Musim dingin yang kelabu telah tiba, dan Viona merasa semakin terjebak dalam bayang-bayang Eben. Pria itu tak hanya menghantui pikirannya, tetapi juga terus memerasnya dengan rahasia kelam yang ia sembunyikan dari Javier.Namun, mau sampai kapan ia seperti ini? Tentunya Viona tidak akan diam saja, anak buahnya telah ia perintahkan untuk menghabisi Eben ketika pria itu lengah. Viona berharap, Eben segera musnah agar tak ada yang mengganggu ketenangannya."Bunuh dia. Pastikan dia lenyap untukku," ujar Viona dingin, memberikan perintah kepada anak buah yang ia percayai.Ponselnya ia genggam erat, tekadnya semakin bulat. Ia harus menyingkirkan siapa pun yang bisa mengancam hidup bahagianya bersama Javier. Dan Javier, dia tidak boleh tahu apa yang Viona lakukan.Sebentar lagi, butuh waktu yang tidak lama. Rumah mereka akan kedatangan seorang bayi, Pamela sudah mengingatkan Viona untuk bersiap merawat bayi itu untuk mempertahankan pernikahannya bersama Javier."Apa uang yang aku kirim untuk
Selama Javier tidak ada di rumah, itulah kesempatan Eben dan Viona menguasai rumah tersebut untuk aktivitas panas mereka. Tidak ada yang melarang atau menghalangi, keduanya terlibat kedekatan yang begitu intens."Eben, sebaiknya kau pergi sekarang. Javier akan pulang hari ini," kata Viona dengan nada waspada saat ia melihat Eben santai menikmati wine dari koleksi pribadi Javier.Eben menoleh, senyum mengejek terukir di bibirnya. Ia tetap tenang meneguk sisa wine, lalu meletakkan botol ke meja dengan suara keras."Aku akan pergi, seperti yang kau minta. Beberapa hari ini sudah cukup untuk menikmati waktu denganmu," katanya, meraih Viona dan menekan bibirnya pada bibir perempuan itu. Viona hanya membalas, seakan terlena dalam genggamannya.Setelah itu, Viona mendorongnya perlahan. "Pergilah sekarang. Aku akan membereskan kekacauan kita di kamar sebelah."Eben mengangguk, mengambil jaketnya. "Aku akan menghubungimu lagi, dan kabari aku kalau suamimu pergi dinas lagi," ucapnya sambil berl
Di pertengahan musim semi, waktu yang Freya tunggu akhirnya tiba. David mengantarkannya ke rumah sakit untuk persiapan persalinan. Selama hamil ini, David memang yang menemani Freya untuk melakukan pemeriksaan sampai akhirnya tiba waktu untuk melahirkan.Saat berada di dalam ruang perawatan, David yang bukan siapa-siapa itu justru terlihat sibuk kesana kemari. Bahkan pria itu sudah menyiapkan pakaian bayi untuk anak yang akan Freya lahirkan sebentar lagi. Melihat David yang begitu peduli, Freya merasa sangat beruntung bisa mengenalnya."Aku sudah mengisi daya ponselmu, aku letakkan di sini. Kalau kau butuh sesuatu, segera hubungi aku," ucap David.Freya mengangguk, "Baiklah, tapi kau mau pergi kemana?" tanya Freya."Ada sedikit urusan penting di luar, jadi aku pergi sebentar," pamitnya.Satu jam setelah David pergi, Freya mulai merasakan sesuatu pada bagian perutnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Freya dipindahkan ke ruang persalinan. Bertepatan dengan itu David datang samb
Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang mudah, dan itu yang sedang Freya rasakan sekarang. Meski demikian, ia sangat menikmati menjadi seorang ibu. Tidak ada beban pikiran selain hanya memikirkan tumbuh kembang putranya, Felix.Tidak terasa tiga bulan telah berlalu, dan Freya tinggal jauh dari Javier tanpa komunikasi sama sekali. Freya memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumah tempat tinggal barunya untuk menanam sayuran, ia juga beternak ayam yang sebelumnya tak pernah Freya lakukan.Tapi tiga bulan terakhir ini, Freya menikmati pekerjaannya. Saat sedang memberi makan ayam, Freya mendengar tangisan Felix. Ia bergegas, membasuh tangan dan berlari menuju putranya."Felix, kau lapar?" Freya mengangkat bayi mungilnya dan memeluknya erat. Seolah merespon, tangis Felix mereda. Tangannya mencoba menggapai wajah Freya, membuatnya tersenyum haru."Kau merindukan Ibu, ya?" bisiknya dengan lembut, lalu mencium pipi bayi itu dengan gemas sampai ia sadar, wajah Felix sangat mirip dengan Javier.Fr
Setelah cukup lama waktu berlalu, Freya sangat menikmati hidup berdua dengan putranya. Dan hari ini, David datang untuk pertama kalinya sejak enam bulan yang lalu. Pria itu datang sambil membawa cukup banyak mainan. Dia langsung menghampiri Felix sambil meletakkan barang yang dibawanya."Hai, teman kecil!" seru David, dia mengangkat David dari kereta bayi sementara Freya memperhatikan dari kejauhan sambil berjalan mendekat membawa hasil panen perkebunan mini miliknya."Bagaimana kabarmu, David?""Sangat baik, maaf aku tidak pernah menghubungimu sama sekali. Anak buah Javier berusaha mengikuti kemanapun aku pergi, jadi aku perlu hati-hati agar mereka tidak berhasil menemukan dirimu," jawabnya.Freya masuk ke dalam rumah membiarkan David bermain bersama Felix. "Kau mau makan siang bersama kami?" seru Freya dari dalam."Tentu saja, sekarang aku akan menemani putramu bermain sebentar. Aku sangat merindukannya," balas David.Freya tersenyum tipis lalu pergi untuk memasak. Ketika Freya di d
Semenjak kedatangan Dylan di kediaman Javier, suara tangis bayi pun terdengar setiap hari. Namun Viona selalu enggan merawat bayi tersebut, dia menyerahkan perawatan bayi itu sepenuhnya pada pengasuh.Kecuali jika Javier ada di rumah, Viona akan menunjukkan sikap yang berbeda. Seolah-olah dia adalah ibu yang pantas untuk Dylan. Viona harus ingat tujuannya bahwa ia harus bisa mengendalikan Dylan saat anak itu dewasa nanti.Dengan begitu, Viona bisa tetap menjadi Nyonya Bennett. Viona yang tadinya sedang bersantai, bergegas bangkit dari kursi saat mendengar suara mobil Javier. Ia meraih Dylan yang dibawa oleh pengasuhnya."Berikan padaku, sekarang pergilah," kata Viona.Dylan yang sudah berusia enam bulan itu memperhatikan wajah Viona, seolah sedang mengamati."Jadilah anak yang baik, ayahmu akan datang sebentar lagi," bisik Viona, ia lantas berpura-pura bermain dengan Dylan ketika Javier masuk rumah.Javier melihat keberadaan putranya, lelah yang ia rasakan dari bekerja seharian seketik
5 tahun kemudian.Kehidupan Javier masih tak banyak berubah, namun sekarang dia lebih memfokuskan diri pada minat Dylan di bidang yang anak itu sukai. Dan, di usia yang masih terbilang sangat muda, Dylan sudah mempelajari pemrograman yang Javier ajarkan sejak Dylan baru bisa berbicara.Selama ini, Javier juga tidak pernah mencari Freya. Ia berusaha menganggap wanita itu hanya masa lalu yang harus ia lupakan, meskipun pada nyatanya ia masih memikirkan Freya beberapa kali."Tuan, besok kita akan ke Flemington untuk meninjau proses perusahaan cabang. Jadwal yang kita punya selama di sana adalah lima hari, jadi saya sudah mempersiapkan untuk perjalanan mulai besok pagi." kata asisten pribadi Javier.Javier berhenti, melihat jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore. "Atur semuanya, aku akan menjemput Dylan di sekolah." ucap Javier, ia pun pergi mengemudikan mobil ke tempat Dylan sekolah.Mobil Javier baru saja berhenti, seorang anak lima tahun itu berlari sambil menenteng tasnya."Ayah!
Pukul delapan pagi, Javier dan Dylan sudah berada dalam helikopter menuju Flemington. Perjalanan panjang dan angin lembut membuat Dylan tertidur, wajahnya damai di bawah sinar matahari pagi yang menerobos kaca.Ketika mereka tiba, Javier dengan hati-hati menggendong putranya ke kamar penginapan. Sementara Dylan masih terlelap, Javier meninggalkan pesan di meja dan bergegas menuju lokasi proyek untuk memeriksa perkembangan.Dylan terbangun dalam kamar yang asing. Ia melihat sekeliling dan kebingungan."Ayah?" panggilnya pelan.Namun ruangan itu hening. Tiba-tiba ia merasa cemas, dan langkah kecilnya segera membawanya keluar. Dylan melangkah ke koridor, mencoba mencari tahu di mana ia berada.Di saat yang sama, Javier baru saja selesai mengawasi proyek dan kembali ke penginapan. Ketika ia masuk ke kamar, perasaan khawatir menyergapnya, kaget melihat Dylan tak ada."Dylan?" panggilnya.Semua pintu ruangan Javier buka, tapi putranya tidak ada. Ia pun panik, padahal Javier meninggalkannya
Suasana makan malam itu dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lilin di atas meja makan memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di permukaan piring dan gelas kristal. Aroma masakan rumahan yang menggugah selera menyatu dengan tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu alami, menciptakan momen yang terasa seperti potongan kecil kebahagiaan.Freya duduk di bersebelahan dengan Javier, matanya menelusuri wajah-wajah yang dicintainya. Sesekali, pandangannya tertuju pada pasangan anak-anaknya yang duduk berdampingan, menikmati hidangan yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Ada senyum kecil di sudut bibir Freya, senyum penuh kebanggaan dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.Mereka berbicara dalam nada lembut, berbagi cerita tentang hari mereka, sementara suara denting garpu dan sendok sesekali terdengar, menambah harmoni pada suasana. Freya memperhatikan cara anak-anaknya saling bertukar pandang, tertawa pada lelucon sederhana, dan berbagi piring kecil
Kediaman rumah Javier hari ini seperti panggung pertunjukan yang dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Para pelayan berlarian ke sana kemari, menyiapkan meja, kursi, dan dekorasi untuk makan malam keluarga yang spesial malam ini. Suasana riuh rendah terdengar dari halaman belakang, di mana meja panjang sudah mulai diatur dengan taplakan putih bersih dan peralatan makan yang berkilauan. Bunga-bunga segar yang dipesan Freya tiba tepat waktu, menambah sentuhan keanggunan di tengah keramaian.Freya sendiri tampak bersemangat, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dari memeriksa bahan masakan hingga memastikan setiap detail dekorasi sempurna, ia ingin semuanya berjalan lancar untuk menyambut Eloise, anggota baru keluarga mereka."Jangan lupa hiasan bunga di tengah meja," pesannya pada salah satu pelayan sambil tersenyum. "Aku ingin semuanya terlihat istimewa."Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi yang menggebu-gebu. Meski anak-anaknya belum datang, Freya s
Hari itu cerah, dan sinar matahari menembus jendela apartemen Felix, memantulkan kilau halus di dasi sutra yang baru saja ia kenakan. Dengan gerakan cekatan, ia meraih kunci mobil dari meja, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi pagi yang masih hangat di udara.Pukul sembilan tepat, mobil sport hitamnya meluncur mulus ke arah gedung agensi. Dunia kerja menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang biasa, tapi hari ini terasa berbeda. Waktunya di agensi hanya sebentar karena jadwalnya padat, penuh dengan pertemuan penting bersama mitra-mitra bisnis.Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah ponsel di saku jasnya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia menunggu telepon dari Katie. Jawaban atas tawaran yang ia berikan semalam menjadi satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia dengar hari ini."Ada kemajuan pesat sejak kau mengambil alih hotel. Aku senang melihat bagaimana kau mengelolanya dengan baik," ucap Javier, dengan suara yang penuh kebanggaa
Pintu tertutup rapat dengan dentuman keras setelah Felix mendorongnya dengan kasar. Ia berbalik, nafasnya memburu, dan langsung bertemu dengan tatapan Katie.Namun berbeda dari yang ia bayangkan, perempuan itu tampak santai, terlalu santai, seolah situasi ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Tak ada jejak ketakutan atau khawatir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang sulit diterjemahkan."Aku sudah memberitahumu kalau aku hamil," kata Katie, suaranya ringan namun menusuk. "Dan kau juga pasti sudah tahu siapa ayah dari bayi ini."Felix mengepalkan tangannya."Aku hanya berpikir," lanjut Katie sambil memainkan melipat tangan di depan dada. "Janin ini masih sangat kecil. Jika aku mengeluarkannya sekarang, resikonya tidak terlalu besar."Felix merasa dadanya menghantam batu."Kau gila?!" serunya, langkahnya maju mendekat.Dengan frustasi, ia menyisir rambutnya ke belakang, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak akan mengizinkanmu menggugurkan bayi itu!"Katie mendesah pelan,
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan