"Mbak Dhea hamil?" ujar Neneng dengan wajah pias Mereka juga tidak bisa menerka apa yang akan terjadi, kecemasan jelas tergambar di wajah masing-masing. Memikirkan nasib diri sendiri saja mereka tidak mampu, karena akan ada serangkaian sidang yang menunggu untuk menentukan nasib mereka selanjutnya. Mereka tidak bisa membayangkan, beberapa bulan ke depan ada seorang bayi yang akan lahir di penjara, bagaimana Dhea akan memberitahu anaknya jika anak itu lahir dipenjara? sebuah tempat yang sangat tidak dijauhi semua orang apalagi untuk menetap di dalamnya. Huuft ... Dhea menghela napas panjang, dengan pelan dia seka air mata pipinya. Wanita itu menyunggingkan senyum miris, berusaha tegar dengan apa yang dialaminya sekarang. "Ini belum tentu positif, tetapi aku memang sudah telat tiga bulan. Kalau mau lebih akurat ya, dites pakai testpack," ujar Dhea berusaha tersenyum. "Aku akan meminta Bu Poppy untuk membelikan testpack, Mbak. Sebentar, ya ...." Neneng langsung berlari dan mem
Pagi ini Dhea tidak semangat sama sekali. Dia hanya meminum segelas teh manis yang dibuatkan Bu Poppy, Dhea memikirkan bagaimana dia tiga bulan ini berlaku, kemarin lusa dia bahkan menghajar pembunuh mertuanya hingga babak belur, untung saja kandungannya kuat, kalau tidak, entah bagaimana nasib anak dalam kandungannya ini. Bu Poppy hanya memprediksi kehamilan Dhea berdasarkan berhentinya masa menstruasi. Karena fasilitas kesehatan di rumah tahanan ini tentu saja tidak selengkap di rumah sakit atau dokter praktek. Harusnya masa-masa seperti ini menjadi momen bahagia buatnya. Dia akan mendatangi klinik Sania sambil berteriak jika dia hamil. Dia akan memeriksa kandungannya sepuas hatinya di sana. "Dhea Anisa Putri! Ada yang ingin bertemu denganmu!" suara penjaga yang tegas itu memanggilnya. "Mbak Dhea, ada yang datang. Siapa tahu suami mbak. Kasih tahu saja berita kehamilan mbak, agar dia berusaha lebih keras untuk mengeluarkan mbak dari penjara," ujar Neneng yang di iyakan oleh se
Kedatangan Arjuna memang benar memukul mental Dhea hingga tak bersisa. Sejak kedatangan Arjuna, Dhea hanya bisa menangis dan berwajah murung. Teman-temannya bahkan sudah kehabisan cara untuk membujuknya. Ketika ditanya siapa yang datang pun, Dhea tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya dia berada di dunianya sendiri. "Mbak Dhea, minum susu kurma ini, pikirkan kondisi bayi dalam kandungan mbak, jika dia kekurangan gizi di dalam kandungan, akibatnya akan fatal sekali,"bujuk Poppy dengan bahasa yang lemah lembut. Disinggung tentang bayinya, Dhea baru merespon. Wanita itu menoleh dan melihat segelas susu kurma yang disiapkan oleh perawat Poppy. Wajah perawat Poppy yang tersenyum tulus, membuatnya terbujuk untuk meminumnya. "Nah, habiskan ya ... Sudah ini minum obat mual dan vitaminnya," bujuk Poppy lagi Melihat Dhea Menghabiskan susu kurma itu, membuat teman-temannya tersenyum lega. Mereka kembali menyemangati Dhea. "Susu kurma bagus, sudah memiliki gizi lengkap. Dulu waktu aku
"San, aku hamil ...." "What?" Sania benar-benar terkejut mendengar kabar tersebut. Spontan gadis itu memegang tangan dan mencari denyut nadi Dhea. "Ya, Tuhan ....." Sebagai dokter kandungan tentu Sania sudah dibekali mendeteksi kehamilan dan mempelajari ciri-ciri fisik wanita hamil. Sania menduga wajah pucat Dhea, lantaran tertekan oleh kasus yang tengah menjeratnya, ternyata lebih dari itu. Ada keponakan yang kini bersemayam ditubuh kakak iparnya, tetapi kenapa saat Dhea mengahadapi ujian sebesar ini? Tanpa disadari Sania sudah menitikkan air mata, ternyata sekeras kepalanya gadis itu masih ada sisi-sisi sensitif di dalam dirinya. "Bagaimana ini? Kondisimu sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana ini?" tanya gadis itu dengan cemas. "Aku baik-baik saja, kau tidak usah kuatir." "Apanya yang baik-baik saja!" bentak Sania tanpa sadar. "Aku harus memberitahu kak Bram, aku__" "Sania, Please! Dengarkan aku!" Dhea segera memotong ucapan sania dan mencegah gadis itu
Setelah mendapat telpon dari Dhea, tidak menunggu waktu lagi, Fathan langsung terbang menuju Jakarta. Ketika memberitahu pada ayahnya, lelaki paruh baya itu juga akan. menyusulnya dalam waktu dekat. Kabar dari Dhea cukup menampar lelaki itu. Baginya, kesakitan yang dialami Dhea juga merupakan kesaktiannya sendiri. Sementara itu, sehari setelah kedatangan Sania, Dhea kembali kedatangan pengunjung. Ketika dia menemui siapa yang datang berkunjung, seorang pria berbadan tinggi dengan kulit sawo matang dan dandanan yang klimis, sudah menunggunya di ruangan khusus, tempat yang sama ketika dia menemui Sania. "Bu Dhea ...," sapa lelaki itu. "Pak Adi? Anda datang?" "Benar, Bu. Ini saya membawakan sekotak pizza, ada cake, juga martabak manis," ujar Adi sambil mengulurkan tiga kotak dari kardus. "Terima kasih, Pak." "Bu Dhea bagaimana kabarnya? Bu Dhea wajahnya nampak pucat, apakah ibu sakit?" tanya Adi dengan hati-hati "Siapa yang tidak akan sakit jika masuk ke tempat ini, P
Setelah Adi pergi, Dhea dipindahkan dari rumah tahanan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita. Kepergiannya diiringi kesedihan oleh teman-teman satu selnya. Mereka bahkan banyak sekali berpesan pada wanita itu. "Mbak Dhea, jaga diri mbak baik-baik. Jaga kandungan mbak. Jangan putus asa ya, mbak," ujar Neneng "Iya, Mbak. Mbak Dhea harus banyak makan, agar kuat dan tegar. Di LP itu lebih berat ujiannya, di sana banyak yang lebih jahat dari kami," ujar Romlah. Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan teman-temannya. Wajahnya yang masih pucat dan tubuhnya yang masih lemas memang membuatnya kuatir untuk bertahan di tempat baru apabila di sana banyak perempuan yang suka membully. "Mbak Dhea kan belum disidang, juga belum ada keputusan bersalah, kenapa sudah langsung masuk LP? apa perkara mbak Dhea tidak melalui sidang tapi sudah langsung diputus bersalah?" tanya Ria dengan heran. Pertanyaan Ria benar-benar menohok perasaannya. Sepanjang jalan dia selalu berpikir, apa iya apa yan
Walaupun ternyata bukan suaminya yang datang, tetapi Dhea tidak kecewa dengan kedatangan lelaki itu. Bahkan mereka bertemu di ruang khusus VIP. Fathan yang melihat Dhea memakai pakaian tahanan, tidak bisa ditutupi tatapan kesedihan dari matanya. "Kak Fathan ...," panggil Dhea dengan suara lemah. "Dhea? Dhea ...." Hanya nama Dhea yang bisa lelaki itu sebut berulang kali. Tanpa bisa ditahan lagi, lelaki itu memeluk Dhea dengan erat. Baru dua bulan tidak bertemu, tetapi adik kesayangannya ini sudah bernasib seperti ini. Fathan sudah pernah kehilangan adik kandungnya dahulu, mana mungkin dia mau kehilangan lagi. Tak terasa air mata mengalirkan dari kedua netranya. Dhea yang menyadari hal itu juga menangis dengan terisak-isak. "Bagaimana kamu baru menghubungi Kakak, Dhea. Padahal kamu sudah lama di penjara. Apa kamu tidak menganggap keberadaan Kakak lagi?" "Maaf, Kak. Maaf ...." "Kakak sudah mendengar semua cerita tentangmu dan mencari info tentang apa yang terjadi padamu. Kamu haru
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga sampai empat bulan Dhea berada di lembaga pemasyarakatan ini. Setiap hari, setiap saat sebenarnya dia hanya menunggu Bram untuk menjenguknya, dia ingin sekali mendengar alasan Bram menceraikannya. Mungkin Dhea sudah tahu alasannya apa, tetapi dia ingin mendengar langsung dari mulut suaminya, bukan .... mungkin sekarang sudah menjadi mantan suaminya. Tetapi yang ditunggu sampai saat ini tidak kunjung datang, apa dia benar-benar sudah melupakan aku? hati Dhea benar-benar miris memikirkannya. Saat ini kandungan Dhea juga sudah masuk tujuh bulan, gerakannya mulai lambat. Ketiga teman satu selnya selalu membantunya melakukan sesuatu. Dhea bahkan rajin mengikuti kajian dari ustazah Fatma bersama Melda. "Masyaallah, Mbak Dhea .... kandungannya sudah semakin besar, semoga sehat bayi dan ibunya, ya?" "Terima kasih, Ustazah. Mohon doanya supaya lancar ketika melahirkan nanti." "Itu pasti, Mbak Dhea. Semoga lancar ...." Dhea cukup
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m