Siapa kemarin yang mikir Viona itu terlalu baik, sekarang masih baik gak? Hehe~
Selama Javier tidak ada di rumah, itulah kesempatan Eben dan Viona menguasai rumah tersebut untuk aktivitas panas mereka. Tidak ada yang melarang atau menghalangi, keduanya terlibat kedekatan yang begitu intens."Eben, sebaiknya kau pergi sekarang. Javier akan pulang hari ini," kata Viona dengan nada waspada saat ia melihat Eben santai menikmati wine dari koleksi pribadi Javier.Eben menoleh, senyum mengejek terukir di bibirnya. Ia tetap tenang meneguk sisa wine, lalu meletakkan botol ke meja dengan suara keras."Aku akan pergi, seperti yang kau minta. Beberapa hari ini sudah cukup untuk menikmati waktu denganmu," katanya, meraih Viona dan menekan bibirnya pada bibir perempuan itu. Viona hanya membalas, seakan terlena dalam genggamannya.Setelah itu, Viona mendorongnya perlahan. "Pergilah sekarang. Aku akan membereskan kekacauan kita di kamar sebelah."Eben mengangguk, mengambil jaketnya. "Aku akan menghubungimu lagi, dan kabari aku kalau suamimu pergi dinas lagi," ucapnya sambil berl
Di pertengahan musim semi, waktu yang Freya tunggu akhirnya tiba. David mengantarkannya ke rumah sakit untuk persiapan persalinan. Selama hamil ini, David memang yang menemani Freya untuk melakukan pemeriksaan sampai akhirnya tiba waktu untuk melahirkan.Saat berada di dalam ruang perawatan, David yang bukan siapa-siapa itu justru terlihat sibuk kesana kemari. Bahkan pria itu sudah menyiapkan pakaian bayi untuk anak yang akan Freya lahirkan sebentar lagi. Melihat David yang begitu peduli, Freya merasa sangat beruntung bisa mengenalnya."Aku sudah mengisi daya ponselmu, aku letakkan di sini. Kalau kau butuh sesuatu, segera hubungi aku," ucap David.Freya mengangguk, "Baiklah, tapi kau mau pergi kemana?" tanya Freya."Ada sedikit urusan penting di luar, jadi aku pergi sebentar," pamitnya.Satu jam setelah David pergi, Freya mulai merasakan sesuatu pada bagian perutnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Freya dipindahkan ke ruang persalinan. Bertepatan dengan itu David datang samb
Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang mudah, dan itu yang sedang Freya rasakan sekarang. Meski demikian, ia sangat menikmati menjadi seorang ibu. Tidak ada beban pikiran selain hanya memikirkan tumbuh kembang putranya, Felix.Tidak terasa tiga bulan telah berlalu, dan Freya tinggal jauh dari Javier tanpa komunikasi sama sekali. Freya memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumah tempat tinggal barunya untuk menanam sayuran, ia juga beternak ayam yang sebelumnya tak pernah Freya lakukan.Tapi tiga bulan terakhir ini, Freya menikmati pekerjaannya. Saat sedang memberi makan ayam, Freya mendengar tangisan Felix. Ia bergegas, membasuh tangan dan berlari menuju putranya."Felix, kau lapar?" Freya mengangkat bayi mungilnya dan memeluknya erat. Seolah merespon, tangis Felix mereda. Tangannya mencoba menggapai wajah Freya, membuatnya tersenyum haru."Kau merindukan Ibu, ya?" bisiknya dengan lembut, lalu mencium pipi bayi itu dengan gemas sampai ia sadar, wajah Felix sangat mirip dengan Javier.Fr
Setelah cukup lama waktu berlalu, Freya sangat menikmati hidup berdua dengan putranya. Dan hari ini, David datang untuk pertama kalinya sejak enam bulan yang lalu. Pria itu datang sambil membawa cukup banyak mainan. Dia langsung menghampiri Felix sambil meletakkan barang yang dibawanya."Hai, teman kecil!" seru David, dia mengangkat David dari kereta bayi sementara Freya memperhatikan dari kejauhan sambil berjalan mendekat membawa hasil panen perkebunan mini miliknya."Bagaimana kabarmu, David?""Sangat baik, maaf aku tidak pernah menghubungimu sama sekali. Anak buah Javier berusaha mengikuti kemanapun aku pergi, jadi aku perlu hati-hati agar mereka tidak berhasil menemukan dirimu," jawabnya.Freya masuk ke dalam rumah membiarkan David bermain bersama Felix. "Kau mau makan siang bersama kami?" seru Freya dari dalam."Tentu saja, sekarang aku akan menemani putramu bermain sebentar. Aku sangat merindukannya," balas David.Freya tersenyum tipis lalu pergi untuk memasak. Ketika Freya di d
Semenjak kedatangan Dylan di kediaman Javier, suara tangis bayi pun terdengar setiap hari. Namun Viona selalu enggan merawat bayi tersebut, dia menyerahkan perawatan bayi itu sepenuhnya pada pengasuh.Kecuali jika Javier ada di rumah, Viona akan menunjukkan sikap yang berbeda. Seolah-olah dia adalah ibu yang pantas untuk Dylan. Viona harus ingat tujuannya bahwa ia harus bisa mengendalikan Dylan saat anak itu dewasa nanti.Dengan begitu, Viona bisa tetap menjadi Nyonya Bennett. Viona yang tadinya sedang bersantai, bergegas bangkit dari kursi saat mendengar suara mobil Javier. Ia meraih Dylan yang dibawa oleh pengasuhnya."Berikan padaku, sekarang pergilah," kata Viona.Dylan yang sudah berusia enam bulan itu memperhatikan wajah Viona, seolah sedang mengamati."Jadilah anak yang baik, ayahmu akan datang sebentar lagi," bisik Viona, ia lantas berpura-pura bermain dengan Dylan ketika Javier masuk rumah.Javier melihat keberadaan putranya, lelah yang ia rasakan dari bekerja seharian seketik
5 tahun kemudian.Kehidupan Javier masih tak banyak berubah, namun sekarang dia lebih memfokuskan diri pada minat Dylan di bidang yang anak itu sukai. Dan, di usia yang masih terbilang sangat muda, Dylan sudah mempelajari pemrograman yang Javier ajarkan sejak Dylan baru bisa berbicara.Selama ini, Javier juga tidak pernah mencari Freya. Ia berusaha menganggap wanita itu hanya masa lalu yang harus ia lupakan, meskipun pada nyatanya ia masih memikirkan Freya beberapa kali."Tuan, besok kita akan ke Flemington untuk meninjau proses perusahaan cabang. Jadwal yang kita punya selama di sana adalah lima hari, jadi saya sudah mempersiapkan untuk perjalanan mulai besok pagi." kata asisten pribadi Javier.Javier berhenti, melihat jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore. "Atur semuanya, aku akan menjemput Dylan di sekolah." ucap Javier, ia pun pergi mengemudikan mobil ke tempat Dylan sekolah.Mobil Javier baru saja berhenti, seorang anak lima tahun itu berlari sambil menenteng tasnya."Ayah!
Pukul delapan pagi, Javier dan Dylan sudah berada dalam helikopter menuju Flemington. Perjalanan panjang dan angin lembut membuat Dylan tertidur, wajahnya damai di bawah sinar matahari pagi yang menerobos kaca.Ketika mereka tiba, Javier dengan hati-hati menggendong putranya ke kamar penginapan. Sementara Dylan masih terlelap, Javier meninggalkan pesan di meja dan bergegas menuju lokasi proyek untuk memeriksa perkembangan.Dylan terbangun dalam kamar yang asing. Ia melihat sekeliling dan kebingungan."Ayah?" panggilnya pelan.Namun ruangan itu hening. Tiba-tiba ia merasa cemas, dan langkah kecilnya segera membawanya keluar. Dylan melangkah ke koridor, mencoba mencari tahu di mana ia berada.Di saat yang sama, Javier baru saja selesai mengawasi proyek dan kembali ke penginapan. Ketika ia masuk ke kamar, perasaan khawatir menyergapnya, kaget melihat Dylan tak ada."Dylan?" panggilnya.Semua pintu ruangan Javier buka, tapi putranya tidak ada. Ia pun panik, padahal Javier meninggalkannya
Keesokan harinya, Javier mempersiapkan putranya dengan lebih teliti. Hari ini ada pesta yang harus ia hadiri, dan ia ingin memastikan Dylan tampil memukau. Setelah memanggil penata busana, Javier menyaksikan bagaimana Dylan mengenakan pakaian resmi, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang membuatnya terlihat dewasa di usianya yang masih belia.Beruntungnya Dylan adalah anak yang patuh, dia akan menuruti Javier tanpa ada penolakan. Begitu malam harinya, Javier menyewa seorang bodyguard untuk menjaga Dylan agar tidak pergi jauh.Pesta diadakan pukul delapan malam, berdekatan dengan taman kota. Javier menghampiri putranya, membantu merapikan dasi di leher Dylan."Mungkin nanti ayah akan banyak bertemu dengan orang-orang di pesta. Jadi, kamu jangan pergi jauh lagi seperti kemarin.""Aku mengerti," jawab Dylan patuh."Anak pintar, sekarang ayo kita berangkat."Dylan mengangguk, mereka menuju ke pesta yang saat itu diadakan. Di pesta, Javier sibuk berbincang dengan kolega-koleganya, sedangkan Dy
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da