Pagi ini Dhea tidak semangat sama sekali. Dia hanya meminum segelas teh manis yang dibuatkan Bu Poppy, Dhea memikirkan bagaimana dia tiga bulan ini berlaku, kemarin lusa dia bahkan menghajar pembunuh mertuanya hingga babak belur, untung saja kandungannya kuat, kalau tidak, entah bagaimana nasib anak dalam kandungannya ini. Bu Poppy hanya memprediksi kehamilan Dhea berdasarkan berhentinya masa menstruasi. Karena fasilitas kesehatan di rumah tahanan ini tentu saja tidak selengkap di rumah sakit atau dokter praktek. Harusnya masa-masa seperti ini menjadi momen bahagia buatnya. Dia akan mendatangi klinik Sania sambil berteriak jika dia hamil. Dia akan memeriksa kandungannya sepuas hatinya di sana. "Dhea Anisa Putri! Ada yang ingin bertemu denganmu!" suara penjaga yang tegas itu memanggilnya. "Mbak Dhea, ada yang datang. Siapa tahu suami mbak. Kasih tahu saja berita kehamilan mbak, agar dia berusaha lebih keras untuk mengeluarkan mbak dari penjara," ujar Neneng yang di iyakan oleh se
Kedatangan Arjuna memang benar memukul mental Dhea hingga tak bersisa. Sejak kedatangan Arjuna, Dhea hanya bisa menangis dan berwajah murung. Teman-temannya bahkan sudah kehabisan cara untuk membujuknya. Ketika ditanya siapa yang datang pun, Dhea tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya dia berada di dunianya sendiri. "Mbak Dhea, minum susu kurma ini, pikirkan kondisi bayi dalam kandungan mbak, jika dia kekurangan gizi di dalam kandungan, akibatnya akan fatal sekali,"bujuk Poppy dengan bahasa yang lemah lembut. Disinggung tentang bayinya, Dhea baru merespon. Wanita itu menoleh dan melihat segelas susu kurma yang disiapkan oleh perawat Poppy. Wajah perawat Poppy yang tersenyum tulus, membuatnya terbujuk untuk meminumnya. "Nah, habiskan ya ... Sudah ini minum obat mual dan vitaminnya," bujuk Poppy lagi Melihat Dhea Menghabiskan susu kurma itu, membuat teman-temannya tersenyum lega. Mereka kembali menyemangati Dhea. "Susu kurma bagus, sudah memiliki gizi lengkap. Dulu waktu aku
"San, aku hamil ...." "What?" Sania benar-benar terkejut mendengar kabar tersebut. Spontan gadis itu memegang tangan dan mencari denyut nadi Dhea. "Ya, Tuhan ....." Sebagai dokter kandungan tentu Sania sudah dibekali mendeteksi kehamilan dan mempelajari ciri-ciri fisik wanita hamil. Sania menduga wajah pucat Dhea, lantaran tertekan oleh kasus yang tengah menjeratnya, ternyata lebih dari itu. Ada keponakan yang kini bersemayam ditubuh kakak iparnya, tetapi kenapa saat Dhea mengahadapi ujian sebesar ini? Tanpa disadari Sania sudah menitikkan air mata, ternyata sekeras kepalanya gadis itu masih ada sisi-sisi sensitif di dalam dirinya. "Bagaimana ini? Kondisimu sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana ini?" tanya gadis itu dengan cemas. "Aku baik-baik saja, kau tidak usah kuatir." "Apanya yang baik-baik saja!" bentak Sania tanpa sadar. "Aku harus memberitahu kak Bram, aku__" "Sania, Please! Dengarkan aku!" Dhea segera memotong ucapan sania dan mencegah gadis itu
Setelah mendapat telpon dari Dhea, tidak menunggu waktu lagi, Fathan langsung terbang menuju Jakarta. Ketika memberitahu pada ayahnya, lelaki paruh baya itu juga akan. menyusulnya dalam waktu dekat. Kabar dari Dhea cukup menampar lelaki itu. Baginya, kesakitan yang dialami Dhea juga merupakan kesaktiannya sendiri. Sementara itu, sehari setelah kedatangan Sania, Dhea kembali kedatangan pengunjung. Ketika dia menemui siapa yang datang berkunjung, seorang pria berbadan tinggi dengan kulit sawo matang dan dandanan yang klimis, sudah menunggunya di ruangan khusus, tempat yang sama ketika dia menemui Sania. "Bu Dhea ...," sapa lelaki itu. "Pak Adi? Anda datang?" "Benar, Bu. Ini saya membawakan sekotak pizza, ada cake, juga martabak manis," ujar Adi sambil mengulurkan tiga kotak dari kardus. "Terima kasih, Pak." "Bu Dhea bagaimana kabarnya? Bu Dhea wajahnya nampak pucat, apakah ibu sakit?" tanya Adi dengan hati-hati "Siapa yang tidak akan sakit jika masuk ke tempat ini, P
Setelah Adi pergi, Dhea dipindahkan dari rumah tahanan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita. Kepergiannya diiringi kesedihan oleh teman-teman satu selnya. Mereka bahkan banyak sekali berpesan pada wanita itu. "Mbak Dhea, jaga diri mbak baik-baik. Jaga kandungan mbak. Jangan putus asa ya, mbak," ujar Neneng "Iya, Mbak. Mbak Dhea harus banyak makan, agar kuat dan tegar. Di LP itu lebih berat ujiannya, di sana banyak yang lebih jahat dari kami," ujar Romlah. Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan teman-temannya. Wajahnya yang masih pucat dan tubuhnya yang masih lemas memang membuatnya kuatir untuk bertahan di tempat baru apabila di sana banyak perempuan yang suka membully. "Mbak Dhea kan belum disidang, juga belum ada keputusan bersalah, kenapa sudah langsung masuk LP? apa perkara mbak Dhea tidak melalui sidang tapi sudah langsung diputus bersalah?" tanya Ria dengan heran. Pertanyaan Ria benar-benar menohok perasaannya. Sepanjang jalan dia selalu berpikir, apa iya apa yan
Walaupun ternyata bukan suaminya yang datang, tetapi Dhea tidak kecewa dengan kedatangan lelaki itu. Bahkan mereka bertemu di ruang khusus VIP. Fathan yang melihat Dhea memakai pakaian tahanan, tidak bisa ditutupi tatapan kesedihan dari matanya. "Kak Fathan ...," panggil Dhea dengan suara lemah. "Dhea? Dhea ...." Hanya nama Dhea yang bisa lelaki itu sebut berulang kali. Tanpa bisa ditahan lagi, lelaki itu memeluk Dhea dengan erat. Baru dua bulan tidak bertemu, tetapi adik kesayangannya ini sudah bernasib seperti ini. Fathan sudah pernah kehilangan adik kandungnya dahulu, mana mungkin dia mau kehilangan lagi. Tak terasa air mata mengalirkan dari kedua netranya. Dhea yang menyadari hal itu juga menangis dengan terisak-isak. "Bagaimana kamu baru menghubungi Kakak, Dhea. Padahal kamu sudah lama di penjara. Apa kamu tidak menganggap keberadaan Kakak lagi?" "Maaf, Kak. Maaf ...." "Kakak sudah mendengar semua cerita tentangmu dan mencari info tentang apa yang terjadi padamu. Kamu haru
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga sampai empat bulan Dhea berada di lembaga pemasyarakatan ini. Setiap hari, setiap saat sebenarnya dia hanya menunggu Bram untuk menjenguknya, dia ingin sekali mendengar alasan Bram menceraikannya. Mungkin Dhea sudah tahu alasannya apa, tetapi dia ingin mendengar langsung dari mulut suaminya, bukan .... mungkin sekarang sudah menjadi mantan suaminya. Tetapi yang ditunggu sampai saat ini tidak kunjung datang, apa dia benar-benar sudah melupakan aku? hati Dhea benar-benar miris memikirkannya. Saat ini kandungan Dhea juga sudah masuk tujuh bulan, gerakannya mulai lambat. Ketiga teman satu selnya selalu membantunya melakukan sesuatu. Dhea bahkan rajin mengikuti kajian dari ustazah Fatma bersama Melda. "Masyaallah, Mbak Dhea .... kandungannya sudah semakin besar, semoga sehat bayi dan ibunya, ya?" "Terima kasih, Ustazah. Mohon doanya supaya lancar ketika melahirkan nanti." "Itu pasti, Mbak Dhea. Semoga lancar ...." Dhea cukup
Kedatangan Fathan jelas untuk membawa Dhea dari tempat itu, namun Dhea juga merasa berat meninggalkan teman-temannya. Ketika dia mengatakan akan keluar dari sana, teman-teman merasa gembira bercampur sedih. Mereka sudah terbiasa dengan Dhea, wanita cantik yang selalu bersikap baik dan gambaran seorang putri real yang teraniaya. "Nanti kalau kalian keluar dari penjara, segera cari aku. Setelah keluar, aku bertekad untuk membuka usaha dan kalian akan aku terima berkerja di sana walaupun tidak melamar." "Dhea, aku sangat bersyukur. Aku akan berkelakuan baik di sini agar cepat dikurangi hukumannya." Hal yang sama juga dia pesankan pada teman-temannya di tahanan dulu, melihat para wanita malang itu, Dhea semakin semangat untuk mengembangkan diri dan menampung pekerja dari kalangan mereka. Setelah mereka keluar dengan status mantan napi, pasti akan kesulitan mencari penghidupan setelahnya. Ketika keluar dari lembaga pemasyarakatan, Di halaman LP tersebut ternyata sudah menunggu Ling
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar