Pagi yang cerah menyambut Eloise ketika akhirnya ia terbangun di sebuah kamar yang terasa asing namun nyaman. Matahari menyusup lembut melalui celah tirai, dan Eloise mengerjap, bingung menyadari dimana dirinya berada. Setelah menarik nafas dalam untuk mengumpulkan kesadaran, ia bangkit dan melangkah keluar.Di dapur, aroma harum telur yang sedang digoreng menguar di udara. Sosok Dylan terlihat santai, berdiri di depan kompor dengan lengan kemejanya yang digulung rapi, sesekali membalik telur di wajan.“Sejak kapan aku di sini?” suara Eloise terdengar serak, bercampur rasa bingung dan malu.Dylan menoleh singkat, lalu menyajikan telur ke atas piring dengan tenang. “Tadi malam,” jawabnya sambil melirik Eloise, “Bagaimana keadaanmu? Masih pusing? Aku sudah membelikan obat pengar untuk mengurangi pusing kepalamu, kau bisa meminumnya kalau masih merasa tidak enak.”Eloise mengerutkan kening, mencoba mengingat kejadian semalam. Gambaran samar memenuhi pikirannya, kilasan lampu-lampu kelap-
Kehangatan malam itu terasa menyelimuti kediaman Javier. Setelah dua tahun berlalu, akhirnya keluarga ini kembali berkumpul. Di ruang makan, tawa Avery menggema, ditemani komentar santai dari Dylan, menciptakan suasana yang ceria.Di sebelah Dylan ada Avery yang duduk berdekatan dengan Eloise, Avery terlihat banyak bicara membuat suasana ruang makan menjadi ramai. Namun, Javier merasa ada yang berbeda dari salah putranya.Felix, yang biasanya ceria, terlihat diam sepanjang makan malam. Javier akhirnya membuka suara, "Felix, ada sesuatu yang mengganggumu?"Suasana ruang makan yang tadinya ramai oleh celotehan Avery mendadak hening, semua orang yang duduk di kursi meja makan menoleh ke arah Felix.Dylan ikut menimpali, "Benar, kau tak seperti biasanya. Ada apa?"Felix menggeleng perlahan. "Aku hanya merasa kurang sehat. Lanjutkan saja makan malam kalian."Tapi saat yang lain melanjutkan makan, Felix pergi lebih dulu. Hal itu didasari oleh Freya, ia mengenal putranya cukup baik, pasti ad
Felix menyugar rambutnya dengan tangan, lalu melangkah masuk ke dalam kamar yang sudah lama tak ia tempati. Aroma ruangan itu masih sama seperti yang ia ingat, tidak banyak yang berubah. Ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur, membiarkan matanya menatap langit-langit dengan kosong.Tak lama, pintu kamar terbuka tanpa ketukan. Adik perempuannya masuk tanpa permisi dan dengan santai ikut berbaring di sebelahnya.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Felix dengan nada lelah.“Aku tidak bisa tidur,” jawab Avery, menghela nafas panjang sambil memiringkan tubuhnya untuk menatap Felix. “Aku masih merindukan kalian. Kau sudah dua tahun meninggalkan rumah ini, tapi lihat dirimu sekarang, kau tampak tidak bersemangat.”Felix menopangkan lengannya di kening, mengeluarkan nafas panjang. “Entahlah, Ave. Aku juga tidak tahu. Mungkin karena aku akan sibuk dengan pekerjaan di perusahaan ayah dalam waktu dekat.”Avery menaikkan alis, senyum nakalnya mulai muncul. “Oh? Jadi ini soal pekerjaan? Atau s
Hari yang ditunggu tiba, Avery terlihat bersemangat untuk berlibur. Setelah perjalanan yang tidak sebentar, akhirnya mereka tiba di sebuah villa mewah yang akan menjadi tempat istirahat mereka selama liburan.Avery langsung berlari masuk, memilih kamar yang akan dia gunakan. Sementara di belakang, Javier dan Freya juga melangkah masuk. Tapi, Villa tersebut memiliki dua bagian yang terpisah, dan sisi lain digunakan oleh Dylan bersama Eloise serta Felix."Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa datang lagi ke tempat ini," Freya meletakkan tas di meja dan segera menuju balkon, melihat itu Javier menyusul dan seketika suara ombak dan juga angin yang berhembus mengenai wajah mereka.Di tepi pantai, tampak Dylan dan Eloise sudah menikmati momen liburan mereka. Sebagai orang tua, tentu Freya senang bisa melihat putranya bahagia, akan ada kemungkinan dalam waktu dekat, Dylan akan menikah dengan Eloise."Mereka sangat cocok, bagaimana menurutmu?" tanya Freya.Javier mengangguk setuju, ia merang
Malam terasa semakin gelap, tapi ucapan Felix siang tadi masih menghantui pikiran Freya hingga malam. Jelas itu menjadi sebuah masalah kalau sampai Felix melakukan tindakan yang sama seperti yang Freya lakukan dulu.Freya tidak pernah berpikir bahwa salah satu putranya akan memiliki pikiran seperti itu, semoga saja itu hanya pemikiran Felix semata yang akan hilang dalam waktu dekat. Karena jika sampai Felix mengikuti cara Freya untuk mendapatkan pasangannya, itu sungguh karma yang benar-benar nyata.Tanpa sadar, Freya mengusap wajahnya dan menghela nafas panjang. Ia berdiri di balkon kamar, menikmati hembusan angin yang berhembus. Hawa dingin yang menusuk nyaris tak ia pedulikan, sampai Javier datang memberikan selimut kecil untuk menghangatkan tubuh istrinya."Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam, apa kau tidak kedinginan?" tanyanya.Freya menoleh, kemudian menggeleng. Memilih untuk masuk ke dalam, sementara Javier menutup pintu kaca yang terhubung dengan balkon."Ini malam pert
Para lelaki masih sibuk menaklukkan ombak, papan selancar mereka meluncur dengan lincah di atas gelombang. Tawa dan sorakan terdengar riuh di tengah deburan air. Javier juga ikut meski usianya tak lagi muda, ia tetap tak mau kalah dengan kedua putranya, Dylan dan Felix. Mereka bertiga terlihat seperti sekutu yang gigih, berjuang melawan gulungan ombak dengan semangat yang sama.Ketika matahari mulai meninggi, Dylan meninggalkan laut dan berjalan menuju tempat para wanita berkumpul di bawah naungan payung pantai. Ia berhenti di depan Eloise, mengulurkan tangan tanpa sepatah kata."Kau mau mengajaknya ke mana?" tanya Avery, melirik Dylan dengan tatapan penuh selidik.Dylan hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum santai. "Kau tak perlu tahu kami akan ke mana," jawabnya dengan nada seenaknya. Ia lalu menggandeng tangan Eloise dan pergi meninggalkan adik dan ibunya.Avery mendengus kesal, menatap punggung Dylan yang semakin menjauh. "Cih, sombong sekali setelah punya kekasih," gumamnya sam
Sejak semalam Eloise jadi terus kepikiran, ia benar-benar tak bisa membedakan mana Dylan dan Felix dan itu sangat berbahaya jika kejadian yang sama kembali terulang. Semalam, Eloise tak bisa menyalahkan mengapa Felix tak segera memberitahu bahwa dia bukan Dylan, alkohol yang di minum oleh pria itu mungkin saja salah satu alasan kenapa Felix tak segera memberitahu Eloise.Tapi ia tak tenang, jika tidak segera diluruskan maka semua ini akan menjadi masalah besar nantinya. Dan pagi itu, Javier bersama istrinya sudah bepergian lebih dulu bersama Avery. Tampak dari kejauhan sosok Felix menyantap sarapannya sendirian dengan pemandangan yang menghadap langsung ke arah laut."Babe, kau mau makan apa?" tanya Dylan sambil membuka buku menu.Eloise menoleh, "Seperti biasanya, oh ya, bagaimana kalau aku menunggumu di sebelah sana?" tunjuknya pada tempat kosong di seberang Felix.Tanpa ragu Dylan mengangguk, dan Eloise pun menuju ke tempat itu dengan niat meminta maaf atas apa yang terjadi sebelum
Hari semakin sore, menciptakan bayangan panjang di sekitar kolam renang. Felix melompat ke dalam air dengan gerakan sempurna, tubuhnya menyelam dan menembus permukaan dengan mulus. Namun, meski tubuhnya menyatu dengan dinginnya air, pikirannya terasa membara.Beberapa hari terakhir, pikirannya kacau seperti sebuah pusaran yang sulit dihentikan. Ada sesuatu yang terus menghantui, sebuah keinginan yang tidak seharusnya ada. Dan yang lebih buruk, ia sadar sepenuhnya bahwa mendekati Eloise adalah kesalahan besar. Eloise adalah milik Dylan, saudara kembarnya.Felix mengepalkan tangan di bawah air, mencoba melawan perasaan yang tak terkendali. "Ah, sial! Apa otakku sudah benar-benar tercemar?" geramnya sambil berenang ke tepi kolam.Ketika ia menoleh, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Dylan berjalan menjauh dari area kolam. Tak lama kemudian, Eloise muncul. Perempuan itu berjalan perlahan dengan kaki sedikit pincang, langkahnya mencuri perhatian Felix meski ia berusaha keras untuk tidak
Suasana makan malam itu dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lilin di atas meja makan memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di permukaan piring dan gelas kristal. Aroma masakan rumahan yang menggugah selera menyatu dengan tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu alami, menciptakan momen yang terasa seperti potongan kecil kebahagiaan.Freya duduk di bersebelahan dengan Javier, matanya menelusuri wajah-wajah yang dicintainya. Sesekali, pandangannya tertuju pada pasangan anak-anaknya yang duduk berdampingan, menikmati hidangan yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Ada senyum kecil di sudut bibir Freya, senyum penuh kebanggaan dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.Mereka berbicara dalam nada lembut, berbagi cerita tentang hari mereka, sementara suara denting garpu dan sendok sesekali terdengar, menambah harmoni pada suasana. Freya memperhatikan cara anak-anaknya saling bertukar pandang, tertawa pada lelucon sederhana, dan berbagi piring kecil
Kediaman rumah Javier hari ini seperti panggung pertunjukan yang dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Para pelayan berlarian ke sana kemari, menyiapkan meja, kursi, dan dekorasi untuk makan malam keluarga yang spesial malam ini. Suasana riuh rendah terdengar dari halaman belakang, di mana meja panjang sudah mulai diatur dengan taplakan putih bersih dan peralatan makan yang berkilauan. Bunga-bunga segar yang dipesan Freya tiba tepat waktu, menambah sentuhan keanggunan di tengah keramaian.Freya sendiri tampak bersemangat, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dari memeriksa bahan masakan hingga memastikan setiap detail dekorasi sempurna, ia ingin semuanya berjalan lancar untuk menyambut Eloise, anggota baru keluarga mereka."Jangan lupa hiasan bunga di tengah meja," pesannya pada salah satu pelayan sambil tersenyum. "Aku ingin semuanya terlihat istimewa."Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi yang menggebu-gebu. Meski anak-anaknya belum datang, Freya s
Hari itu cerah, dan sinar matahari menembus jendela apartemen Felix, memantulkan kilau halus di dasi sutra yang baru saja ia kenakan. Dengan gerakan cekatan, ia meraih kunci mobil dari meja, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi pagi yang masih hangat di udara.Pukul sembilan tepat, mobil sport hitamnya meluncur mulus ke arah gedung agensi. Dunia kerja menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang biasa, tapi hari ini terasa berbeda. Waktunya di agensi hanya sebentar karena jadwalnya padat, penuh dengan pertemuan penting bersama mitra-mitra bisnis.Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah ponsel di saku jasnya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia menunggu telepon dari Katie. Jawaban atas tawaran yang ia berikan semalam menjadi satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia dengar hari ini."Ada kemajuan pesat sejak kau mengambil alih hotel. Aku senang melihat bagaimana kau mengelolanya dengan baik," ucap Javier, dengan suara yang penuh kebanggaa
Pintu tertutup rapat dengan dentuman keras setelah Felix mendorongnya dengan kasar. Ia berbalik, nafasnya memburu, dan langsung bertemu dengan tatapan Katie.Namun berbeda dari yang ia bayangkan, perempuan itu tampak santai, terlalu santai, seolah situasi ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Tak ada jejak ketakutan atau khawatir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang sulit diterjemahkan."Aku sudah memberitahumu kalau aku hamil," kata Katie, suaranya ringan namun menusuk. "Dan kau juga pasti sudah tahu siapa ayah dari bayi ini."Felix mengepalkan tangannya."Aku hanya berpikir," lanjut Katie sambil memainkan melipat tangan di depan dada. "Janin ini masih sangat kecil. Jika aku mengeluarkannya sekarang, resikonya tidak terlalu besar."Felix merasa dadanya menghantam batu."Kau gila?!" serunya, langkahnya maju mendekat.Dengan frustasi, ia menyisir rambutnya ke belakang, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak akan mengizinkanmu menggugurkan bayi itu!"Katie mendesah pelan,
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan