Menjelang jam tiga sore, keluarga Ibrahim sudah kembali ke kediamannya masing-masing, hanya saja Arjuna dan Novita pergi jalan-jalan mengitari kota Batam, selagi masih di Batam, dengan senang hati Novita mengajak pemuda itu untuk berjalan-jalan. Bram hanya mengingatkan jika penerbangan Arjuna pukul lima sore, jadi sebelum pukul empat mereka sudah harus kembali. Sedangkan Sovia jelas malas berlama-lama di rumah anak tirinya. Hanya Fathan yang masih betah berada di rumah Bram, lelaki itu sempat tidur siang di kamar atas, kamar yang dulu sering ditempatinya. Ketika Bram sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit, di depan rumah ternyata berhenti taksi yang membawa tiga lelaki ke rumah ini. Bram menatap taksi tersebut dengan seksama, ketika melihat Adi turun dari sana, dia cukup tersenyum lega. Namun senyumnya kembali memudar mana kala Niko dan Fikri juga ikut turun . "Kenapa kalian pada ke sini semua? jika kalian ke sini, siapa yang mengurus perusahaan di jakarta, hah?" ujar Bram
Semua orang di sana menatap wanita yang baru datang itu, tetapi ada satu orang yang melebarkan matanya lantaran saking terkejutnya melihat sosok perempuan itu. "NAIMA?!" Kini perhatian semua orang teralih pada lelaki di sebelah mereka, semua memperhatikan bagaimana lelaki itu tampak begitu terkejut, pandangan juga bolak-balik beralih pada Naima dan juga Adi, reaksi si wanita juga sama. "Bang Adi?" suara Naima tampak bergetar dengan suara pelan. Tidak ada lagi kata setelah mereka memanggil nama masing-masing, mereka berdua hanya pandang-pandangan saja. Sebenarnya ada banyak kata yang akan dikatakan oleh Adi, tetapi dia sendiri tidak tahu harus memulai dari mana, begitu juga Naima, wanita itu justru lebih banyak lagi yang akan dia sampaikan dan ceritakan, hanya saja karena lamanya waktu berlalu, dia juga tidak tahu harus memulai dari mana. "Eit, tunggu-tunggu! Pak Adi kenal dengan mbak perawat ini?" Akhirnya suara Niko yang dari tadi menahan rasa penasaran tidak bisa ditahan le
Naima duduk di bangku taman menghadap ke laut lepas. Walaupun masih berada di sekitar tiga ratus meteran dari halaman ini, tampak lautan luas itu terasa begitu dekat. "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Adi dengan tatapan menghujam ke arah wanita di hadapannya. Naima menyeruput kopi buatan Bik Siti, memang setiap pagi dan sore Bik Siti selalu membuatkan kopi dan kudapan untuknya, sementara tugasnya hanya menjaga baby Angga. "Baru tadi pagi, saat bayi Angga di bawa pulang ke rumah ini." "Maksudku, sudah berapa lama kamu di kota ini, Naima?" "Oh? sudah sekitar empat tahun yang lalu. Aku ikut tes PNS di provinsi kepri dan ditempatkan di kota ini." Sudah empat tahun? sudah selama itu sebenarnya. Dan Adi sudah sering bolak balik ke kota Batam ini, tetapi Allah tidak mentakdirkan mereka bertemu. "Bang Adi, Bang Adi apa kabar selama ini?" Naima bertanya dengan suara bergetar, dia yang dari tadi menghindari menatap Adi secara langsung kini memberanikan diri. "Yah ... beginilah
"Nah, kebetulan itu. sepertinya Arjuna sudah pulang," jawab Bram. Niko dan Fikri bergegas menuju ke teras depan untuk menyambut Arjuna, saat Arjuna turun dari mobil, dia melihat dua orang itu sudah di sana, dengan senyuman lebar, namun saat pintu di sebelah dibuka dan turun seorang wanita muda, spontan saja senyum Niko menghilang? "Fikri, Niko? Kapan kalian ke sini?" tanya Arjuna dengan wajah biasa saja. "Tadi siang, Pak," jawab Fikri. "Kenapa kalian datang ke sini?" "Mau nyusul pak Juna, sekalian mau jenguk Dhea, Pak." "Kak Juna, Aku langsung pulang, ya?!" ujar Novita yang sudah membuka pintu kemudi. "Iya, Nov. Terima kasih," jawab Arjuna. "Novita! tidak mampir dulu?! sudah lupa dengan teman lama?" Semua orang terkejut mendengar Niko berkata demikian, Arjuna bahkan menyipitkan mata menatap Niko. "Kau kenal Novita?" tanya Arjuna. "Ya, teman seperjuangan waktu di Singapura dulu." Niko sengaja mengencangkan suaranya dengan senyum menyeringai. "Novita, Mampir du
Arjuna menatap Niko dengan tajam, jelas perkataan Niko ini memancing rasa penasaran. Bagaimanapun kebersamaan Arjuna yang hanya beberapa jam tadi dengan Novita cukup berkesan buat lelaki itu. Walaupun Novita tidak secantik dan semenarik Dhea, tetapi gadis itu bisa dikatakan oke. Mungkin karena Novita adalah adiknya Dhea, jadi membuat Arjuna juga menganggap Novita itu bisa jadi sebaik Dhea atau mendekati. Kedua lelaki itu masih berdiri di halaman saling berhadapan, Arjuna bahkan berkacak pinggang sementara Niko hanya mengeluarkan senyum seringai. "Aku sudah mengenal perempuan itu lima tahun yang lalu, saat aku kuliah di Singapura. Novita bahkan saat itu masih SMA. Aku mengenalnya di sebuah klub malam." Arjuna mengernyit mendengarkan Niko yang berhenti bercerita, lelaki di hadapannya menoleh ke arah di mana Novita pergi. "Aku pikir dia dulu adalah seorang wanita panggilan. Untuk masuk ke klub itu harus memiliki kartu anggota yang biayanya kartu keanggotaannya tidak sedikit. Aku
[Daddy David, can we meet, can't we?] Secepatnya Novita mengirim pesan pada seseorang yang bisa diandalkan. [of course, my darling. just come to my mansion whenever you want] Tak butuh waktu lama chat nya sudah mendapatkan balasan, Novita tersenyum sumringah, hanya Daddy David yang bisa dia andalkan. Keberadaan Niko sudah sangat mengganggu, dia harus secepatnya menyingkirkan lelaki itu. Dia kembali mencari nomor lain yang harus dia hubungi, bagaimanapun diusia muda ini, dia sudah memiliki ambisi besar untuk menguasai aset keluarganya. [aku akan ke Singapura. Secepatnya kau bereskan dia. Cari celah agar dia secepatnya pergi dari dunia ini] [Dia sudah tidak berdaya, tinggal menunggu ajal. Tidak perlu kita bertindak apapun] Balasan chat lawan itu benar-benar tidak membuat Novita puas, dia mendengus marah. [Aku belum puas kalau belum mendengar kabar kematiannya. Tidak akan ku transfer sisanya sebelum dia mati] [Baiklah, akan aku usahakan] [Bagus] Setelah itu, Novita
Apa yang dijanjikan Niko ditepati dengan cepat, tidak sampai dua hari setelah dia kembali ke jakarta bersama Arjuna dan Fikri, seorang ahli terapi saraf datang dari Jerman untuk menerapi Dhea. Sementara Adi tidak kembali ke jakarta, dia ijin untuk menyambangi anaknya di tanjung pinang bersama Naima, semntara baby Angga sementara diasuh oleh Bik Siti dan suaminya. Ahli terapi itu berkebangsaan China, tetapi sudah menetap di Jerman dan jadi warga kenegaraan Jerman, dari kakek neneknya sudah menetap di Jerman, tetapi dia tidak melupakan budaya leluhurnya sebagai bangsa Tiongkok, sehingga dia juga mengembangkan ilmu akupuntur dan herbal yang berasal dari budaya leluhurnya yang langsung diajarkan oleh kakeknya yang juga seorang dokter herbalis. Namanya adalah James Liu, dia sangat fasih berbahasa inggris, Jerman dan Mandarin. Sehingga seringnya berkomunikasi dengan Bram berbahasa inggris. James mengaku jika perusahaan ayahnya yang bergerak di bidang peralatan medis dulu pernah di r
Sesampainya di Batam, Adi langsung memberikan berkas untuk ditandatangi Bram, dia juga terburu-buru untuk pulang ke kediaman Lia karena sudah rindu dengan anak istrinya. keesokan harinya cuaca hujan lebat, ini sudah memasuki musim penghujan di bulan November, semalam baby Angga juga badannya sedikit demam. Bayi itu sudah berusia hampir dua bulan, jadi sangat rentan terhadap cuaca seperti ini. Seharian Naima hanya mengendong dan memeluknya, tidak memberikan bayi itu pada siapapun. Pagi ini Adi sungguh tidak tega, karena cuaca yang begitu buruk, putranya Azka juga tidak pergi ke sekolah. Adi langsung mengambil bayi di gendongan Naima agar istrinya itu mau beristirahat. "Memangnya Abang bisa?" "Abang tidak akan tahu bisa atau tidak kalau tidak mencoba. Kamu lekas sarapan, dari semalam kamu belum istirahat, sudah itu tidur. Biar Abang dan bik Siti yang mengasuh Angga. lagipula dia akan tertidur sebentar lagi." Akhirnya Naima menuruti perkataan suaminya. Ini pertama kalinya Angga
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar