Kalimat David menembus keheningan, menciptakan ketegangan di udara antara mereka. Namun, sebelum Javier sempat merespons, Viona muncul dengan langkah cepat, memecah ketidaknyamanan yang menggantung di antara kedua pria itu."Apa Freya sudah sadar?" tanyanya.David menoleh, sedikit mengendurkan ketegangan yang sempat terbangun. "Dia sempat sadar sebentar, tapi kondisinya masih butuh banyak istirahat. Sekarang dia kembali tidur," jawabnya."Sykurlah," gumam Viona lega."Kalau begitu, aku permisi." pamit David, pria itu sempat melirik tajam ke arah Javier sebelum benar-benar berbalik dan pergi.Malam itu, Freya menghabiskan waktunya sendirian di kamar rumah sakit yang sunyi. Setelah berjam-jam perawatan, tubuhnya mulai terasa lebih baik. Kepalanya juga tidak pusing, tapi tubuhnya masih lemas.Perlahan Freya mengangkat tangannya, menyentuh keningnya. Keheningan mendalam melingkupinya, sampai dering ponsel yang tiba-tiba memecah keheningan. Nama Pamela muncul di layar, memaksa Freya menjaw
Keesokan paginya, tepat pukul sebelas, Freya meninggalkan rumah sakit dengan David di sisinya. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi ia lebih memilih menanggung rasa sakit itu ketimbang bermalam lagi di tempat yang terasa begitu dingin.Freya takut mimpi semalam datang lagi."Kondisimu belum sepenuhnya pulih. Kenapa tidak menunggu sampai kau benar-benar sembuh?" tanya David, khawatir.Freya menoleh padanya dan menggeleng pelan. "Aku tidak suka suasana rumah sakit," jawabnya dengan nada datar, berusaha menyembunyikan keresahan dalam hatinya.David mengantarnya hingga ke depan pintu kamar penginapan. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungiku," katanya."Terima kasih, David. Maaf sudah merepotkanmu," ucap Freya sambil tersenyum tipis.Setelah David pergi, Freya menutup pintu dan melemparkan pandangan ke sekeliling kamar. Barang-barang yang sempat ia jatuhkan sebelum pingsan masih tergeletak di sana.Ia membuka kantong plastik yang beris
Setiap kali Javier selesai, dia selalu pergi begitu saja, meninggalkan Freya dengan perasaan hampa. Tubuhnya, yang kini hanya menjadi tempat pelampiasan hasrat liar Javier, terasa semakin dingin setelah kepergian pria itu.Freya sadar, sepenuhnya sadar, bahwa dirinya kini hanyalah alat untuk Javier. Meski begitu, ia tahu, jika bukan karena dirinya yang pertama kali memancing perhatian Javier, pria itu mungkin tak akan pernah mendatanginya.Namun, mengapa meskipun ia berhasil membuat Javier datang padanya, rasa sakit yang ia rasakan justru semakin dalam? Setiap sentuhan, setiap ciuman, bukannya mengisi kekosongan dalam hatinya, malah semakin memperparah luka yang tak terlihat.Di sisi lain, setelah selesai bersama Freya, Javier kembali menyusul Viona yang sedang menunggunya dengan wajah sedikit kesal."Javier, kau dari mana? Aku mencarimu sejak tadi," gerutu Viona.Javier tersenyum, berusaha meredakan amarah istrinya. Ia merangkul Viona mesra, seperti seorang suami sempurna."Aku ke ka
Selama sisa waktu liburan yang masih ada, semua berlangsung seperti biasanya. Freya akan pergi dengan David, menikmati kebersamaan mereka yang singkat. Sementara Javier, tentu saja pria itu bersama istrinya.Tertawa bahagia seolah tidak terjadi apapun, sampai akhirnya mereka selesai menikmati waktu dua minggu liburan dengan menyenangkan.Besok, mau tidak mau mereka harus kembali ke Manhattan. "Kau masih tinggal berapa lama lagi di sini?" tanya Freya.David menoleh sekilas, sambil memilih souvenir yang tergantung di depannya. “Aku punya satu bulan liburan selama musim panas. Sebelum kamu datang, aku sudah di sini selama seminggu. Jadi, aku akan pulang seminggu lagi.”Setelah membayar souvenir yang dipilih, David menyerahkannya pada Freya. “Ini hadiah dariku,” katanya ringan.Freya tersenyum tipis saat menerima hadiah itu, sebuah bingkai foto yang dihias cangkang kerang kecil-kecil. "Apa yang akan kamu isi di bingkai ini nanti?" tanya David penasaran."Aku akan mengisinya dengan fotoku,
Liburan telah berakhir, dan kehidupan kembali kerutinitas di kediaman pribadi keluarga Javier. Freya, seperti biasa, melanjutkan tugasnya sebagai pelayan, mengurus segala kebutuhan majikan yang mewah namun selalu sibuk.Saat mereka tiba di rumah, Viona merenggangkan tubuhnya dengan lelah. “Liburan menyenangkan, tapi entah kenapa tubuhku butuh pijatan,” keluhnya. Dia kemudian melirik Javier yang tampak sibuk dengan ponselnya. “Ayo pergi ke spa,” ajaknya ringan.Javier menoleh, lalu kembali melihat layar ponsel. Tampak sibuk berkirim pesan dengan seseorang. “Sebentar, asistenku baru saja mengirimkan pekerjaan yang harus aku selesaikan,” lalu tanpa menoleh, Javier pun menuju ruang kerjanya.Viona mendesah panjang, ia melihat ke arah Freya yang sedang berkemas merapikan barang bawaan mereka. "Padahal libur musim panas masih belum berakhir dan kita baru saja sampai rumah, tapi lihatlah dia, masih saja sibuk dengan pekerjaannya," ucapnya menggerutu.Freya menoleh dengan tenang. “Nyonya, b
Hari masih sangat pagi, bahkan langit pun masih belum terang. Suara lantang Viona langsung menghantam keheningan, membangunkan Freya yang terlelap."Freya!" serunya, nada penuh otoritas.Freya tersentak, langsung bangun dari tempat tidur. "Nyonya," jawabnya terbata, kaget dan cemas.Viona berdiri dengan tangan terlipat, alisnya berkerut tajam. "Kau bekerja di rumah ini sebagai pelayan, tapi lihat dirimu, masih tertidur seperti ini di jam segini. Kamu pikir ini rumahmu?"Dengan kepala tertunduk, Freya hanya bisa meminta maaf, "Maaf, Nyonya."“Jam dua nanti teman-temanku akan datang. Kau harus siapkan makanan untuk mereka di halaman belakang. Pergi ke supermarket sekarang dan beli bahan-bahan yang berkualitas. Jangan sampai pukul dua semuanya belum siap!" perintahnya dengan tajam.Freya mengangguk patuh, lalu Viona pergi meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Freya hanya bisa menarik napas panjang, matanya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi. Jarang sekali Viona ban
Pukul sembilan malam, Freya akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Tubuhnya terasa begitu lelah, seolah akan roboh kapan saja. Tapi keadaan memaksanya terus bertahan. Rumah besar itu hanya diurus olehnya, setiap sudut dan setiap perintah harus dijalankan dengan sempurna, tanpa istirahat.Pukul sepuluh, Freya merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur. Sekujur tubuhnya seperti akan hancur, tapi begitu kepalanya menyentuh bantal, ia langsung terlelap dalam hitungan detik.Namun, bahkan dalam mimpi Freya tak bisa menemukan kedamaian. Sesuatu yang asing menyentuh tubuhnya, membuatnya gelisah. Sepasang kelopak matanya terbuka, dan betapa kagetnya ia melihat Javier berdiri sangat dekat di sampingnya."Jav—" Freya mencoba bersuara, tapi bibirnya langsung dibungkam oleh tangan besar Javier. Pria itu menggeleng, memberi isyarat agar Freya diam. Setelah itu, dia melepaskan tangan dari mulutnya."Apa yang kau lakukan di kamarku tengah malam seperti ini?" Freya berbisik, cemas.Javier menyeringa
Hari demi hari pun berlalu sampai Freya mulai muak dengan pekerjaan yang membuatnya seolah menjadi budak. Kalau bukan karena beban tanggung jawab terhadap kesehatan adiknya, mungkin Freya sudah meninggalkan rumah itu sejak lama.Setelah beberapa bulan tinggal di rumah itu, untuk pertama kalinya Freya memberanikan diri untuk mencoba alat tes kehamilan. Detak jantungnya berdegup kencang, berharap dengan cemas menunggu hasil yang akan terlihat.Namun, setelah beberapa menit berlalu, ia hanya bisa menelan kekecewaan karena alat tersebut masih menunjukkan garis satu."Apa mungkin yang tidak bisa memberikan keturunan adalah Javier?" gumamnya, karena Freya yakin kalau periode bulanan yang ia alami selalu lancar setiap bulan.Pasti ada yang tidak beres, dan Freya curiga kalau Javier lah yang bermasalah. Alat tes tadi Freya buang ke tempat sampah begitu saja, kemudian pergi. Tapi ia kaget karena Viona berdiri di depan pintu kamarnya seperti seseorang yang sedang mengawasinya."Ada yang bisa sa
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap J
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan
Malam itu terasa begitu sunyi, hanya suara angin dingin yang berhembus lembut di antara mereka, seperti ikut menyaksikan ketegangan yang memenuhi udara. Avery berdiri kaku, matanya menatap Daniel dengan sorot tidak percaya. Kata-kata pria itu barusan terus terulang di benaknya, menggema tanpa henti. Daniel merindukannya?Ia merasa bingung, hampir tidak bisa memahami maksud semua ini. Bukankah Daniel telah menolaknya dengan mudah musim panas lalu? Lalu, mengapa pria ini datang seakan memberikan kesempatan lagi.Akhirnya, Avery menarik nafas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Namun, ketika ia kembali membuka mulut, suaranya terdengar bergetar. “Aku berterima kasih atas semua hadiah yang kamu berikan padaku. Tapi kau tidak perlu melakukannya lagi.”“Avery, aku hanya ingin—”“Berhenti, Daniel!” potong Avery dengan nada tinggi. Ia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Daniel yang penuh dengan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Jangan membuatku berharap akan
Melihat Gabriel yang tidak melawan, Daniel segera meraih tangan Avery dan menuntunnya menjauh dari tempat itu. Sentuhan tangan Daniel membuat Avery terkejut, dan meski ia menurut, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin pria ini tiba-tiba muncul di sini? Kebetulan? Atau… dia mengikutiku?Ketika mereka sudah cukup jauh dari Gabriel, Avery berhenti dan menarik tangannya dari genggaman Daniel. Pria itu berbalik, menatap Avery dengan sorot bingung."Bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di depanku seperti itu?" tanya Avery dengan nada curiga.Daniel menghela nafas pelan sebelum menjawab, "Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Dulu saat kita pertama bertemu, kau pernah bilang kalau sekolahmu ada di daerah ini. Tak kusangka, saat berjalan di sekitar area sekolahmu, aku justru melihat sesuatu yang sangat... tidak terduga." Ucapannya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan keseriusan.Avery memandang Daniel dengan ragu, mencoba mencerna jawabannya. Apakah itu benar, atau
Semenjak Avery menemukan hadiah saat hari ulang tahunnya di depan pintu apartemen, kini ia justru lebih sering mendapatkan hadiah lain yang tidak ia sangka. Setiap hari, selalu ada setangkai bunga mawar di depan pintu unit apartemen dengan kata yang sama."Untuk Winter Avery."Dan kini Avery semakin bingung dan penasaran, siapa orang yang memberinya hadiah-hadiah itu. Mungkinkah dia orang yang dikenalnya? Atau jangan-jangan adalah Gabriel? Avery menggeleng, ia hampir saja membuang bunga yang ia dapatkan di depan pintunya jika bunga itu dari Gabriel, tapi tangannya berhenti sejenak."Bagaimana kalau ternyata bukan dari Gabriel?" batinnya.Ia menggeleng pelan, akhirnya membawa masuk setangkai bunga mawar itu dan memasukkannya ke dalam vas bunga. Di sebuah meja di sudut ruangan, Avery menatap beberapa kotak dan juga bunga yang sebelumnya dikirim untuknya, semua barang yang dikirim memiliki kata yang sama, yaitu 'Untuk Winter Avery'.Semua barang itu berarti dikirim oleh orang yang sama d
Selesai mengikuti kegiatan, Avery dan Nancy berjalan keluar dari aula, berbagi tawa ringan sambil bercanda. Namun, langkah mereka melambat ketika melihat Gabriel berdiri di dekat tangga jalan keluar, bersandar dengan sikap santai yang terlalu mencolok. Senyumnya yang setengah menggoda langsung menarik perhatian, meskipun tidak untuk Avery.“Oh, lihat siapa yang menunggu,” bisik Nancy, menyikut Avery dengan cengiran kecil.Avery hanya mendesah malas. "Aku tidak punya energi untuk meladeni pria itu."Tanpa mengubah ekspresi, Avery terus berjalan melewati Gabriel, mengabaikan pria itu seolah dia hanyalah tiang lampu di pinggir jalan. Tapi, Gabriel tidak menyerah begitu saja.“Avery, aku perlu bicara denganmu,” panggilnya, nada suaranya terdengar tegas namun menggoda.Avery berhenti sejenak, menoleh setengah hati. “Tidak ada yang perlu dibicarakan antara kita,” jawabnya dingin, melanjutkan langkah tanpa menunggu tanggapan.Gabriel mendecih, tapi ia tidak menyerah. Saat Avery hampir mencap