Hari yang ditunggu tiba, Avery terlihat bersemangat untuk berlibur. Setelah perjalanan yang tidak sebentar, akhirnya mereka tiba di sebuah villa mewah yang akan menjadi tempat istirahat mereka selama liburan.Avery langsung berlari masuk, memilih kamar yang akan dia gunakan. Sementara di belakang, Javier dan Freya juga melangkah masuk. Tapi, Villa tersebut memiliki dua bagian yang terpisah, dan sisi lain digunakan oleh Dylan bersama Eloise serta Felix."Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa datang lagi ke tempat ini," Freya meletakkan tas di meja dan segera menuju balkon, melihat itu Javier menyusul dan seketika suara ombak dan juga angin yang berhembus mengenai wajah mereka.Di tepi pantai, tampak Dylan dan Eloise sudah menikmati momen liburan mereka. Sebagai orang tua, tentu Freya senang bisa melihat putranya bahagia, akan ada kemungkinan dalam waktu dekat, Dylan akan menikah dengan Eloise."Mereka sangat cocok, bagaimana menurutmu?" tanya Freya.Javier mengangguk setuju, ia merang
Malam terasa semakin gelap, tapi ucapan Felix siang tadi masih menghantui pikiran Freya hingga malam. Jelas itu menjadi sebuah masalah kalau sampai Felix melakukan tindakan yang sama seperti yang Freya lakukan dulu.Freya tidak pernah berpikir bahwa salah satu putranya akan memiliki pikiran seperti itu, semoga saja itu hanya pemikiran Felix semata yang akan hilang dalam waktu dekat. Karena jika sampai Felix mengikuti cara Freya untuk mendapatkan pasangannya, itu sungguh karma yang benar-benar nyata.Tanpa sadar, Freya mengusap wajahnya dan menghela nafas panjang. Ia berdiri di balkon kamar, menikmati hembusan angin yang berhembus. Hawa dingin yang menusuk nyaris tak ia pedulikan, sampai Javier datang memberikan selimut kecil untuk menghangatkan tubuh istrinya."Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam, apa kau tidak kedinginan?" tanyanya.Freya menoleh, kemudian menggeleng. Memilih untuk masuk ke dalam, sementara Javier menutup pintu kaca yang terhubung dengan balkon."Ini malam pert
Para lelaki masih sibuk menaklukkan ombak, papan selancar mereka meluncur dengan lincah di atas gelombang. Tawa dan sorakan terdengar riuh di tengah deburan air. Javier juga ikut meski usianya tak lagi muda, ia tetap tak mau kalah dengan kedua putranya, Dylan dan Felix. Mereka bertiga terlihat seperti sekutu yang gigih, berjuang melawan gulungan ombak dengan semangat yang sama.Ketika matahari mulai meninggi, Dylan meninggalkan laut dan berjalan menuju tempat para wanita berkumpul di bawah naungan payung pantai. Ia berhenti di depan Eloise, mengulurkan tangan tanpa sepatah kata."Kau mau mengajaknya ke mana?" tanya Avery, melirik Dylan dengan tatapan penuh selidik.Dylan hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum santai. "Kau tak perlu tahu kami akan ke mana," jawabnya dengan nada seenaknya. Ia lalu menggandeng tangan Eloise dan pergi meninggalkan adik dan ibunya.Avery mendengus kesal, menatap punggung Dylan yang semakin menjauh. "Cih, sombong sekali setelah punya kekasih," gumamnya sam
Sejak semalam Eloise jadi terus kepikiran, ia benar-benar tak bisa membedakan mana Dylan dan Felix dan itu sangat berbahaya jika kejadian yang sama kembali terulang. Semalam, Eloise tak bisa menyalahkan mengapa Felix tak segera memberitahu bahwa dia bukan Dylan, alkohol yang di minum oleh pria itu mungkin saja salah satu alasan kenapa Felix tak segera memberitahu Eloise.Tapi ia tak tenang, jika tidak segera diluruskan maka semua ini akan menjadi masalah besar nantinya. Dan pagi itu, Javier bersama istrinya sudah bepergian lebih dulu bersama Avery. Tampak dari kejauhan sosok Felix menyantap sarapannya sendirian dengan pemandangan yang menghadap langsung ke arah laut."Babe, kau mau makan apa?" tanya Dylan sambil membuka buku menu.Eloise menoleh, "Seperti biasanya, oh ya, bagaimana kalau aku menunggumu di sebelah sana?" tunjuknya pada tempat kosong di seberang Felix.Tanpa ragu Dylan mengangguk, dan Eloise pun menuju ke tempat itu dengan niat meminta maaf atas apa yang terjadi sebelum
Hari semakin sore, menciptakan bayangan panjang di sekitar kolam renang. Felix melompat ke dalam air dengan gerakan sempurna, tubuhnya menyelam dan menembus permukaan dengan mulus. Namun, meski tubuhnya menyatu dengan dinginnya air, pikirannya terasa membara.Beberapa hari terakhir, pikirannya kacau seperti sebuah pusaran yang sulit dihentikan. Ada sesuatu yang terus menghantui, sebuah keinginan yang tidak seharusnya ada. Dan yang lebih buruk, ia sadar sepenuhnya bahwa mendekati Eloise adalah kesalahan besar. Eloise adalah milik Dylan, saudara kembarnya.Felix mengepalkan tangan di bawah air, mencoba melawan perasaan yang tak terkendali. "Ah, sial! Apa otakku sudah benar-benar tercemar?" geramnya sambil berenang ke tepi kolam.Ketika ia menoleh, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Dylan berjalan menjauh dari area kolam. Tak lama kemudian, Eloise muncul. Perempuan itu berjalan perlahan dengan kaki sedikit pincang, langkahnya mencuri perhatian Felix meski ia berusaha keras untuk tidak
Felix semakin menekan ciumannya tanpa peduli pemberontakan yang Eloise lakukan. Ia hanya ingin memuaskan keinginannya, tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu akan membuatnya berada dalam masalah yang lebih besar. Ketika ia mulai hampir kehilangan kendali, tiba-tiba saja Eloise menggigit bibirnya. "Aw!" refleks ia menyentuh bibirnya yang berdarah, namun belum selesai rasa kagetnya akibat gigitan Eloise, sebuah tamparan mendarat dengan mulus di wajah Felix.PLAKK!Nafas Eloise naik turun menahan emosi, "Aku kekasih saudara kembarmu, Felix! Kenapa kau melakukan hal ini?!"Sejenak Felix merasakan perih di wajah dan juga bibirnya, namun ia masih dapat tersenyum miring dengan perkataan Eloise barusan. Dengan santainya ia membalas tatapan perempuan itu, tapi detik selanjutnya seringat tersebut berubah, hanya ada tatapan tajam yang membuat Eloise merasa terintimidasi."Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang sudah terjadi, aku hanya berharap saat itu kita tidak pernah kembali sehingga aku t
Di seberang pulau, sebuah yacht baru saja menepi. Javier turun lebih dulu sebelum ia membantu Freya turun dan juga Avery. Namun wajah Avery terlihat tidak senang saat ia menginjakkan kaki di dermaga tersebut, liburan kali ini ia merasa di kekang erat oleh Javier, tak boleh ini, tak boleh itu.Sementara Avery ingin mencoba banyak hal, ia sudah remaja dan sebentar lagi akan berusia delapan belas tahun. Tapi Javier memperlakukannya seolah anak kecil yang baru tumbuh gigi, itu menyebalkan."Ave, jangan terlalu pergi jauh, dan tetap pastikan ponselnya tidak kehabisan daya." pesan Javier.Avery memutar bola matanya jengah, liburan macam apa ini, ia terus diawasi. Namun setelahnya, Javier pergi bersama Freya ke tempat penginapan yang akan mereka tempati selama dua malam di pulau tersebut."Kapan Dylan dengan Felix ke pulau ini juga?" tanya Avery sebelum kedua orang tuanya benar-benar menghilang dari pandangannya.Javier menoleh, "Besok pagi yacht yang sama akan menjemput mereka, kita akan ti
Rumah kecil itu tampak sunyi dan gelap saat Avery tiba, terpisah jauh dari hiruk-pikuk penginapan lainnya. Daniel dengan sigap membuka pintu dan menyalakan lampu, mempersilakan gadis itu masuk.Interiornya sederhana, hampir minimalis. Dapur kecil menyatu dengan ruang utama, hanya ada satu tempat tidur di sudut ruangan. Meski minim perabotan, dindingnya dihiasi berbagai jenis kerang yang tertata rapi, menciptakan suasana hangat nan unik.“Kau bisa duduk dulu,” ujar Daniel sambil melangkah menuju dapur. “Aku akan menyiapkan makanan sebelum mengantarmu kembali ke penginapan.”Avery menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu, kemudian pandangannya beralih ke punggung Daniel yang sibuk mengeluarkan bahan masakan. Entah kenapa, keramahan pria itu membuatnya sedikit penasaran.“Apa kau selalu seperti ini pada setiap pengunjung pulau?” tanyanya, mencondongkan tubuh ke depan.Daniel menoleh sekilas, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Tentu saja. Tamu-tamu yang datang ke sini harus merasa pu
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan
Malam itu terasa begitu sunyi, hanya suara angin dingin yang berhembus lembut di antara mereka, seperti ikut menyaksikan ketegangan yang memenuhi udara. Avery berdiri kaku, matanya menatap Daniel dengan sorot tidak percaya. Kata-kata pria itu barusan terus terulang di benaknya, menggema tanpa henti. Daniel merindukannya?Ia merasa bingung, hampir tidak bisa memahami maksud semua ini. Bukankah Daniel telah menolaknya dengan mudah musim panas lalu? Lalu, mengapa pria ini datang seakan memberikan kesempatan lagi.Akhirnya, Avery menarik nafas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Namun, ketika ia kembali membuka mulut, suaranya terdengar bergetar. “Aku berterima kasih atas semua hadiah yang kamu berikan padaku. Tapi kau tidak perlu melakukannya lagi.”“Avery, aku hanya ingin—”“Berhenti, Daniel!” potong Avery dengan nada tinggi. Ia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Daniel yang penuh dengan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Jangan membuatku berharap akan
Melihat Gabriel yang tidak melawan, Daniel segera meraih tangan Avery dan menuntunnya menjauh dari tempat itu. Sentuhan tangan Daniel membuat Avery terkejut, dan meski ia menurut, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin pria ini tiba-tiba muncul di sini? Kebetulan? Atau… dia mengikutiku?Ketika mereka sudah cukup jauh dari Gabriel, Avery berhenti dan menarik tangannya dari genggaman Daniel. Pria itu berbalik, menatap Avery dengan sorot bingung."Bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di depanku seperti itu?" tanya Avery dengan nada curiga.Daniel menghela nafas pelan sebelum menjawab, "Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Dulu saat kita pertama bertemu, kau pernah bilang kalau sekolahmu ada di daerah ini. Tak kusangka, saat berjalan di sekitar area sekolahmu, aku justru melihat sesuatu yang sangat... tidak terduga." Ucapannya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan keseriusan.Avery memandang Daniel dengan ragu, mencoba mencerna jawabannya. Apakah itu benar, atau
Semenjak Avery menemukan hadiah saat hari ulang tahunnya di depan pintu apartemen, kini ia justru lebih sering mendapatkan hadiah lain yang tidak ia sangka. Setiap hari, selalu ada setangkai bunga mawar di depan pintu unit apartemen dengan kata yang sama."Untuk Winter Avery."Dan kini Avery semakin bingung dan penasaran, siapa orang yang memberinya hadiah-hadiah itu. Mungkinkah dia orang yang dikenalnya? Atau jangan-jangan adalah Gabriel? Avery menggeleng, ia hampir saja membuang bunga yang ia dapatkan di depan pintunya jika bunga itu dari Gabriel, tapi tangannya berhenti sejenak."Bagaimana kalau ternyata bukan dari Gabriel?" batinnya.Ia menggeleng pelan, akhirnya membawa masuk setangkai bunga mawar itu dan memasukkannya ke dalam vas bunga. Di sebuah meja di sudut ruangan, Avery menatap beberapa kotak dan juga bunga yang sebelumnya dikirim untuknya, semua barang yang dikirim memiliki kata yang sama, yaitu 'Untuk Winter Avery'.Semua barang itu berarti dikirim oleh orang yang sama d
Selesai mengikuti kegiatan, Avery dan Nancy berjalan keluar dari aula, berbagi tawa ringan sambil bercanda. Namun, langkah mereka melambat ketika melihat Gabriel berdiri di dekat tangga jalan keluar, bersandar dengan sikap santai yang terlalu mencolok. Senyumnya yang setengah menggoda langsung menarik perhatian, meskipun tidak untuk Avery.“Oh, lihat siapa yang menunggu,” bisik Nancy, menyikut Avery dengan cengiran kecil.Avery hanya mendesah malas. "Aku tidak punya energi untuk meladeni pria itu."Tanpa mengubah ekspresi, Avery terus berjalan melewati Gabriel, mengabaikan pria itu seolah dia hanyalah tiang lampu di pinggir jalan. Tapi, Gabriel tidak menyerah begitu saja.“Avery, aku perlu bicara denganmu,” panggilnya, nada suaranya terdengar tegas namun menggoda.Avery berhenti sejenak, menoleh setengah hati. “Tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita,” jawabnya dingin, melanjutkan langkah tanpa menunggu tanggapan.Gabriel mendecih, tapi ia tidak menyerah. Saat Avery hampir mencap