Hayo loh Javier, anak siapa itu wkwk
Freya masih tertegun, berusaha memahami bagaimana Pamela bisa mempengaruhi Javier untuk melepaskannya begitu saja, padahal tadi Javier begitu tegas menyeretnya tanpa belas kasihan.Namun sebelum itu, Pamela sempat memberikan pertanyaan seperti apa yang Javier lakukan. Dan Freya tetap bersikeras mengaku bahwa anak itu bukan anak Javier Bennett. Pada akhirnya Pamela memberikan pilihan agar Freya segera membayar ganti rugi yang sangat besar tanpa memperpanjang urusan."Kali ini kau lolos," ucap Javier dingin dengan sorot mata yang terus mengawasi Freya.Freya menatap balik dengan sikap tak kalah keras. “Aku harap kita tidak akan bertemu lagi, Javier,” balasnya, sebelum masuk ke mobil anak buah Javier yang mengantarnya menjauh dari rumah itu.Freya memilih berhenti di pusat kota, ia mencari alternatif untuk bisa menghubungi David. Beruntung David membawa ponsel Freya yang sempat tertinggal, dan kini suara David terdengar dari ponsel milik Freya.“Halo?”“David, ini aku.”“Freya, kau di m
Beberapa tahun sebelumnya, saat usia Viona baru menginjak usia dua puluh satu tahun. Kabar yang sangat tidak ia harapkan datang. Ia hamil, dan itu bukan anak Javier, sedangkan beberapa minggu lalu Javier sudah melamarnya.Panik, rasa cemas itu membuatnya kehilangan akal sehat. Keluarganya sangat berharap bahwa Javier Bennett yang sangat pantas untuk menjadi suaminya. Lalu saat keinginan tersebut sudah hampir Viona dapatkan, ia justru hamil anak dari sahabat Javier."Apa yang harus aku lakukan kalau sampai Javier tahu hal ini?" Viona terlihat kebingungan, sementara dalam hitungan beberapa bulan lagi ia akan menikah dengan Javier.Ia tak mungkin melakukan acara resepsi pernikahan dengan perut yang besar, sialnya anak itu bukan anak Javier. Seharian itu Viona tak bisa tenang, hasil tes kehamilan yang baru ia coba beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa ia positif hamil.Dan ketika ia memberanikan diri untuk melakukan pemeriksaan, usia kandungannya itu sudah dua bulan. Viona terjebak oleh u
Viona terjebak dalam lingkaran yang ia ciptakan sendiri, tak menyangka masa lalunya akan kembali menghantuinya dalam wujud Eben. Ketika pria itu muncul dengan tatapan berbahaya, membuat semua yang ia sembunyikan kini terasa begitu rapuh.Setelah semuanya selesai, Viona turun dari ranjang, mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Di sudut ranjang, Eben berbaring santai, memandangnya dengan tatapan puas."Sering-seringlah menemuiku, kehangatanmu itu membuatku tak bisa melupakanmu," kata Eben.Viona mendengus kesal, menghindari tatapan pria itu sambil masuk ke kamar mandi. Ia harus segera membersihkan diri. Setelah memastikan penampilannya kembali bersih, Viona keluar dari kamar mandi mengenakan pakaiannya kembali.Eben menyeringai, puas dengan apa yang sudah ia lakukan. Viona tidak akan menolak ajakannya untuk berhubungan intim karena Eben memegang kartu AS dari perempuan itu. Sangat menyenangkan ketika ia bisa mengendalikan seseorang dengan memegang kelemahannya."Hanya ada dala
Tiga bulan telah berlalu, dan Freya kini tinggal di rumah David yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Pekerjaannya menjaga toko roti yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, terkadang ia juga bekerja di toko bunga untuk menambah pemasukan harian.Sebisa mungkin Freya tidak ingin merepotkan David, pria itu sudah sangat baik padanya. Meskipun Freya menolak bantuan yang pria itu tawarkan, David selalu datang menemani Freya di rumahnya sambil membawa banyak makanan."Kau tidak perlu melakukan ini padaku David, kalau kau terlalu baik seperti ini bagaimana caraku membalas kebaikanmu?"David menoleh sebentar, tapi kemudian menyusun bahan makanan yang dia beli ke dalam lemari pendingin. "Aku tidak mengharapkan apapun darimu, Freya. Aku hanya sedang membantu seorang ibu hamil agar suatu hari nanti dapat melahirkan dengan baik," katanya sambil tersenyum tulus.Namun tetap saja, Freya merasa tidak enak hati mendapat kebaikan sebesar ini dari orang yang tidak punya hubungan apapun dengannya."Ma
"Mau apa kau kemari?" suara Freya terdengar tajam, namun itu tak cukup untuk menahan langkah Javier.Tanpa peringatan, pria itu meraih dagu Freya, membuatnya mendongak hingga mata mereka bertemu. Javier mengamati wajah Freya yang sudah tiga bulan tidak ia lihat sedekat ini, dan bibirnya yang berwarna merah muda itu tampak menggodanya untuk menekan ciuman ke sana.Tapi kali ini Javier masih bisa menahan godaan tersebut. "Kau masih ingin bermain rahasia? Sampai kapan, Freya?" tanya Javier dengan nada dingin.Ada ketegangan yang menggantung di udara, sementara tatapan Javier memaksa Freya mengakui bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya, bukan milik David.Freya menghempaskan tangan Javier dengan kasar. "Kau benar-benar datang hanya untuk menuntut pengakuan ini? Sadar, Javier. Kau sudah punya istri, dan aku bukan apa-apa dalam hidupmu. Aku sudah keluar dari kehidupanmu, jadi apa lagi yang kau inginkan dariku?""Aku ingin kau, Freya!" Suara Javier terdengar tegas, seolah menembus ben
Musim dingin yang kelabu telah tiba, dan Viona merasa semakin terjebak dalam bayang-bayang Eben. Pria itu tak hanya menghantui pikirannya, tetapi juga terus memerasnya dengan rahasia kelam yang ia sembunyikan dari Javier.Namun, mau sampai kapan ia seperti ini? Tentunya Viona tidak akan diam saja, anak buahnya telah ia perintahkan untuk menghabisi Eben ketika pria itu lengah. Viona berharap, Eben segera musnah agar tak ada yang mengganggu ketenangannya."Bunuh dia. Pastikan dia lenyap untukku," ujar Viona dingin, memberikan perintah kepada anak buah yang ia percayai.Ponselnya ia genggam erat, tekadnya semakin bulat. Ia harus menyingkirkan siapa pun yang bisa mengancam hidup bahagianya bersama Javier. Dan Javier, dia tidak boleh tahu apa yang Viona lakukan.Sebentar lagi, butuh waktu yang tidak lama. Rumah mereka akan kedatangan seorang bayi, Pamela sudah mengingatkan Viona untuk bersiap merawat bayi itu untuk mempertahankan pernikahannya bersama Javier."Apa uang yang aku kirim untuk
Selama Javier tidak ada di rumah, itulah kesempatan Eben dan Viona menguasai rumah tersebut untuk aktivitas panas mereka. Tidak ada yang melarang atau menghalangi, keduanya terlibat kedekatan yang begitu intens."Eben, sebaiknya kau pergi sekarang. Javier akan pulang hari ini," kata Viona dengan nada waspada saat ia melihat Eben santai menikmati wine dari koleksi pribadi Javier.Eben menoleh, senyum mengejek terukir di bibirnya. Ia tetap tenang meneguk sisa wine, lalu meletakkan botol ke meja dengan suara keras."Aku akan pergi, seperti yang kau minta. Beberapa hari ini sudah cukup untuk menikmati waktu denganmu," katanya, meraih Viona dan menekan bibirnya pada bibir perempuan itu. Viona hanya membalas, seakan terlena dalam genggamannya.Setelah itu, Viona mendorongnya perlahan. "Pergilah sekarang. Aku akan membereskan kekacauan kita di kamar sebelah."Eben mengangguk, mengambil jaketnya. "Aku akan menghubungimu lagi, dan kabari aku kalau suamimu pergi dinas lagi," ucapnya sambil berl
Di pertengahan musim semi, waktu yang Freya tunggu akhirnya tiba. David mengantarkannya ke rumah sakit untuk persiapan persalinan. Selama hamil ini, David memang yang menemani Freya untuk melakukan pemeriksaan sampai akhirnya tiba waktu untuk melahirkan.Saat berada di dalam ruang perawatan, David yang bukan siapa-siapa itu justru terlihat sibuk kesana kemari. Bahkan pria itu sudah menyiapkan pakaian bayi untuk anak yang akan Freya lahirkan sebentar lagi. Melihat David yang begitu peduli, Freya merasa sangat beruntung bisa mengenalnya."Aku sudah mengisi daya ponselmu, aku letakkan di sini. Kalau kau butuh sesuatu, segera hubungi aku," ucap David.Freya mengangguk, "Baiklah, tapi kau mau pergi kemana?" tanya Freya."Ada sedikit urusan penting di luar, jadi aku pergi sebentar," pamitnya.Satu jam setelah David pergi, Freya mulai merasakan sesuatu pada bagian perutnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Freya dipindahkan ke ruang persalinan. Bertepatan dengan itu David datang samb
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap J
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan
Malam itu terasa begitu sunyi, hanya suara angin dingin yang berhembus lembut di antara mereka, seperti ikut menyaksikan ketegangan yang memenuhi udara. Avery berdiri kaku, matanya menatap Daniel dengan sorot tidak percaya. Kata-kata pria itu barusan terus terulang di benaknya, menggema tanpa henti. Daniel merindukannya?Ia merasa bingung, hampir tidak bisa memahami maksud semua ini. Bukankah Daniel telah menolaknya dengan mudah musim panas lalu? Lalu, mengapa pria ini datang seakan memberikan kesempatan lagi.Akhirnya, Avery menarik nafas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Namun, ketika ia kembali membuka mulut, suaranya terdengar bergetar. “Aku berterima kasih atas semua hadiah yang kamu berikan padaku. Tapi kau tidak perlu melakukannya lagi.”“Avery, aku hanya ingin—”“Berhenti, Daniel!” potong Avery dengan nada tinggi. Ia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Daniel yang penuh dengan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Jangan membuatku berharap akan
Melihat Gabriel yang tidak melawan, Daniel segera meraih tangan Avery dan menuntunnya menjauh dari tempat itu. Sentuhan tangan Daniel membuat Avery terkejut, dan meski ia menurut, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin pria ini tiba-tiba muncul di sini? Kebetulan? Atau… dia mengikutiku?Ketika mereka sudah cukup jauh dari Gabriel, Avery berhenti dan menarik tangannya dari genggaman Daniel. Pria itu berbalik, menatap Avery dengan sorot bingung."Bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di depanku seperti itu?" tanya Avery dengan nada curiga.Daniel menghela nafas pelan sebelum menjawab, "Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Dulu saat kita pertama bertemu, kau pernah bilang kalau sekolahmu ada di daerah ini. Tak kusangka, saat berjalan di sekitar area sekolahmu, aku justru melihat sesuatu yang sangat... tidak terduga." Ucapannya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan keseriusan.Avery memandang Daniel dengan ragu, mencoba mencerna jawabannya. Apakah itu benar, atau
Semenjak Avery menemukan hadiah saat hari ulang tahunnya di depan pintu apartemen, kini ia justru lebih sering mendapatkan hadiah lain yang tidak ia sangka. Setiap hari, selalu ada setangkai bunga mawar di depan pintu unit apartemen dengan kata yang sama."Untuk Winter Avery."Dan kini Avery semakin bingung dan penasaran, siapa orang yang memberinya hadiah-hadiah itu. Mungkinkah dia orang yang dikenalnya? Atau jangan-jangan adalah Gabriel? Avery menggeleng, ia hampir saja membuang bunga yang ia dapatkan di depan pintunya jika bunga itu dari Gabriel, tapi tangannya berhenti sejenak."Bagaimana kalau ternyata bukan dari Gabriel?" batinnya.Ia menggeleng pelan, akhirnya membawa masuk setangkai bunga mawar itu dan memasukkannya ke dalam vas bunga. Di sebuah meja di sudut ruangan, Avery menatap beberapa kotak dan juga bunga yang sebelumnya dikirim untuknya, semua barang yang dikirim memiliki kata yang sama, yaitu 'Untuk Winter Avery'.Semua barang itu berarti dikirim oleh orang yang sama d
Selesai mengikuti kegiatan, Avery dan Nancy berjalan keluar dari aula, berbagi tawa ringan sambil bercanda. Namun, langkah mereka melambat ketika melihat Gabriel berdiri di dekat tangga jalan keluar, bersandar dengan sikap santai yang terlalu mencolok. Senyumnya yang setengah menggoda langsung menarik perhatian, meskipun tidak untuk Avery.“Oh, lihat siapa yang menunggu,” bisik Nancy, menyikut Avery dengan cengiran kecil.Avery hanya mendesah malas. "Aku tidak punya energi untuk meladeni pria itu."Tanpa mengubah ekspresi, Avery terus berjalan melewati Gabriel, mengabaikan pria itu seolah dia hanyalah tiang lampu di pinggir jalan. Tapi, Gabriel tidak menyerah begitu saja.“Avery, aku perlu bicara denganmu,” panggilnya, nada suaranya terdengar tegas namun menggoda.Avery berhenti sejenak, menoleh setengah hati. “Tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita,” jawabnya dingin, melanjutkan langkah tanpa menunggu tanggapan.Gabriel mendecih, tapi ia tidak menyerah. Saat Avery hampir mencap