, dengan susah payah untuk tumbuh dan berkembang. Bayi sekecil itu tidak butuh dirawat banyak orang, kehadiran orang banyak malah akan menggangu istirahatnya dan pasti akan membuatnya tidak nyaman, dia seorang bayi yang memiliki perasaan dan menginginkan kenyamanan, dia hanya butuh dirawat oleh satu orang selama dua puluh empat jam dan dibantu oleh seorang asisten, dia t
Sementara itu, Sovia dan Novita yang senagaja membawa mobil sendiri dari rumah dan alasan akan mampir ke mall untuk belanja, mengendarai mobil di belakang mobil yang dikendarai oleh Fathan "Ini beneran kita ikut mengantar anak bayi itu ke rumah Amel, Ma?" keluh Novita. "Ya, iya. Kita kan bilangnya mau ikut tadi di rumah sama papa kamu." "Itu kan kalau bayi itu akan tinggal di rumah kita? kenapa sih, rencana kita selalu saja gagal, Ma. Aku benar-benar sebal, kenapa Amel bisa mendapat suami yang begitu. Kita bahkan tidak bisa bergerak sama sekali, semua akses dia batasi bahkan awasi, bodyguard nya ada di mana-mana, mereka bahkan dibayar dengan mahal, mana mungkin kita bisa menyogok mereka," keluh Novita. "Iya, sepertinya suaminya itu sudah curiga dengan apa yang terjadi pada Amel. kita harus hati-hati, Nov. Jangan sampai jadi bumerang buat kita sendiri," jawab Sovia. "Sepertinya kita harus mengubah manuver, Nov." "Manuver seperti apa, Ma?" "Kau lihat pemuda yang bersama Br
"Apa ibumu memperlakukan kamu seperti itu?" tanya Arjuna akhirnya. "Aku memaklumi apa yang dilakukan ibuku, dia hanya kuatir jika kedudukannya akan tergeser di hati Papa. Apalagi ayah sangat menyayangi kak Amel, mama semakin tidak suka. Padahal Papa juga menyayangiku, tetapi bagi Mama itu belum cukup, Kak Amel adalah saingan berat untukku. Aku hanya bisa menuruti apa kata mama, aku tidak ingin mama sedih karena kehilangan dukungan dari putrinya sendiri," jawab Novita. "Yah, setidaknya kakakmu itu bersikap baik padamu, sangat berbeda denganku, dulu kak Bram dan kak Sania juga memusuhi aku, dia selalu berkata ketus padaku, Mama juga tidak mendukungku, bagi Mama, Kak Bram adalah saingan terberatnya juga, seperti halnya dirimu, aku juga memaklumi tindakan mama, dia berbuat begitu demi diriku, tetapi di hatiku tidak ada rasa benci pada saudara-saudaraku itu, hingga mama meninggal, jarak antara aku, kak Bram dan kak Sania tidak ada lagi." Sovia tersenyum penuh misteri melihat kedekatan
Adi menatap Niko yang kini matanya sudah terpejam, perjalanan yang singkat ini tidak bisa membuatnya tidur, apalagi Niko sudah mengungkit-ungkit masa lalunya, membuatnya semakin teringat pada gadis itu, gadis dengan senyum manis seperti kelopak mawar merah. Dulu Adi adalah seorang tentara yang bertugas di satuan bukit barisan, saat itu terjadi bencana alam yang melanda daerah diujung sumatera. Dia dan berbagai relawan terjun langsung mengevakuasi para korban, hingga saat dia mencari korban yang terjepit sebuah perahu, tak disangka, perahu yang kaca jendelanya telah retak itu menimpanya sehingga membuat tangannya terluka cukup parah. Adi melihat tangan kanannya yang memiliki bekas luka jahitan, luka itu dulu cukup dalam, tetapi saat proses menjahit, dia tidak merasakan sakit, karena dia melihat dia untuk pertama kalinya. Dia perempuan muda yang sangat cantik, seragam putihnya membuatnya seperti bidadari tak bersayap, kulit putihnya bahkan menjadikan dia tidak pantas berada di daerah
Di rumah tepi pantai, suasana begitu ramai. Bram langsung memasuki kamar bawah yang sudah di desain sebagai kamar bayi jauh-jauh hari sebelum baby Angga pulang. Kamar dicat dengan warna biru muda dengan ranjang bayi dan lemari kayu kecil yang juga berwarna biru. Di sebelah ranjang bayi terdapat ranjang ukuran satu orang yang akan ditempati oleh pengasuh bayinya. Bram mengatur suasana kamar dan membuka jendela, sementara suster Naima menidurkan baby Angga dengan perlahan. "Selama merawat Angga, suster Naima tidur di kamar ini. Saya akan menghabiskan waktu sebagian besar di rumah sakit, jadi jika ada apa-apa segera hubungi saya." "Baik, Pak." "Tugas suster hanya menjaga Angga dan memastikan tumbuh kembangnya berjalan dengan baik, untuk semua pekerjaan rumah akan diurus oleh Bik Siti, jika butuh sesuatu langsung bicara dengan Bik Siti." Setelah membicarakan tugas, Bram langsung keluar dari kamar baby Angga, di luar kamar, semua orang sudah menunggunya, menatapnya dengan wajah
Menjelang jam tiga sore, keluarga Ibrahim sudah kembali ke kediamannya masing-masing, hanya saja Arjuna dan Novita pergi jalan-jalan mengitari kota Batam, selagi masih di Batam, dengan senang hati Novita mengajak pemuda itu untuk berjalan-jalan. Bram hanya mengingatkan jika penerbangan Arjuna pukul lima sore, jadi sebelum pukul empat mereka sudah harus kembali. Sedangkan Sovia jelas malas berlama-lama di rumah anak tirinya. Hanya Fathan yang masih betah berada di rumah Bram, lelaki itu sempat tidur siang di kamar atas, kamar yang dulu sering ditempatinya. Ketika Bram sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit, di depan rumah ternyata berhenti taksi yang membawa tiga lelaki ke rumah ini. Bram menatap taksi tersebut dengan seksama, ketika melihat Adi turun dari sana, dia cukup tersenyum lega. Namun senyumnya kembali memudar mana kala Niko dan Fikri juga ikut turun . "Kenapa kalian pada ke sini semua? jika kalian ke sini, siapa yang mengurus perusahaan di jakarta, hah?" ujar Bram
Semua orang di sana menatap wanita yang baru datang itu, tetapi ada satu orang yang melebarkan matanya lantaran saking terkejutnya melihat sosok perempuan itu. "NAIMA?!" Kini perhatian semua orang teralih pada lelaki di sebelah mereka, semua memperhatikan bagaimana lelaki itu tampak begitu terkejut, pandangan juga bolak-balik beralih pada Naima dan juga Adi, reaksi si wanita juga sama. "Bang Adi?" suara Naima tampak bergetar dengan suara pelan. Tidak ada lagi kata setelah mereka memanggil nama masing-masing, mereka berdua hanya pandang-pandangan saja. Sebenarnya ada banyak kata yang akan dikatakan oleh Adi, tetapi dia sendiri tidak tahu harus memulai dari mana, begitu juga Naima, wanita itu justru lebih banyak lagi yang akan dia sampaikan dan ceritakan, hanya saja karena lamanya waktu berlalu, dia juga tidak tahu harus memulai dari mana. "Eit, tunggu-tunggu! Pak Adi kenal dengan mbak perawat ini?" Akhirnya suara Niko yang dari tadi menahan rasa penasaran tidak bisa ditahan le
Naima duduk di bangku taman menghadap ke laut lepas. Walaupun masih berada di sekitar tiga ratus meteran dari halaman ini, tampak lautan luas itu terasa begitu dekat. "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Adi dengan tatapan menghujam ke arah wanita di hadapannya. Naima menyeruput kopi buatan Bik Siti, memang setiap pagi dan sore Bik Siti selalu membuatkan kopi dan kudapan untuknya, sementara tugasnya hanya menjaga baby Angga. "Baru tadi pagi, saat bayi Angga di bawa pulang ke rumah ini." "Maksudku, sudah berapa lama kamu di kota ini, Naima?" "Oh? sudah sekitar empat tahun yang lalu. Aku ikut tes PNS di provinsi kepri dan ditempatkan di kota ini." Sudah empat tahun? sudah selama itu sebenarnya. Dan Adi sudah sering bolak balik ke kota Batam ini, tetapi Allah tidak mentakdirkan mereka bertemu. "Bang Adi, Bang Adi apa kabar selama ini?" Naima bertanya dengan suara bergetar, dia yang dari tadi menghindari menatap Adi secara langsung kini memberanikan diri. "Yah ... beginilah
Menjelang waktu yang direncanakan, para anggota organisasi Gir sudah berdatangan ke Indonesia memakai paspor turis, dengan penerbangan berbeda. mereka sudah memesan hotel yang sama dengan rekomendasi Adi melalui online. Sampai pukul satu delapan malam, semua sudah berdatangan. Adi sendiri menyewa aula diskotik untuk party umum yang pesertanya hanya diundang tamu-tamu hotel yang memiliki tiket masuk, dan mereka yang masuk hanya anggota Gir. Sehingga party ini tidak dicurigai sebagai pertemuan rahasia yang berpotensi membahayakan keamanan, karena party diadakan secara natural untuk menyambut turis asing. Adi tersenyum lega melihat orang-orang yang dulu menjadi rekan kerjanya, mereka berpelukan seperti layaknya teman sudah lama tidak bertemu. "Kami datang semua untuk mendukungmu, Di," ujar Michael dengan bahasa Inggris. Michael kini menjadi ketua organisasi, mantan tentara Amerika itu masih aktif di organisasi tersebut. "Aku juga membawa semua anggota baru, perkenalkan ...." Mich
Bram menghela napas berat, dibelainya rambut istrinya yang kusut karena lama hanya melakukan aktifitas berbaring. "Sayang, Abang akan secepatnya datang menjemputmu. Sekarang masih belum bisa, Abang hanya menjengukmu, kuatir dengan keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram dengan hati-hati. Dhea hanya diam menatap wajah suaminya dengan kecewa, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Apanya yang baik-baik saja? situasinya bahkan lebih kejam dari ketika dia dipenjara dulu. Rasa kangennya yang tidak tertahan pada putranya membuatnya sulit memejamkan matanya setiap malam. Perasaan ditinggalkan oleh suaminya mengikis rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit, sudah seminggu lebih, tetapi apakah Bram tidak bisa mengatasi masalah di perusahan? apakah pria di depannya ini sengaja memilih kekuasaan dan hartanya daripada dia? Dhea menggeleng pelan untuk menghilangkan prasangkanya. "Percayalah pada Abang, doakan Abang agar cepat membawa Dhea dari tempat ini. Abang sangat merindukan Dhea, b
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa
"Sakti?!" ujar Abimanyu yang melihat siapa yang mengetuk ruang pribadinya ini. "Selamat sore, Pak?" sapa Sakti yang melihat Abimanyu tengah bersantai duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu masih fokus dengan ponselnya. "Pak Bram memaksa untuk bertemu dengan anda, Pak." Mendengar perkataan Sakti, Abimanyu berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, spontan lelaki itu menatap Sakti dengan tatapan garang. "Bukankah sudah kukatakan? kalau dia tidak boleh menemui ku kalau tugasnya dalam menstabilkan harga saham sudah berhasil, ini apa? belum ada kemajuan apa-apa," ujar Abimanyu dengan marah. "Justru itu yang akan dikatakan dan didiskusikan oleh pak Bram kepada anda, Pak." "Tidak ada negosiasi apalagi diskusi. Usir dia dari sini. Kenapa kau bawa dia ke sini tanpa bilang padaku dulu, Ha? kamu ini terlalu lancang, Sakti!" Abimanyu bertambah marah mendengarnya. "Situasi di perusahaan terlalu rumit, Pak. Bapak tidak bisa membuat hal
Pulang kerja, seperti hari kemarin Bram dikawal oleh beberapa orang dan disupiri oleh supir baru yang juga tidak Bram kenal. Apalagi selama beberapa hari ini mereka juga tidak berinteraksi, Bram juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka. "Antarkan saya ke tempat Abimanyu!" perintah Bram. "Bukankah Pak Abimanyu mengatakan dengan jelas, Pak Bram boleh menemuinya jika pekerjaan pak Bram selesai. Ini belum ada apa-apanya jadi pak Bram tidak berhak bertemu pak Abimanyu," ujar supir itu dengan tegas. "Kamu itu hanya sekedar supir, jadi tidak perlu mendikte saya. Saya tidak akan menyelesaikan tugas dari Abimanyu. Terserah dia sekarang, saya juga sudah buntu! saya mana bisa bekerja sendiri, saya akan bilang sama dia untuk memberi saya tim." "Ingat, Pak. Bapak harus keluarkan semua potensi dan usaha. Karena taruhannya nyawa istri dan anak bapak." "Keluarkan potensi dan usaha apa? sementara saya tidak boleh menghubungi siapapun. Memangnya saya bisa menyulap dengan sendiri nilai sah
Mang Giman selalu membersihkan ruangan Bram pukul tujuh pagi sebelum semua karyawan datang ke kantor. Dia membersihkan ruangan Bram seperti biasa dan tidak mencurigakan, ketika dia sedang mengelap-elap meja dan merapikan dokumen diatas meja, dia segera meletakkan surat ber amplop putih itu di atas meja dekat kotak tissue. Lelaki itu menahan napas ketika melakukan itu semua, segera dia cepat-cepat keluar dan masuk toilet, di sana dia menghela napas sekuat-kuatnya, sangat ketakutan karena dia merasa gerak-geriknya dipantau dari jarak jauh oleh orang yang tidak diketahui siapa. Sungguh misterius dan menakutkan untuk orang awam seperti dia. Jam menunjukan pukul delapan pagi, semua karyawan sudah berdatangan dan sudah masuk ke ruangan kerja masing-masing. Bram sendiri datang sekitar jam setengah sembilan pagi. Ketika masuk ruangan, dia terus berkutat pada dokumen, sungguh tidak ada pegawai atau orang suruhan yang kompeten yang dia percaya sekarang. "Pak Bram, ini sudah seminggu, tetapi
Sudah tiga hari Bram bekerja mengurus perusahannya, tetapi tidak ada perubahan sama sekali pada peningkatan nilai saham. Abimanyu sendiri mengatakan jika semua pegawai dan kolega Bram sudah dimutasi bahkan sudah dipecat dari perusahaan. Bram sendiri yang terpaksa menandatangani surat pemecatan mereka, pasalnya Abimanyu mengancam tidak akan memberikan makanan apapun pada Dhea jika dia tidak mengikuti semua perintah lelaki itu. Bram memang masuk ke kantor tetapi tetap saja rasanya seperti dipenjara. Dia tidak bisa mengontak siapapun dan meminta bantuan siapapun. Semua pekerja yang ada di kantor ini diduduki oleh orang-orang baru atau orang lama memang sudah bersekongkol dengan Abimanyu. Bram duduk dengan frustasi dengan semua kondisi ini, bahkan Adi orang kanannya sekarang tidak tahu di mana. Abimanyu memberi batas sampai tiga Minggu untuk menstabilkan nilai saham dan melakukan peralihan pemilik perusahaan dalam waktu tiga bulan. Abimanyu juga tidak bisa terburu-buru agar apa yang t