"Jadi, siapa diantara kalian yang akan kuhabisi duluan? Membunuh orang sudah menjadi pekerjaanku. Aku adalah pembunuh bayaran! orang yang baru saja kubunuh adalah seorang petinggi sebuah perusahaan, orang kaya dan berpengaruh. Membunuh kalian bagiku itu sangat mudah, aku dulu pernah menjadi wanita militer yang ditugaskan di Papua! Sekarang, maju! siapa yang mau kubunuh terlebih dahulu!". "Ah, tidak! tidak!" Mereka berteriak ketakutan mana kala Dhea berdiri dan akan menghampiri mereka. Romlah bahkan gemetar ketakutan, wanita itu sampai bersujud meminta ampun. Diikuti yang lainnya. "Ampun, Nona. Maafkan kami, maafkan kami." "Kalau begitu, mulai dari sekarang, kalian jangan pernah mengganggu dan mengusik ketenanganku. Aku sedang banyak pikiran, jika banyak pikiran aku akan emosional, mudah marah dan mudah menghabisi orang." "Baik, Nona. Baik!" ***** Sudah tiga hari Dhea mendekam di dalam tahanan, perasaannya semakin gelisah. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana kabar di lua
Bram memang bertekad untuk menyerahkan semua saham dan juga jabatannya, hidup istrinya lebih penting. Harta dan jabatan bisa dicari lagi, seandainya dia butuh waktu lama untuk memulihkan kondisinya, dia tidak akan terlantar-terlantar amat karena saham lima persen sudah cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, dia juga sudah memiliki omset dan property yang cukup, rumah sudah punya, baik di jakarta ataupun di Palembang. Tetapi ketika di pulang dari menjenguk Dhea di tahanan, hatinya mulai bimbang mana kala mendengar kabar jika nenek Hartina dilarikan ke rumah sakit. Nenek dalam kondisi shock dan tidak sadarkan diri. Beberapa jam setelah nenek pingsan, diapun sadar kembali. "Nenek, bagaimana kondisimu?" tanya Bram dengan kuatir "Bram ... benarkah apa yang dikatakan Nirmala?" tanya nenek dengan suara lemah. "Apa yang dikatakan oleh wanita itu?" "Dia bilang, istrimu yang telah membunuh ayahmu, benarkah itu?" suara nenek bergetar, di usianya yang sudah tua ini, dia tidak san
Pagi itu Bram berangkat ke kantor, hari ini tenggat waktu yang diberikan oleh Sayuti untuknya mengambil keputusan. Ketika sampai di lobi, dia bertemu dengan Nirmala dan Siska. Kedua wanita itu masih bisa tersenyum dan berbicara dengan akrab, hal itu tentu saja sangat membuat Bram berang. "Nirmala! apa sebenarnya yang kau inginkan? kenapa kau mengusik nenekku?" Nirmala terkejut hingga tatapan matanya melebar, di hadapannya anak tirinya sudah menatapnya dengan tajam, tatapan yang bisa saja bisa membunuh jika itu adalah sebilah pedang. "Kau memanggil namaku saja? biar bagaimanapun aku ini ibu tirimu, tidak adakah rasa hormatmu pada orang yang lebih tua? setidaknya kau hormati ayahmu!" "Apa kedudukanmu minta dihormati? seorang perusak dan pelakor sepertimu masih butuh dihormati? sekarang kau menemui nenekku untuk mengadu domba istri dan nenekku, jangan salahkan semua orang karena tidak menghormatimu, karena kelakuanmu sendirilah yang membuat orang tidak akan pernah menghormatimu!"
Hingga di ruang rapat tinggal tersisa keluarga Sayuti, Hanafi dan Nirmala. sementara Arjuna sudah sudah pergi entah kemana. "Tidak aku sangka ternyata hanya segitu rasa cinta Bram pada istrinya?" gumam Sayuti. "Sebaiknya kita tidak membicarakan hal seperti ini di sini, di sini dinding saja mempunyai telinga. Ayo kita ke rumahku saja," ujar Hanafi langsung bangkit dari tempat itu. Mereka bergegas memakai mobil sendiri-sendiri menuju sebuah vila milik Hanafi. Di rumah itu, hanya Hanafi, Sayuti dan Nirmala yang bertemu. Sementara anak-anak mereka kembali bekerja ke kantornya masing-masing. Sayuti dan Hanafi bahkan tidak membawa istrinya masing-masing. Sepertinya pertemuan ini memang menjadi pertemuan rahasia mereka. "Sebenarnya aku tidak percaya kalau istri Bram itu membunuh Mas Anggara. Dipikir seperti apapun itu tidak masuk akal," ujar Nirmala yang duduk di tepi kolam renang sambil menyesap teh hijau dari Tiongkok "Menurutmu siapa yang membunuh Anggara? Aku sudah bertemu de
"Mbak Dhea hamil?" ujar Neneng dengan wajah pias Mereka juga tidak bisa menerka apa yang akan terjadi, kecemasan jelas tergambar di wajah masing-masing. Memikirkan nasib diri sendiri saja mereka tidak mampu, karena akan ada serangkaian sidang yang menunggu untuk menentukan nasib mereka selanjutnya. Mereka tidak bisa membayangkan, beberapa bulan ke depan ada seorang bayi yang akan lahir di penjara, bagaimana Dhea akan memberitahu anaknya jika anak itu lahir dipenjara? sebuah tempat yang sangat tidak dijauhi semua orang apalagi untuk menetap di dalamnya. Huuft ... Dhea menghela napas panjang, dengan pelan dia seka air mata pipinya. Wanita itu menyunggingkan senyum miris, berusaha tegar dengan apa yang dialaminya sekarang. "Ini belum tentu positif, tetapi aku memang sudah telat tiga bulan. Kalau mau lebih akurat ya, dites pakai testpack," ujar Dhea berusaha tersenyum. "Aku akan meminta Bu Poppy untuk membelikan testpack, Mbak. Sebentar, ya ...." Neneng langsung berlari dan mem
Pagi ini Dhea tidak semangat sama sekali. Dia hanya meminum segelas teh manis yang dibuatkan Bu Poppy, Dhea memikirkan bagaimana dia tiga bulan ini berlaku, kemarin lusa dia bahkan menghajar pembunuh mertuanya hingga babak belur, untung saja kandungannya kuat, kalau tidak, entah bagaimana nasib anak dalam kandungannya ini. Bu Poppy hanya memprediksi kehamilan Dhea berdasarkan berhentinya masa menstruasi. Karena fasilitas kesehatan di rumah tahanan ini tentu saja tidak selengkap di rumah sakit atau dokter praktek. Harusnya masa-masa seperti ini menjadi momen bahagia buatnya. Dia akan mendatangi klinik Sania sambil berteriak jika dia hamil. Dia akan memeriksa kandungannya sepuas hatinya di sana. "Dhea Anisa Putri! Ada yang ingin bertemu denganmu!" suara penjaga yang tegas itu memanggilnya. "Mbak Dhea, ada yang datang. Siapa tahu suami mbak. Kasih tahu saja berita kehamilan mbak, agar dia berusaha lebih keras untuk mengeluarkan mbak dari penjara," ujar Neneng yang di iyakan oleh se
Kedatangan Arjuna memang benar memukul mental Dhea hingga tak bersisa. Sejak kedatangan Arjuna, Dhea hanya bisa menangis dan berwajah murung. Teman-temannya bahkan sudah kehabisan cara untuk membujuknya. Ketika ditanya siapa yang datang pun, Dhea tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya dia berada di dunianya sendiri. "Mbak Dhea, minum susu kurma ini, pikirkan kondisi bayi dalam kandungan mbak, jika dia kekurangan gizi di dalam kandungan, akibatnya akan fatal sekali,"bujuk Poppy dengan bahasa yang lemah lembut. Disinggung tentang bayinya, Dhea baru merespon. Wanita itu menoleh dan melihat segelas susu kurma yang disiapkan oleh perawat Poppy. Wajah perawat Poppy yang tersenyum tulus, membuatnya terbujuk untuk meminumnya. "Nah, habiskan ya ... Sudah ini minum obat mual dan vitaminnya," bujuk Poppy lagi Melihat Dhea Menghabiskan susu kurma itu, membuat teman-temannya tersenyum lega. Mereka kembali menyemangati Dhea. "Susu kurma bagus, sudah memiliki gizi lengkap. Dulu waktu aku
"San, aku hamil ...." "What?" Sania benar-benar terkejut mendengar kabar tersebut. Spontan gadis itu memegang tangan dan mencari denyut nadi Dhea. "Ya, Tuhan ....." Sebagai dokter kandungan tentu Sania sudah dibekali mendeteksi kehamilan dan mempelajari ciri-ciri fisik wanita hamil. Sania menduga wajah pucat Dhea, lantaran tertekan oleh kasus yang tengah menjeratnya, ternyata lebih dari itu. Ada keponakan yang kini bersemayam ditubuh kakak iparnya, tetapi kenapa saat Dhea mengahadapi ujian sebesar ini? Tanpa disadari Sania sudah menitikkan air mata, ternyata sekeras kepalanya gadis itu masih ada sisi-sisi sensitif di dalam dirinya. "Bagaimana ini? Kondisimu sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana ini?" tanya gadis itu dengan cemas. "Aku baik-baik saja, kau tidak usah kuatir." "Apanya yang baik-baik saja!" bentak Sania tanpa sadar. "Aku harus memberitahu kak Bram, aku__" "Sania, Please! Dengarkan aku!" Dhea segera memotong ucapan sania dan mencegah gadis itu
Menjelang waktu yang direncanakan, para anggota organisasi Gir sudah berdatangan ke Indonesia memakai paspor turis, dengan penerbangan berbeda. mereka sudah memesan hotel yang sama dengan rekomendasi Adi melalui online. Sampai pukul satu delapan malam, semua sudah berdatangan. Adi sendiri menyewa aula diskotik untuk party umum yang pesertanya hanya diundang tamu-tamu hotel yang memiliki tiket masuk, dan mereka yang masuk hanya anggota Gir. Sehingga party ini tidak dicurigai sebagai pertemuan rahasia yang berpotensi membahayakan keamanan, karena party diadakan secara natural untuk menyambut turis asing. Adi tersenyum lega melihat orang-orang yang dulu menjadi rekan kerjanya, mereka berpelukan seperti layaknya teman sudah lama tidak bertemu. "Kami datang semua untuk mendukungmu, Di," ujar Michael dengan bahasa Inggris. Michael kini menjadi ketua organisasi, mantan tentara Amerika itu masih aktif di organisasi tersebut. "Aku juga membawa semua anggota baru, perkenalkan ...." Mich
Bram menghela napas berat, dibelainya rambut istrinya yang kusut karena lama hanya melakukan aktifitas berbaring. "Sayang, Abang akan secepatnya datang menjemputmu. Sekarang masih belum bisa, Abang hanya menjengukmu, kuatir dengan keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram dengan hati-hati. Dhea hanya diam menatap wajah suaminya dengan kecewa, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Apanya yang baik-baik saja? situasinya bahkan lebih kejam dari ketika dia dipenjara dulu. Rasa kangennya yang tidak tertahan pada putranya membuatnya sulit memejamkan matanya setiap malam. Perasaan ditinggalkan oleh suaminya mengikis rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit, sudah seminggu lebih, tetapi apakah Bram tidak bisa mengatasi masalah di perusahan? apakah pria di depannya ini sengaja memilih kekuasaan dan hartanya daripada dia? Dhea menggeleng pelan untuk menghilangkan prasangkanya. "Percayalah pada Abang, doakan Abang agar cepat membawa Dhea dari tempat ini. Abang sangat merindukan Dhea, b
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa
"Sakti?!" ujar Abimanyu yang melihat siapa yang mengetuk ruang pribadinya ini. "Selamat sore, Pak?" sapa Sakti yang melihat Abimanyu tengah bersantai duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu masih fokus dengan ponselnya. "Pak Bram memaksa untuk bertemu dengan anda, Pak." Mendengar perkataan Sakti, Abimanyu berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, spontan lelaki itu menatap Sakti dengan tatapan garang. "Bukankah sudah kukatakan? kalau dia tidak boleh menemui ku kalau tugasnya dalam menstabilkan harga saham sudah berhasil, ini apa? belum ada kemajuan apa-apa," ujar Abimanyu dengan marah. "Justru itu yang akan dikatakan dan didiskusikan oleh pak Bram kepada anda, Pak." "Tidak ada negosiasi apalagi diskusi. Usir dia dari sini. Kenapa kau bawa dia ke sini tanpa bilang padaku dulu, Ha? kamu ini terlalu lancang, Sakti!" Abimanyu bertambah marah mendengarnya. "Situasi di perusahaan terlalu rumit, Pak. Bapak tidak bisa membuat hal
Pulang kerja, seperti hari kemarin Bram dikawal oleh beberapa orang dan disupiri oleh supir baru yang juga tidak Bram kenal. Apalagi selama beberapa hari ini mereka juga tidak berinteraksi, Bram juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka. "Antarkan saya ke tempat Abimanyu!" perintah Bram. "Bukankah Pak Abimanyu mengatakan dengan jelas, Pak Bram boleh menemuinya jika pekerjaan pak Bram selesai. Ini belum ada apa-apanya jadi pak Bram tidak berhak bertemu pak Abimanyu," ujar supir itu dengan tegas. "Kamu itu hanya sekedar supir, jadi tidak perlu mendikte saya. Saya tidak akan menyelesaikan tugas dari Abimanyu. Terserah dia sekarang, saya juga sudah buntu! saya mana bisa bekerja sendiri, saya akan bilang sama dia untuk memberi saya tim." "Ingat, Pak. Bapak harus keluarkan semua potensi dan usaha. Karena taruhannya nyawa istri dan anak bapak." "Keluarkan potensi dan usaha apa? sementara saya tidak boleh menghubungi siapapun. Memangnya saya bisa menyulap dengan sendiri nilai sah
Mang Giman selalu membersihkan ruangan Bram pukul tujuh pagi sebelum semua karyawan datang ke kantor. Dia membersihkan ruangan Bram seperti biasa dan tidak mencurigakan, ketika dia sedang mengelap-elap meja dan merapikan dokumen diatas meja, dia segera meletakkan surat ber amplop putih itu di atas meja dekat kotak tissue. Lelaki itu menahan napas ketika melakukan itu semua, segera dia cepat-cepat keluar dan masuk toilet, di sana dia menghela napas sekuat-kuatnya, sangat ketakutan karena dia merasa gerak-geriknya dipantau dari jarak jauh oleh orang yang tidak diketahui siapa. Sungguh misterius dan menakutkan untuk orang awam seperti dia. Jam menunjukan pukul delapan pagi, semua karyawan sudah berdatangan dan sudah masuk ke ruangan kerja masing-masing. Bram sendiri datang sekitar jam setengah sembilan pagi. Ketika masuk ruangan, dia terus berkutat pada dokumen, sungguh tidak ada pegawai atau orang suruhan yang kompeten yang dia percaya sekarang. "Pak Bram, ini sudah seminggu, tetapi
Sudah tiga hari Bram bekerja mengurus perusahannya, tetapi tidak ada perubahan sama sekali pada peningkatan nilai saham. Abimanyu sendiri mengatakan jika semua pegawai dan kolega Bram sudah dimutasi bahkan sudah dipecat dari perusahaan. Bram sendiri yang terpaksa menandatangani surat pemecatan mereka, pasalnya Abimanyu mengancam tidak akan memberikan makanan apapun pada Dhea jika dia tidak mengikuti semua perintah lelaki itu. Bram memang masuk ke kantor tetapi tetap saja rasanya seperti dipenjara. Dia tidak bisa mengontak siapapun dan meminta bantuan siapapun. Semua pekerja yang ada di kantor ini diduduki oleh orang-orang baru atau orang lama memang sudah bersekongkol dengan Abimanyu. Bram duduk dengan frustasi dengan semua kondisi ini, bahkan Adi orang kanannya sekarang tidak tahu di mana. Abimanyu memberi batas sampai tiga Minggu untuk menstabilkan nilai saham dan melakukan peralihan pemilik perusahaan dalam waktu tiga bulan. Abimanyu juga tidak bisa terburu-buru agar apa yang t