“Kau membentakku? Berani sekali kau”
Bola air kembali terlempar ke wajahku. Ansel dan teman temannya tertawa. Apakah Scarlet tidak berpacaran dengan Ansel? Tapi bagaimana bisa?
"Ansel, aku Demitria, pacarmu"
Tawa khas anak laki laki menggelegar. Aku melihat pusaran air di belakang tubuhnya. Bagai kilat yang menyambar, air itu sudah membelit tubuhku dalam satu kedipan mata. Aku berputar di tengah pusarannya membuatku tampak seperti penari amatiran yang kemudian terlempar dalam keadaan berlutut di bawah kaki Ansel. Ini gila! Memalukan!
Aku tidak kenal Ansel yang ada di dunia ini. Ini bukan Anselku. Ansel yang ada ku kenal akan selalu memelukku di pagi hari sebagai ucapan selamat paginya. Ansel yang ku kenal tidak akan menggunakan kata-kata kasar sekalipun ke perempuan selain aku. Ansel ku lembut dan tidak pecundang. Aku mengepalkan Tangan di tanah. Ansel yang ini membuatku marah.
" Hei Scarlet kenapa apa rambutmu berubah lumutan hm? Apa kau sedang mencoba trend baru agar terlihat mencolok? " tanya Ansel (masih tertawa tawa).
Peduli setan dia Anseleo atau bukan. Aku tidak akan memaafkannya. Aku berdiri, mengangkat wajahku dengan jemawa dan menatapnya tajam. Ansel baru berhenti tertawa ketika aku maju satu langkah mendekat. Jarak kami sangat dekat bahkan jika aku mendongak ke atas aku bisa menghajar dagunya dengan kepalaku. Akan lebih seru jika aku melakukannya bukan.
Dugh!
"Sial" umpatnya.
Shhhhr...
Aku langsung dibalut air panas. Kulitku seperti hendak melepuh. Ansel mengusap dagunya murka. Ia menggerakan sedikit jari jari tangannya dan air itu semakin melilitku. Aku tidak bisa bernafas dengan baik sebab tali air itu sangat erat. Padahal ini hanya air tapi kenapa rasanya sakit sekali. Ansel mendekat, membungkukan badannya, tangannya bertumpu pada lutut. Dia menyeringai kejam ke arahku.
"Kau tertarik kepada maut?" tanyanya penuh kemenangan.
Raven berteriak dan langsung bersimpuh di depan Ansel. Aku membulatkan mata melihatnya. Anak itu bahkan sampai memohon mohon agar aku dilepaskan. Dia berjanji aku tidak akan membuatnya marah lagi. Aku menatap nanar adik Scarlet. Rasanya aku ingin menendang punggung anak ini. Kenapa pula ia bersimpuh di depan setan.
"Hei gagak! Bangun kau, apa yang kau lakukan bodoh? " bentakku geram.
"Tuan Ansel, saya mohon lepaskan Kak Scarlet. Mungkin hari ini dia sedang kerasukan... "
Aku menendang punggung Raven dengan kakiku yang sedikit bebas. Raven mendelik ke arahku lalu menatap Ansel lagi dengan tatapan sok imutnya. Ansel memegang puncak kepala Raven lalu mendorongnya. Aku tersenyum mencoba tenang. Mati matian aku menahan hasrat ingin memotong telinga kanan Ansel.
"Tidak...terimakasih air hangatnya yang membuatku nyaman di pagi hari yang beku ini" ujarku santai.
Ansel melongo mendengar perkataanku. Mendadak segel air ini lepas dari tubuhku. Anehnya seragamku tidak basah malah terasa lebih hangat. Kudapati Ansel mundur beberapa langkah.
"Haha... Haha... HAHAHA... tidak bisa ku percaya manusia biasa berkata seperti itu. Sombong sekali kau di depan Entitas. Dapat darimana keberanian itu? Kolong kasur? "
Semua orang terbahak bahak (kecuali Raven) bahkan ada yang sampai berguling guling di atas tanah bersalju. Mari kita lihat apa masih ada yang bisa tertawa seperti itu. Mereka akan menanggung akibatnya karena telah membuat seorang Valerius murka. Aku membuka jam tanganku yang kebetulan terbawa ke dunia Scarlet dan memperlihatkannya di depan Ansel. Di dalam jam itu terdapat fotoku dan Ansel (di duniaku) tengah tersenyum lebar. Ansel (di duniaku) sedang memelukku dari belakang.
Gravitasi kembali hilang dari muka bumi. Angin sejuk menyengat lenganku. Aku menoleh dan mendapati makhluk bernama Grandia tengah menatapku galak.
"Sudah ku peringatkan, jangan membuat kerusuhan" kata Grandia.
"Menurutmu aku diam saja saat orang lain berbuat seenaknya kepadaku? Jangan harap"
"Ini dunia Scarlet, jadi tolong jaga namanya"
"Ngomong ngomong soal Scarlet... ", aku menjeda kalimatku sebentar. "Dimana anak itu sekarang? "
"Di duniamu, dia sedang mengurung diri di kamar. Duniamu terlalu gemerlap baginya. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri" jawabnya.
"Jadi kapan aku bisa kembali ke dunia gemerlap ku itu?" Tanyaku sedikit menekankan di akhir kata. Entah kenapa mendengarnya dari mulut lelaki itu terasa seperti sebuah penghinaan.
"Aku masih mengumpulkan data" jawabnya santai.
"Cepat selesaikan, aku bisa gila lama lama disini tau"
"Aku akan segera menyelesaikannya dengan cepat" mata unik Grandia melirik ke Ansel, Raven lalu diriku. "Tolong kerjasamanya"
Aku sempat mencibirnya sebelum ia pergi tanpa berpamitan dengan benar. Sepeninggalan Grandia, keadaan kembali normal. Ansel masih menatapku bingung. Aku juga mencibirnya sebelum meninggalkan cowok itu. Tidak ada yang bisa ku andalkan di dunia ini.
Aku berbalik arah untuk menendang bokong Raven. Dia langsung berdiri dan mendelik tajam ke arahku.
"Bangun! Jangan jadi pecundang" salakku.
Aku berbalik lagi menuju kelas.
Kepalaku nyaris terbelah memikirkan dunia ini. Sebenarnya ini dunia sihir atau dunia dimana spesies sepertiku ditendang jauh jauh. Aku merana di dunia orang. Di saat saat seperti ini aku membutuhkan Grandia.Pertama, aku ingin les kepadanya tentang dunia aneh ini. Kedua, aku mau menuruti kata katanya agar cepat terbebas dari dunia ini. Dan yang terakhir, tentu saja aku mau memanfaatkan wajahnya yang tampan demi kesehatan mataku. Bubur ayam yang sedari tadi hangat ketika ku ajak curhat perlahan ia mulai dingin. Aku menyukai segala hal di dunia Scarlet minus kehidupan sekolahnya dan keadaan ekonominya.Biasanya aku memesan pasta,sapi panggang, kari ayam dan seafood. Tetapi begitu aku merogoh saku ku, ternyata aku seharusnya berdiri di barisan rombong bubur ayam, mie kuah dan sup panas. Aku duduk dengan canggung di pojokkan kantin. Mataku tak pernah putus dari adik Scarlet sejak 10 menit yang lalu. Raven mondar mandir kesana kemari m
"COWOK SETAN"Aku membuat boneka salju di tepi danau yang beku (di duniaku tempat ini berupa minimarket). Ada 4 boneka salju besar tak berbentuk. Masing masing ku beri nama, dari yang paling timur Ethanez, Louis, Clarion, Ferrars. Aku menjerit jerit bak orang kesetanan sambil menendangi mereka satu per satu. Aku benar benar kehilangan akal sampai sampai kucing lewat pun ku hantam bola salju sebesar kepalan tangan. Hewan itu memberenggut kesal lalu menghilang dari balik pohon. Suara helaan nafas terdengar lagi dan lagi. Aku langsung menatap tajam makhluk itu. "Suara nafasmu mengganggu" salakku setengah ingin menelannya. "Kenapa harus berurusan dengan Entitas Mulia sih? " Tanya Grandia jeng
Pukul sebelas malam, salju turun dengan indah. Aku masih sadar (belum tidur) dan tengkurap di kasur. Setengah dari kasurky melesak dibebani bobot sebesar remaja laki laki berusia 16 tahun. Meskipun dia ini adik, seharusnya dia sadar diri dong ranjang kecil reyot ini bisa remuk jika ditumpangi dua manusia yang beranjak dewasa. Anak ini tidak mau keluar dari kamarku beberapa malam terakhir. Dia menguping pembicaraanku dan Grandia waktu itu. Namun anehnya Raven tidak mempertanyakan soal Grandia. Dan kata Grandia, tidak ada yang bisa melihat keberadaan Guardian Angel selain orang yang di jaga, sesama Guardian Angel dan Entitas Mulia."Aku sudah merasa sejak awal sebenarnya kau bukan Kakakku"Aku mendengar ini sebanyak 4 kali dalam satu malam. Itu masih belum di jumlahkan dengan malam malam sebelumnya.Aku sedang melakukan gencatan senjata. Raven mendesakku agar aku mengaku bahwa aku bukanlah Scarlet. Aku menanggapinya dengan g
"Kau mau menjadi bintang di hidupku ?” Tanya nya gamblang.Senyum laknat hampir tercetak di wajahku. Siapa yang tidak oleng (goyah) oleh perkataan manis dari lelaki yang berwajah seperti dirinya."Jaga jarak dariku sejauh bintang dan bumi" lanjutnya.Senyum di bibirku luntur. Aku menatapnya dengan tatapan Apa-kau-tertarik-untuk-menjadi-produk-unggulan-di-pasar-perdagangan-manusia?Ethan nyengir lebar. Deretan gigi putihnya menbuatku kehilangan panca indra. Lain kali kalau Ethan mau main ke duniaku, aku akan memberikannya ke Papa dan dijadikan model pasta gigi.Sebuah pertanyaan tanpa dasar melambung tinggi menabrak otakku."Kau yang dekat dekat denganku" tuntutku tidak terima."Kapan aku mendekatimu? " Tanya Ethan datar. Dia sudah kembali ke Ethan yang sejati.Iya, kapan Ethan mendekatiku?"Bu
"Usiaku 220 tahun"Mendadak aku sepucat salju di luar. Otakku yang tumpul mencerna pengakuan itu dengan susah payah. Aku mengamati wajah Grandia yang serba putih itu. Tidak ada kerutan sama sekali. Wajahnya juga tidak terlihat seperti seorang buyut."10 tahun untukku, seratus tahun untukmu" jelas Grandia yang melihat banyak tanda tanya di atas kepalaku. Aku masih tidak mengerti."Jangan nenbicarakan matematika denganku. Otakku tumpul untuh hal itu" ucapku sarkastik. Grandia tersenyum, gerakan yang mampu meruntuhkan tulang kakiku."Usiaku memang 220 tahun. Tapi bagi kalian (manusia) usiaku tercatat 22 tahun"Aku mendesah lega. Yah dia tidak tua tua amat."Jadi kau tadi mau bicara apa? " tanyaku."Ah... Entitas. Karena kau adalah tanggung jawabku, maka dengarkan ini baik baik" jawabnya sok."Entitas adalah sesuatu yang unik dan berbeda dari
Aku benci belajar.Itulah sebab mengapa aku mendadak menjadi artis fenomenal yang membelakangi papan tulis. Pak Luth yang terkenal baik hati itu melempariku dengan kapur tulis warna yang ia gunakan untuk menggambar bunga-bunga di kelas ketika mendapati ku tertidur pulas di kelasnya. Aku sudah menguap hampir belasan kali saat beliau menerangkan tentang bagaimana putik dan serbuk sari bersatu.Aku langsung membuat kesimpulan, hidupku tak lebih rumit dari perkawinan silang tumbuhan. Aku menguap, mengedipkan mata, menguap, mengedipkan mata. Siklus itu berlangsung selama jam pembelajaran.Ku amati pojok kelas, Grandia tengah bersandar di tembok. Tangannya disilangkan di depan dada. Dia menatapku datar saat aku melemparkan tatapan ini-semua-salah kamu-mengajakku-aku-begadang-sampai-malam.Bel istirahat berbunyi tepat di atas kepalaku. Pak Luth berjalan keluar dari kelas tanpa menatapku sama sekali. Semu
Aku nyaris melemparkan batu sebesar 3 kepalan tangan ke arah cermin itu kalau saja Grandia tidak menghentikanku. Pantulan ku melindungi wajahnya dengan kedua tangan seolah-olah batu itu bisa tembus ke dunia lain dan menghantam wajah kusut nya. Aku langsung membolos sekolah begitu berani dia memberitahu caraku pulang. Selama disini, ini adalah pertama kalinya aku berinteraksi dengan Scarlet setelah sekian lama. Aku hampir membunuhnya begitu melihat tampilan wajahnya yang menguras emosi."Kenapa Ansel membenciku? " teriakku kesal."Itu yang ingin aku tanyakan. Kenapa Ansel menempel terus kepadaku. Apa kau memiliki krlainan dalam memilih pacar? " protes Scarlet membuatku meradang."Jaga mulutmu bung, Ansel di duniaku beda jauh dengan Ansel di duniamu""Tetap saja kenapa harus cowok jahat itu? ""Bicara apa kau! Kehidupanmu sangat menyedihkan""Ada ribuan pertanyaan yang... "
Pertemuanku dengan Scarlet benar-benar membuat ikan-ikan memusingkan berenang di kepala. Mie pedas yang ada di depanku mulai mengembang. Aku masih menatap kosong ke depan. Entahlah mengapa salju berjatuhan lebih asik di daripada makanan. Orang-orang di depanku lalu-lalang dengan tawa yang ringan. Beberapa diantaranya basah selepas bermain perang bola salju.Kata-kata Grandia mendadak sembunyi di suatu tempat di kolong otakku. Asheelin, dan Glassina baru saja duduk di meja sebelah, dekat dengan mejaku. Dua orang datang lagi, mantan pacarku dan orang yang pernah menembak Asheelin sewaktu MOS di duniaku. Mata teduh Ken menatapku sebentar sebelum akhirnya duduk dan menautkan tangannya ke tangan Glassina. Sementara cowok yang memiliki catatan pernah naksir Asheelin itu beralih ke meja lain menemui teman-temannya.Pemandangan langka, mantan pacar beserta pacar bisa duduk di meja yang sama tanpa saling menikam. Semuanya tambah lebih seru ketika s