Setelah mendapat telpon dari Dhea, tidak menunggu waktu lagi, Fathan langsung terbang menuju Jakarta. Ketika memberitahu pada ayahnya, lelaki paruh baya itu juga akan. menyusulnya dalam waktu dekat. Kabar dari Dhea cukup menampar lelaki itu. Baginya, kesakitan yang dialami Dhea juga merupakan kesaktiannya sendiri. Sementara itu, sehari setelah kedatangan Sania, Dhea kembali kedatangan pengunjung. Ketika dia menemui siapa yang datang berkunjung, seorang pria berbadan tinggi dengan kulit sawo matang dan dandanan yang klimis, sudah menunggunya di ruangan khusus, tempat yang sama ketika dia menemui Sania. "Bu Dhea ...," sapa lelaki itu. "Pak Adi? Anda datang?" "Benar, Bu. Ini saya membawakan sekotak pizza, ada cake, juga martabak manis," ujar Adi sambil mengulurkan tiga kotak dari kardus. "Terima kasih, Pak." "Bu Dhea bagaimana kabarnya? Bu Dhea wajahnya nampak pucat, apakah ibu sakit?" tanya Adi dengan hati-hati "Siapa yang tidak akan sakit jika masuk ke tempat ini, P
Setelah Adi pergi, Dhea dipindahkan dari rumah tahanan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita. Kepergiannya diiringi kesedihan oleh teman-teman satu selnya. Mereka bahkan banyak sekali berpesan pada wanita itu. "Mbak Dhea, jaga diri mbak baik-baik. Jaga kandungan mbak. Jangan putus asa ya, mbak," ujar Neneng "Iya, Mbak. Mbak Dhea harus banyak makan, agar kuat dan tegar. Di LP itu lebih berat ujiannya, di sana banyak yang lebih jahat dari kami," ujar Romlah. Dhea hanya tersenyum menanggapi perkataan teman-temannya. Wajahnya yang masih pucat dan tubuhnya yang masih lemas memang membuatnya kuatir untuk bertahan di tempat baru apabila di sana banyak perempuan yang suka membully. "Mbak Dhea kan belum disidang, juga belum ada keputusan bersalah, kenapa sudah langsung masuk LP? apa perkara mbak Dhea tidak melalui sidang tapi sudah langsung diputus bersalah?" tanya Ria dengan heran. Pertanyaan Ria benar-benar menohok perasaannya. Sepanjang jalan dia selalu berpikir, apa iya apa yan
Walaupun ternyata bukan suaminya yang datang, tetapi Dhea tidak kecewa dengan kedatangan lelaki itu. Bahkan mereka bertemu di ruang khusus VIP. Fathan yang melihat Dhea memakai pakaian tahanan, tidak bisa ditutupi tatapan kesedihan dari matanya. "Kak Fathan ...," panggil Dhea dengan suara lemah. "Dhea? Dhea ...." Hanya nama Dhea yang bisa lelaki itu sebut berulang kali. Tanpa bisa ditahan lagi, lelaki itu memeluk Dhea dengan erat. Baru dua bulan tidak bertemu, tetapi adik kesayangannya ini sudah bernasib seperti ini. Fathan sudah pernah kehilangan adik kandungnya dahulu, mana mungkin dia mau kehilangan lagi. Tak terasa air mata mengalirkan dari kedua netranya. Dhea yang menyadari hal itu juga menangis dengan terisak-isak. "Bagaimana kamu baru menghubungi Kakak, Dhea. Padahal kamu sudah lama di penjara. Apa kamu tidak menganggap keberadaan Kakak lagi?" "Maaf, Kak. Maaf ...." "Kakak sudah mendengar semua cerita tentangmu dan mencari info tentang apa yang terjadi padamu. Kamu haru
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga sampai empat bulan Dhea berada di lembaga pemasyarakatan ini. Setiap hari, setiap saat sebenarnya dia hanya menunggu Bram untuk menjenguknya, dia ingin sekali mendengar alasan Bram menceraikannya. Mungkin Dhea sudah tahu alasannya apa, tetapi dia ingin mendengar langsung dari mulut suaminya, bukan .... mungkin sekarang sudah menjadi mantan suaminya. Tetapi yang ditunggu sampai saat ini tidak kunjung datang, apa dia benar-benar sudah melupakan aku? hati Dhea benar-benar miris memikirkannya. Saat ini kandungan Dhea juga sudah masuk tujuh bulan, gerakannya mulai lambat. Ketiga teman satu selnya selalu membantunya melakukan sesuatu. Dhea bahkan rajin mengikuti kajian dari ustazah Fatma bersama Melda. "Masyaallah, Mbak Dhea .... kandungannya sudah semakin besar, semoga sehat bayi dan ibunya, ya?" "Terima kasih, Ustazah. Mohon doanya supaya lancar ketika melahirkan nanti." "Itu pasti, Mbak Dhea. Semoga lancar ...." Dhea cukup
Kedatangan Fathan jelas untuk membawa Dhea dari tempat itu, namun Dhea juga merasa berat meninggalkan teman-temannya. Ketika dia mengatakan akan keluar dari sana, teman-teman merasa gembira bercampur sedih. Mereka sudah terbiasa dengan Dhea, wanita cantik yang selalu bersikap baik dan gambaran seorang putri real yang teraniaya. "Nanti kalau kalian keluar dari penjara, segera cari aku. Setelah keluar, aku bertekad untuk membuka usaha dan kalian akan aku terima berkerja di sana walaupun tidak melamar." "Dhea, aku sangat bersyukur. Aku akan berkelakuan baik di sini agar cepat dikurangi hukumannya." Hal yang sama juga dia pesankan pada teman-temannya di tahanan dulu, melihat para wanita malang itu, Dhea semakin semangat untuk mengembangkan diri dan menampung pekerja dari kalangan mereka. Setelah mereka keluar dengan status mantan napi, pasti akan kesulitan mencari penghidupan setelahnya. Ketika keluar dari lembaga pemasyarakatan, Di halaman LP tersebut ternyata sudah menunggu Ling
Setelah makan siang, Dhea bahkan diantar sendiri oleh Ibrahim menuju kamarnya. Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak akan melepaskan Dhea sedetikpun. Dhea yang kesusahan menaiki tangga karena perutnya yang sudah besar dengan sabar dan telaten di papah oleh Ibrahim hingga sampai ke pintu kamarnya. Ketika memasuki kamar, Dhea merasa telah familiar dengan kondisi kamar yang benar-benar bernuansa remaja. Cat kamar yang didominasi warna pink dusty, tirai bergambar hello Kitty, bahkan sprei-nya juga hello Kitty. benar-benar kamar anak gadis remaja yang didominasi warna pink. Setiap ornamen di kamar itu juga didominasi oleh barang-barang lucu dan imut khas remaja. Ada boneka Teddy bear berwarna coklat muda yang memiliki warna berbeda diatas tempat tidur. "Kamar ini masih kamar yang sama, ayah tidak pernah memindahkan satu barangpun dari sini. Sejak kepergian mu, tidak ada satu orang pun yang boleh memasuki kamar ini kecuali pelayan yang bertugas membersihkan. Ayah selalu berharap agar sua
Tidak ada yang bisa dikakukan Ibrahim selain menuruti perkataan putrinya, dia juga penasaran, kenapa putrinya ini bisa kecelakaan dan hilang ingatan, kenapa pula dia tidak kembali tetapi malah jasad orang lain yang datang. "Jadi, Yang dikuburkan itu ternyata kemungkinan adalah jasad Dhea Annisa Putri anaknya ibu Paramitha. Tapi apa itu bisa disebut kamu ketukar?" ujar Ibrahim setelah mendengar kisah Dhea setelah siuman dari kecelakaan itu. "Aku benar-benat tidak ingat apapun, Ayah. Mungkin ibu tidak tega melihatku yang tanpa identitas, sementara dia juga kehilangan seluruh anggota keluarganya. Kami hanya saling melengkapi dan membutuhkan. Ibu tidak mungkin maksud jahat padaku." "Yah, tidak perlu dipikirkan, ibu Paramitha juga meninggal, menyusul suami dan putra-putrinya," ujar Ibrahim sambil mengelus kepala putrinya dengan sayang. "Ayah benar, ini memang sudah takdir." Ibrahim berdiam di kamar Dhea cukup lama, dia memang ingin melampiaskan rindu terpendam yang sudah delapan
Di ruangan kantor yang cukup luas, jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi ruangan kantor masih juga terang benderang karena masih ada penghuni ruangan besar yang masih duduk di kursi kerjanya dan mengutak-atik perangkat komputernya. Mata yang dipasangi kaca mata anti radiasi itu menambah kesan serius di wajah lelaki ini, sudah berbulan-bulan, hidupnya hanya dihabiskan sebagian besar di ruangan ini. Bahkan dia terkadang tertidur di sini karena ruangan ini juga ada kamar untuk istirahat. Pintu ruangan terbuka, muncul sosok tinggi tegap berkulit sawo matang, lelaki ini datang dengan membawa bungkusan plastik. "Pak, istirahat dulu. Ini makan malamnya saya bawakan." "Ini sudah jam sembilan malam, kenapa baru membawakan makanan?" "Saya baru saya tiba di bandara. Sesuai perintah bapak, saya harus mengikuti ke mana istri anda pergi. Ayo, makan dulu. Pasti anda belum makan." Lelaki itu langsung menutup layar komputernya dan berjalan dengan malas menuju sofa, di
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m