Sepotong sandwich berisi telur goreng dan sayuran berada di depanku. Aku berjengkit, katanya aku dan Scarlet adalah orang yang sama. Bagaimana bisa ia menyukai sesuatu yang paling ku benci didunia. Aku ingin makan pasta!
"Ma,aku mau pasta"
"Kita tidak punya pasta sayang. Biasanya kamu tidak minta pasta. Oh ini milikmu, biskuit kacang" Mama meletakkan sepiring kecil biskuit kacang di depanku.
APALAGI INI? Aku membenci kacang! Scarlet serius kau menyukai tanaman itu? Aku akan membunuhmu jika kita bertemu lagi nanti.
"Aku benci kacang.Mama tidak punya rasa Strawberry? " tanyaku merajuk.
Mama, Papa dan laki laki asing itu menatapku dengan kerutan di dahi mereka masing masing. Aku hanya menatap mereka datar. Mama menyipitkan mata ketika mengganti sepiring biskuit kacang dengan biskuit strawberry. Aku hanya mengedikkan bahu sambil mendorong jauh jauh sandwich telur itu. Aku mulai makan dengan tenang.
"Jadi,bagaimana rambut Kakak bisa berubah dalam satu malam? Kakak diam diam pergi ke salon ya?" Tanya cowok itu penuh selidik.
"Aku tidak tau" jawabku lugas.
"Mana ada yang seperti itu?" Protesnya.
"Keracunan shampo mungkin" sungguh ini alasan terbodoh yang pernah ku punya.
"Ada shampo yang memberi efek warna sebagus itu? Aku juga mau dong rambut Kakak.Belum pernah loh di kota ini yang seperti itu" ocehnya.
"Oh"
"AKU SERIUS" teriaknya tiba tiba membuat sekeping biskuit ku menggelinding dan nyelip di celah lantai kayu.
"Kalian cepat berangkat.Sudah siang loh" ujar Papa melerai. Kelihatannya Papa Mama percaya rambutku keracunan shampo.
Papa di duniaku tidak pernah peduli pada pukul berapa aku berangkat. Yang terpenting baginya adalah bekerja.Papa hanya mempedulikan daftar hadir karyawannya tanpa mau tau anak anaknya absen atau tidak. Papa di duniaku berlomba lomba menanam investasi di banyak perusahaan besar, tidak peduli bagaimana cara anaknya berkembang. Papa di duniaku sering marah, membentak, dingin dan arogan bahkan di depan keluarganya sekaligus. Papa di dunia Scarlet asyik, banyak tersenyum, peduli dan ramah.
Aku tidak tau betapa bedanya alam kami.Aku sedikit tersenyum, meskipun mereka bukan keluargaku yang asli, aku senang melihat Papa memakai baju santai di pagi hari bukannya jas mewah yang membuat kami segan. Aku juga menikmati tampilan Manna yang tidak memakai benda benda bermerk. Hanya gaun lusuh dan apron yang melekat di tubuhnya. Aku seperti sedang bermimpi.
"Dimana Laurent?" Tanyaku ke cowok yang memanggilku Kakak itu ketika kami sedang memakai sepatu di depan pintu rumah.
"Siapa Laurent?" Tanyanya balik.
"Kakakku,Royce Laurent Valerius" jawabku setengah hati.
"Tidak ada yang namanya Laurent di rumah ini" katanya. Hatiku bergetar sama seperti pipis mataku.Di dunia ini , Laurent tidak pernah lahir.
"Lalu kau siapa? Kakakku yang lain?"
"Aku adikmu, bodoh" tukasnya.
"Aku anak bungsu! Adik apanya? Adik dari Hongkong?" Teriakku tidak terima. Jelas.
"Kau ini kenapa? Kenapa kau aneh sekali? Seolah olah kau bukan Scarlet"
Memang bukan
"Jadi namamu siapa bocah?"
"Charlieo Raven Valerius dan jangan tanya lagi" jawabnya marah.
"Charlieo ya" gumanku.
"Panggil aku dengan benar! RAVEN" Dia meneriakiku untuk sekian kalinya. Berani sekali dia.
"Gagak" aku tersenyum usil.
"RAVEN"
Aku meninggalkannya yang masih berteriak Raven Raven dan Raven. Aku membuka pintu, udara dingin menerpa wajahku. Salju setinggi lutut menyelimuti halaman rumah kecil ini.
"Semalam badai salju" Raven menghela nafas panjang. Mungkin adik Scarlet itu membenci salju.
"Aku benci jika harus menyapu halaman. Untung kita sekolah ya Kak. Kalau tidak bisa bisa Mama menyuruh kita melakukannya" katanya.
Alih alih menanggapinya, aku terjun bebas ke halaman. Aku berguling guling ke salju yang sangat tebal. Seumur hidupku tidak pernah aku menemui yang namanya salju di depan rumah. Aku pernah 3 kali melihat salju waktu liburan di luar negri. Dan kini yang ada di hadapanku adalah salju.
Aku memutuskan untuk menginap di dunia Scarlet semalam saja atau sampai musim semi juga boleh. Toh pasti Scarlet tengah bersenang senang dengan duniaku sekarang. Aku punya banyak benda yang tidak dimilikinya termasuk koleksi alat riasanku. Berbicara soal riasan, Scarlet tidak memiliki alat perias sama sekali. Hanya pelembab bibir tanpa warna. Aku tidak pernah tau diriku di dunia lain akan se kuno ini. Nanti aku beli riasan saja lah.
"Apa kau harus senorak itu?" Cibir Raven.
"Ayolah ini menyenangkan"
Raven langsung menarik paksa diriku agar berdiri.Butiran salju mulai mencair dan membasahi seluruh bajuku. Raven menaikkan tudungku dengan tidak benar. Aku langsung berlari menyusulnya di garasi. Seharusnya aku tidak terlalu senang dahulu. Tidak ada mobil di garasi, hanya ada 3 sepeda pancal dan sebuah gerobak.
"Naik sepeda?" Tanyaku tidak senang.Raven langsung menoleh ke arahku dan menatapku bingung.
"Tidak ada mobil?" Tanyaku lagi. Kerutan di dahinya semakin curam dan dia masih terdiam.
Yah diamnya saja sudah menjelaskan betapa miskinnya keluargaku di dunia ini. Seketika aku langsung menyesal pernah mengejek mobil mobil butut jelek milik teman temanku yang kurang beruntung. Disini kami bahkan tidak mempunyai sepeda motor.
Raven masih terdiam, anak itu tidak mengatakan apa apa sama sekali. Dia menatapku dengan tatapan aku-tidak-tau-ternyata-kau-sudah-menjual-akal-sehatmu. Dia hanya mengedikan dagu memyuruhku naik ke boncengannya. Dengan berat hati aku menuruti perintahnya. Aku hampir menangis darah menyaksikan kesengsaraan didunia ini. Bagaimana aku yang satunya itu bisa bertahan selama 17 tahun disini.
Angin dingin menerpa wajahku kembali membuat senyuman di bibirku tercetak lagi. Tidak memiliki harta bukan akhir dari segalanya kan? Setidaknya aku masih bisa menikmati salju disini. Di duniaku, aku menempati negara yang hanya mempunyai 2 musim. Tak apalah naik sepeda yang penting sampai di sekolah.
Rasa gembira langsung menyeruak di hatiku ketika wujud sekolahan tampak di depan mata. Tidak ada bedanya dengan sekolahku di duniaku yang asli. Yang membedakan hanyalah tidak ada air mancur di halamannya. Temboknya juga berupa batu bata dan semen. Tidak ada warna warni cat sama sekali. Aku berjalan dengan canggung menuju sekolahan itu. Di kejauhan ada seorang laki laki yang sedang bermain air dengan tangannya. Tunggu,apa dia menciptakan air dengan kedua tangannya? Sungguh? Mereka bermain sihir?
"Mereka aneh, apa cowok itu menciptakan air?" Tanyaku ke Raven.
"Apa kau tidak pernah melihat ini sebelumnya?" Tanyanya balik namun dia terdengar seperti menyindir.
Aku menggeleng.
"Omong kosong macam apa ini? Scarlet kau jangan mempermainkanku. Ku peringatkan kau! Dan juga jangan berurusan lagi dengan mereka. Kau selalu saja merepotkan, kita ini hanya manusia biasa" kata Raven mulai kesal. Dia bahkan mengancamku.
Aku menikam perutnya dengan tangan kosong. "Beginikah caramu berbicara dengan Kakakmu?" Tanyaku tajam. Raven hanya meringis kesakitan lalu menatapku sebal.
"Lalu mereka itu apa?" Tanyaku pada akhirnya.
"Entitas" jawab Raven seraya mengangguk mantap.
"Sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda. Mereka manusia sih hanya saja memiliki sedikit cipratan kekuatan dewa. Kasarannya seperti itu, namun ada juga yang bilang mereka adalah keturunan dewa. Yang pasti sih mereka tidak sama seperti kita" jelas Raven setelah melihat ekspresi wajahku yang seperti orang culun.
Kepalaku semakin pusing. Aku butuh sekantung penuh tanda seru untuk memahami dunia Scarlet.
Aku Demitria Scarletta Valerius, gadis 17 tahun yang menjalani kehidupan normal sedang mati matian menahan hasrat untuk tidak berlari sambil berteriak AKU BUKAN BAGIAN DARI DUNIA INI.
Raven dirangkul seseorang berbadan besar dengan kasar. Dia lebih terlihat seperti diseret. Lucunya dia hanya diam saja. Aku hendak menjambret lengan Raven agar terbebas dari mereka. Namun sebuah suara tawa menghentikanku. Tawa yang tidak asing bagiku. Aku menoleh ke sumber suara yang ternyata berasal dari tadi menciptakan bola bola air. Aku berjalan ke arahnya dengan harapan yang luar biasa besar. Aku berharap orang yang sedang tertawa itu maampu mengobati perasaan rinduku di duniaku. Aku berjalan ke arahnya pelan pelan sambil mencerna perkataan Raven tentang Entitas Entitas tidak jelas itu. Aku memegang bahunya, dia langsung menoleh. Wajahnya tetap seperti biasanya, tampan dan menawan membuatku terlupa akan air aneh yang muncul secara misterius dari telapak tangannya.
Aku tersenyum manis namun sebagai balasannya, bola air yang berputar di tangannya melesat lari ke wajahku. Aku gelagapan tentu saja. Ada sebagian yang masuk ke dalam hidungku. Tapi yang lebih gawat adalah wajahku yang membeku.
"ANSEL"
Pernahkah kalian berfikir bahwasanya dunia parallel itu benar adanya? Dunia yang sama persis dengan dunia kita. Penduduk yang sama dan cerita kehidupannya sama pula. Aku percaya bahwa bumi bisa berjumlah sebanyak bintang bintang yang terhampar di angkasa raya. Dunia itu benar benar ada dan berinteraksi dengan kita.Tertawalah jika kalian menganggap ini lelucon dan simaklah, bacalah sampai akhir jika kalian percaya dengan omong kosong ini. Apakah kalian pernah membayangkan seperti apa diri kalian di masa sebelumnya? Atau mungkin masa yang akan datang?Seperti misalnya, kebanyakan dari kita melihat wujud dinosaurus melalui tulang belulang yang ditemukan dan disatukan kembali menjadi sebuah kerangka makhluk zaman purba. Atau kita biasa melihatnya melalui sebuah proyeksi, gambar di atas kertas dan visual di layar gadget. Kita tidak pernah tau seperti apa wujud aslinya. Apakah benar benar seperti yang kita lihat selama ini atau tidak.
Aku melewatkan makan malam dengan berdiam diri di depan cermin persegi milik toilet sekolahan yang kini beralih ke meja belajarku. Aku masih menatap diriku yang ada di dalam cermin.Aku memutar bola mata dan yang ada di dalam cermin juga begitu. Tidak pernah seumur hidupku memandangi cermin sampai 3 jam begini. Aku menghela nafas, seketika aku jadi merinding sendiri. Menurut cerita yang beredar di kalangan penduduk sekolah, toilet cowok adalah tempat angker nomor 3 setelah laboratorium bahasa dan gudang penyimpanan. Aku sih tidak terlalu mempercayai hal itu. Akan tetapi kejadian siang tadi benar benar membuatku terpana dimana aku melihat pantulanku bertindak seenaknya. Mungkin saja itu adalah tipuan proyeksi karya anak anak genius dan jahil.Atau bisa saja sebenarnya aku memiliki kembaran tak kasat mata yang bisa ku lihat hanya melalui cermin. Namun jika benar seperti itu maka seharusnya ini bukan kali pertama mengalami peristiwa macam ini. Kembali ke logika
Sesuai janji Laurent, aku menyetir mobilnya ke sekolah. Laurent meneriakiku agar berjalan cepat dan jika aku menambah sedikit kecepatan, maka ia akan mendepak kepalaku agar aku berhati hati. Kami sampai di sekolahan tepat saat bell berbunyi. Laurent menggerutu tentang penyesalannya yang mengizinkan bayi kemarin sore menyetir mobil. Aku langsung melempar kunci mobil itu ke dada pemiliknya dengan sedikit lebih keras. Aku berjalan memasuki kelas dan langsung di sambut oleh berita Demitria memasuki toilet laki laki.Sahabatku Asheelin langsung menerjangku dan mulai menginterogasiku."Jadi apa benar kau masuk ke toilet cowok?" Itu pertanyaannya alih alih menyapaku."Itu benar" jawabku tidak minat sama sekali."KAU GILA! KAU BISA DI HUKUM DETRA!""Lalu bagaimana lagi jika aku sudah kebelet? Apa aku harus buang air kecil di depan pintu kamar mandi? Di bawah pohon? Begitu?" T
Aku menggendong tas ku sambil merapat rapat di tembok. Aku sedang memastikan tidak ada seorang pun yang ada di sekitar ku. Sekiranya aman, aku langsung mengeluarkan benda (cermin) itu. Tidak ada Scarlet. Hanya ada diriku yang sedang melongo. Aku benci jika harus menunggu apalagi yang tidak pasti seperti ini. Scarlet tidak bisa di tebak kapan munculnya. Bisa saja kan sekarang ini dia ada di depanku hanya saja sedang menyamar. Dia hanya pernah muncul 2 kali."Scarlet" bisikku."Scarlet""SCARLET!!!!" Habis sudah kesabaran."Berisik sekali"Jantungku mencelos mendengar suara berat itu. Aku berbalik dan mendapati cowok super ganteng bernama Ethan berdiri di belakangku. Aku langsung menyembunyikan cermin itu ke belakang tubuhku. Raut wajah Ethan terlihat datar dan tidak memiliki minat untuk menghajarku. Biasanya anak ini main pukul kalau melihat ada orang bodoh di daerahnya. Dan aku salah satu o
Tamat? Tentu saja tidak,karena aku membuka mata lagi keesokan harinya. Kepalaku dilanda pusing tapi tidak ada luka sedikitpun di tubuhku. Aku yakin kemarin kepalaku mengeluarkan se ember darah. Apa yang terjadi sebenarnya?Aku segera bangun dan menuruni tangga. Mama sedang memasak sementara Papa, entah apa yang sedang dilakukannya. Biasanya Papa membaca koran atau berkutik dengan laptop di pagi hari. Tapi untuk hari ini beliau sedang merangkai kotak kotak yang kuyakin itu adalah kotak kue. Apa Mama akan mengadakan arisan? Ada acara keluarga? Lantas untuk apa Mama memasak? Apa dia sudah memecat semua pembantunya?"Pagi Ma, Pa" Tiga kata yang selalu ku ucapkan untuk memulai hari yang membingungkan."Pagi sayang" sapa mereka balik.Aku hampir kehilangan pita suaraku. Jika aku mengucapkan kata itu biasanya Papa hanya menanggapi dengan gumanan atau hanya berupa suara koran yang di balik. Sementara Mama tidak pernah mengucapkan selamat pagi untuk anak anaknya.