Bram mencengkeram ponsel istrinya, sepertinya ada yang tidak beres. Apa ponsel Ini sudah dibajak? Hanya satu orang yang harus dia mintai tolong mengenai hal ini. Niko! tetapi bocah itu sekarang sedang ke Kanada untuk mengikuti kompetisi teknologi internasional mewakili Star teknologi. Jadi, dia harus menunggu beberapa hari ke depan hingga anak itu pulang. Akhirnya Bram hanya bisa pulang ke kediamannya. Beberapa direksi sudah menghubunginya, tetapi tidak ada satupun yang diangkat panggilannya. Biarlah ... Bram sudah mewanti-wanti Iptu Anwar untuk merahasiakan tentang kasus yang menimpa Dhea hingga menemukan titik terang. Tetapi hari itu, Adi benar-benar datang menemuinya dengan tergesa-gesa. "Pak Bram, para direksi sudah berkumpul di kantor, mereka sudah menunggu kehadiran anda, Pak." "Untuk apa?" "Sepertinya, mereka akan mengadakan pembahasan yang serius." "Apa kau tahu apa yang akan mereka bahas?" "Saya dapat bocoran dari orang dalam, jika para direksi itu sudah menget
"Benar, sekarang kita harus memilih siapa yang akan menggantikan kedudukan Anggara," ujar Hanafi menanggapi. "Menurut perhitungan, Pak Anggara memiliki saham sebesar 15%, ketika beliau wafat, saham itu akan dibagi kepada istrinya lima persen, putra bungsunya lima persen dan putri keduanya lima persen. Sementara Pak Sayuti memiliki empat persen saham, Pak Hanafi juga memiliki empat persen saham. Saham yang lain dimiliki oleh Siska Anastasya putri kedua bapak Hanafi sebesar dua persen, Ajisaka putra pertama bapak Sayuti sebesar tiga persen. Sementara Saham terbesar masih dimiliki oleh Pak Bramantyo sebesar tiga puluh persen. Sedang pemilik saham yang lain tidak lebih dari satu persen per individu. Jadi kandidat sebagai ketua komisaris kalau merujuk kepemilikan saham masih berada di keluarga inti keluarga Adiguna, Bu Nirmala, Pak Arjuna atau Nona Sania," ujar Pengacara perusahaan sebagai ahli hukum perusahaan yang dari awal sudah ditunjuk oleh kakek Hanggono memberi informasi tentang s
"APA?!" Bram menggeram kesal mendengar perkataan Sayuti. sudah dia prediksi hal seperti ini cepat atau lambat akan terjadi, namun ketika sudah tiba saatnya terjadi, hatinya belum juga sanggup menanggungnya. "Apa om pikir aku sudah gila? istriku sedang kesusahan, aku malah akan meninggalkannya? apa yang terjadi juga belum terbukti dia yang melakukannya!" "Bram! yang dibunuh itu ayahmu sendiri! apa sebegitu bencinya dirimu pada ayahmu, sehingga tidak peduli. Kamu malah mempedulikan pembunuh itu!" Nirmala yang hatinya sedang kacau jelas tidak terima mendnegar Bram membela istrinya. "Ini belum persidangan, kenapa kalian sudah mengecapnya bersalah?" "Aku tidak peduli, akan aku pastikan perempuan sialan itu akan membusuk di penjara!" Nirmala berteriak tidak terima. Bram duduk dengan tenggang, tangan lelaki itu mengepal kuat, sepertinya semua orang sedang memojokkannya akibat tuduhan kepada istrinya itu. Bram sudah menyewa pengacara, pengacara juga mengatakan sulit mengeluark
Walaupun berita tersebut sudah diblokir, mendatangi media tersebut dan menutup mulut mereka, Niko juga mengerahkan para hacker untuk memblok sosial media, namun berita itu bocor juga. Hal itu jelas membuat Bram panik, ada dua orang kali ini yang harus dijaga perasaannya, istrinya dan neneknya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Dhea jika tahu berita di luaran sana menyudutkannya. Mungkin di dalam sel penjara hidupnya juga tidak tenang, sementara neneknya yang terlihat begitu sayang padanya, juga sayang pada cicit menantunya itu bagaimana bisa menghadapi jika cicit menantunya itu yang telah membunuh anak kandungnya. Sementara itu, di hari pertama Dhea masuk ruang tahanan, di dalam ruangan sudah ada lima wanita yang juga masuk ke sana dalam rangka menunggu nasib mereka yang akan diputuskan oleh pengadilan. Dhea bukannya tidak tahu jika di rumah tahanan ataupun sel penjara adalah tempat berkumpulnya para kriminal, pasti tidak akan lepas dari kekerasan. Tetapi mendengar
"Jadi, siapa diantara kalian yang akan kuhabisi duluan? Membunuh orang sudah menjadi pekerjaanku. Aku adalah pembunuh bayaran! orang yang baru saja kubunuh adalah seorang petinggi sebuah perusahaan, orang kaya dan berpengaruh. Membunuh kalian bagiku itu sangat mudah, aku dulu pernah menjadi wanita militer yang ditugaskan di Papua! Sekarang, maju! siapa yang mau kubunuh terlebih dahulu!". "Ah, tidak! tidak!" Mereka berteriak ketakutan mana kala Dhea berdiri dan akan menghampiri mereka. Romlah bahkan gemetar ketakutan, wanita itu sampai bersujud meminta ampun. Diikuti yang lainnya. "Ampun, Nona. Maafkan kami, maafkan kami." "Kalau begitu, mulai dari sekarang, kalian jangan pernah mengganggu dan mengusik ketenanganku. Aku sedang banyak pikiran, jika banyak pikiran aku akan emosional, mudah marah dan mudah menghabisi orang." "Baik, Nona. Baik!" ***** Sudah tiga hari Dhea mendekam di dalam tahanan, perasaannya semakin gelisah. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana kabar di lua
Bram memang bertekad untuk menyerahkan semua saham dan juga jabatannya, hidup istrinya lebih penting. Harta dan jabatan bisa dicari lagi, seandainya dia butuh waktu lama untuk memulihkan kondisinya, dia tidak akan terlantar-terlantar amat karena saham lima persen sudah cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, dia juga sudah memiliki omset dan property yang cukup, rumah sudah punya, baik di jakarta ataupun di Palembang. Tetapi ketika di pulang dari menjenguk Dhea di tahanan, hatinya mulai bimbang mana kala mendengar kabar jika nenek Hartina dilarikan ke rumah sakit. Nenek dalam kondisi shock dan tidak sadarkan diri. Beberapa jam setelah nenek pingsan, diapun sadar kembali. "Nenek, bagaimana kondisimu?" tanya Bram dengan kuatir "Bram ... benarkah apa yang dikatakan Nirmala?" tanya nenek dengan suara lemah. "Apa yang dikatakan oleh wanita itu?" "Dia bilang, istrimu yang telah membunuh ayahmu, benarkah itu?" suara nenek bergetar, di usianya yang sudah tua ini, dia tidak san
Pagi itu Bram berangkat ke kantor, hari ini tenggat waktu yang diberikan oleh Sayuti untuknya mengambil keputusan. Ketika sampai di lobi, dia bertemu dengan Nirmala dan Siska. Kedua wanita itu masih bisa tersenyum dan berbicara dengan akrab, hal itu tentu saja sangat membuat Bram berang. "Nirmala! apa sebenarnya yang kau inginkan? kenapa kau mengusik nenekku?" Nirmala terkejut hingga tatapan matanya melebar, di hadapannya anak tirinya sudah menatapnya dengan tajam, tatapan yang bisa saja bisa membunuh jika itu adalah sebilah pedang. "Kau memanggil namaku saja? biar bagaimanapun aku ini ibu tirimu, tidak adakah rasa hormatmu pada orang yang lebih tua? setidaknya kau hormati ayahmu!" "Apa kedudukanmu minta dihormati? seorang perusak dan pelakor sepertimu masih butuh dihormati? sekarang kau menemui nenekku untuk mengadu domba istri dan nenekku, jangan salahkan semua orang karena tidak menghormatimu, karena kelakuanmu sendirilah yang membuat orang tidak akan pernah menghormatimu!"
Hingga di ruang rapat tinggal tersisa keluarga Sayuti, Hanafi dan Nirmala. sementara Arjuna sudah sudah pergi entah kemana. "Tidak aku sangka ternyata hanya segitu rasa cinta Bram pada istrinya?" gumam Sayuti. "Sebaiknya kita tidak membicarakan hal seperti ini di sini, di sini dinding saja mempunyai telinga. Ayo kita ke rumahku saja," ujar Hanafi langsung bangkit dari tempat itu. Mereka bergegas memakai mobil sendiri-sendiri menuju sebuah vila milik Hanafi. Di rumah itu, hanya Hanafi, Sayuti dan Nirmala yang bertemu. Sementara anak-anak mereka kembali bekerja ke kantornya masing-masing. Sayuti dan Hanafi bahkan tidak membawa istrinya masing-masing. Sepertinya pertemuan ini memang menjadi pertemuan rahasia mereka. "Sebenarnya aku tidak percaya kalau istri Bram itu membunuh Mas Anggara. Dipikir seperti apapun itu tidak masuk akal," ujar Nirmala yang duduk di tepi kolam renang sambil menyesap teh hijau dari Tiongkok "Menurutmu siapa yang membunuh Anggara? Aku sudah bertemu de
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m