Kepalaku nyaris terbelah memikirkan dunia ini. Sebenarnya ini dunia sihir atau dunia dimana spesies sepertiku ditendang jauh jauh. Aku merana di dunia orang. Di saat saat seperti ini aku membutuhkan Grandia.
Pertama, aku ingin les kepadanya tentang dunia aneh ini. Kedua, aku mau menuruti kata katanya agar cepat terbebas dari dunia ini. Dan yang terakhir, tentu saja aku mau memanfaatkan wajahnya yang tampan demi kesehatan mataku. Bubur ayam yang sedari tadi hangat ketika ku ajak curhat perlahan ia mulai dingin. Aku menyukai segala hal di dunia Scarlet minus kehidupan sekolahnya dan keadaan ekonominya.
Biasanya aku memesan pasta,sapi panggang, kari ayam dan seafood. Tetapi begitu aku merogoh saku ku, ternyata aku seharusnya berdiri di barisan rombong bubur ayam, mie kuah dan sup panas. Aku duduk dengan canggung di pojokkan kantin. Mataku tak pernah putus dari adik Scarlet sejak 10 menit yang lalu. Raven mondar mandir kesana kemari membawa berbagai jenis makanan dan minuman untuk beberapa meja. Tidak hanya Raven, tapi anak anak lainnya juga melakukan hal yang sama. Percaya atau tidak awalnya aku bangga dengan Raven yang ku kira bekerja part time. Sebagai kakak (palsunya) sudah pasti bangga melihat adiknya mandiri sejak usia dini.
Tapi sejurus kemudian aku murka ditampar oleh fakta bahwa ternyata Raven dijadikan kacung oleh mereka. Sebisa mungkin aku diam di temoat mengawasi anak ity kalau kalau ada yang berbuat jahat kepadanya, aku akan menghajar diri mereka satu per satu. Tiga orang remaja perempuan menghalangi pandanganku dari Raven. Mereka berkacak pinggang dan menatap tajam ke arahku. Seren, Glassina dan... Asheelin?
"Asheelin" sontak aku berdiri dan memegang pundaknya. Di luar dugaan, dia menepis kasar tanganku. Matanya memicing menatap jijik kepadaku.
"Well Scarlet, aku mau tanya sedikit soal kejadian tadi pagi" kata Seren. Dia lah cewek yang ku hajar di pertemuan ekskul silat yang menyebabkan aku disidang dan dikurung di dalam rumah.
"Apa yang kau lakukan ke pacarku? " sergah Asheelin. Dia menatapku berang ketika ternyata aku tidak memahami maksudnya. Dengan mengangkat alis mewakili suaraku Apa?
"Apa yang kau lakukan ke Ansel? " Tanya Seren menerangkan perkataan Asheelin. Tunggu... Ansel apa?
"Ansel pacarmu? " tanyaku setengah membentak ke Asheelin.
"Apa terbentur tembok membuatmu se amnesia ini Sca? Dan apa maksudnya rambut konyol ini? " tanya Seren yang tidak bisa mengendalikan tawanya.
Apa maksudnya terbentur? Apa sebelum tertukar denganku Scarlet mengalami semacam kecelakaan? Tapi segala pertanyaan itu terenyah begitu sebuah kenyataan menghantam segala sisi otakku. Asheelin, sahabatku berpacaran dengan pacarku. Dunia Scarlet benar benar kacau. Keadaan jadi tambah rumit ketika Asheelin berteman dengan Seren, cewek yang mengincar Ansel dan Laurent sekaligus. Soal Glassina aku tidak begitu paham tentang dirinya. Aku juga tidak pernah berurusan dengan cewek itu. Setahuku dia pernah berpacaran dengan Laurent selama seminggu. Di duniaku, Asheelin, Seren, dan Glassina tidak memiliki hubungan apapun selain status teman sekolah. Di dunia ini, mereka bertiga direkatkan menjadi sebuah kesatuan gerakan anti Demitria. Maksudku Scarlet.
Semangkok bubur dingin tumpah di kepalaku. Asheelin meniup jemarinya yang baru saja membuat mangkok itu melayang dan mendarat sempurna di atas kepalaku. Refleks aku menggerak gerakan jemariku ke segelas air teh yang ada di bangku. Teh itu bergeming di tempatnya. Tiga gadis di depanku tertawa terbahak bahak. Hei, kenapa aku tidak bisa melakukan sihir itu? Ini pilih kasih!
"Bodoh, kau mau membuat gelas itu terbang hah? " tanya Glassina yang sedari tadi diam.
"Diam kau gelas, aku sedang berusaha membuat bangsamu lepas landas" jawabku galak. Glassina yang jelas tidak terima memelototiku. Mulutnya komat kamit merapalkan sumpah serapah.
"Dasar cewek sialan. Sini kamu jangan sok berani begitu" bentak Seren. Dia hendak meraih rambutku tapi aku segera menghindar.
"Ah kelamaan" tukasku.
BYUR!!
Aku menumpahkan segelas teh ke atas kepala mereka dengan adil. Mereka diam di tempat mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Bunyi kelontangan yang disebabkan Raven (dia menjatuhkan nampannya) membuat mereka tersadar kembali. Dengan bantuan sihir anehnya, mereka melemparku ke udara. Aku jatuh di depan sepasang kaki panjang. Aku mendongak dan mendapati wajah Ethan yang tak terbaca.
"Seren! Apa yang kau lakukan? " tanya Asheelin panik.
"Mana ku tahu Ethan lewat disitu" tukas Seren yang ikut panik.
"Sudahlah kalian jangan bertengkar. Ayo pergi sebelum Ethan menghujani kita dengan meteor" kata Glassina kemudian menyeret mereka.
Di dunia ini ataupun di duniaku, satu hal yang begitu aku laksanakan dengan sepenuh hati yaitu Jangan sampai berurusan dengan Ethanez Ferrars. Aura mencekam keluar dari tubuhnya.
"Menjauh atau ku habisi kau" ancamnya.
Aku segera bangun dan melepas topi mangkok dari kepalaku. Ethan menatapku dingin seperti pembunuh yang berhasil menawan korbannya. Aku melirik sekitar mencari pertolongan tapi tidak ada yang menolongku. Tubuhku mendadak melayang 30cm dari atas tanah. Udara di sekitarku menjadi sangat panas. Tenggorokanku serasa terbakar. Aku di serang oleh sesuatu yang tak nampak. Tubuhku kaku bagai es, tenggorokanku semakin panas dan tubuhku berubah dingin. Kepalaku sangat pusing merasakan dua hal yang dikombinasi seperti ini.
Sekarang aku kehilangan udara, tidak bisa bernafas dengan bebas. Aku menatap Ethan dengan penuh permohonan. Sekejab dia mengerjab. Aku langsung terjatuh lemas di lantai. Udara kembali memelukku, rasa panas dingin itu perlahan pergi bersamaan dengan Ethan yang jongkok di depanku.
"Usahakan dirimu tidak pernah muncul di hadapanku seperti ini lagi. Kali ini kau ku lepaskan" ujarnya dingin. Dia berdiri dan berlalu meninggalkanku yang hampir merenggang nyawa.
"Hadirnya Lucifer di sekolah setan memang seru" desisku tajam.
Ethan berhenti, aku yakin dia mendengar suaraku. Dia berbalik berjalan ke arahku. Hari ini, untuk pertama kalinya seorang Ferrars berjalan menghampiriku, Demitria dari dunia sebelah.
Dan Ethan melakukan sesuatu yang tak pernah ku duga sebelumnya.
"COWOK SETAN"Aku membuat boneka salju di tepi danau yang beku (di duniaku tempat ini berupa minimarket). Ada 4 boneka salju besar tak berbentuk. Masing masing ku beri nama, dari yang paling timur Ethanez, Louis, Clarion, Ferrars. Aku menjerit jerit bak orang kesetanan sambil menendangi mereka satu per satu. Aku benar benar kehilangan akal sampai sampai kucing lewat pun ku hantam bola salju sebesar kepalan tangan. Hewan itu memberenggut kesal lalu menghilang dari balik pohon. Suara helaan nafas terdengar lagi dan lagi. Aku langsung menatap tajam makhluk itu. "Suara nafasmu mengganggu" salakku setengah ingin menelannya. "Kenapa harus berurusan dengan Entitas Mulia sih? " Tanya Grandia jeng
Pukul sebelas malam, salju turun dengan indah. Aku masih sadar (belum tidur) dan tengkurap di kasur. Setengah dari kasurky melesak dibebani bobot sebesar remaja laki laki berusia 16 tahun. Meskipun dia ini adik, seharusnya dia sadar diri dong ranjang kecil reyot ini bisa remuk jika ditumpangi dua manusia yang beranjak dewasa. Anak ini tidak mau keluar dari kamarku beberapa malam terakhir. Dia menguping pembicaraanku dan Grandia waktu itu. Namun anehnya Raven tidak mempertanyakan soal Grandia. Dan kata Grandia, tidak ada yang bisa melihat keberadaan Guardian Angel selain orang yang di jaga, sesama Guardian Angel dan Entitas Mulia."Aku sudah merasa sejak awal sebenarnya kau bukan Kakakku"Aku mendengar ini sebanyak 4 kali dalam satu malam. Itu masih belum di jumlahkan dengan malam malam sebelumnya.Aku sedang melakukan gencatan senjata. Raven mendesakku agar aku mengaku bahwa aku bukanlah Scarlet. Aku menanggapinya dengan g
"Kau mau menjadi bintang di hidupku ?” Tanya nya gamblang.Senyum laknat hampir tercetak di wajahku. Siapa yang tidak oleng (goyah) oleh perkataan manis dari lelaki yang berwajah seperti dirinya."Jaga jarak dariku sejauh bintang dan bumi" lanjutnya.Senyum di bibirku luntur. Aku menatapnya dengan tatapan Apa-kau-tertarik-untuk-menjadi-produk-unggulan-di-pasar-perdagangan-manusia?Ethan nyengir lebar. Deretan gigi putihnya menbuatku kehilangan panca indra. Lain kali kalau Ethan mau main ke duniaku, aku akan memberikannya ke Papa dan dijadikan model pasta gigi.Sebuah pertanyaan tanpa dasar melambung tinggi menabrak otakku."Kau yang dekat dekat denganku" tuntutku tidak terima."Kapan aku mendekatimu? " Tanya Ethan datar. Dia sudah kembali ke Ethan yang sejati.Iya, kapan Ethan mendekatiku?"Bu
"Usiaku 220 tahun"Mendadak aku sepucat salju di luar. Otakku yang tumpul mencerna pengakuan itu dengan susah payah. Aku mengamati wajah Grandia yang serba putih itu. Tidak ada kerutan sama sekali. Wajahnya juga tidak terlihat seperti seorang buyut."10 tahun untukku, seratus tahun untukmu" jelas Grandia yang melihat banyak tanda tanya di atas kepalaku. Aku masih tidak mengerti."Jangan nenbicarakan matematika denganku. Otakku tumpul untuh hal itu" ucapku sarkastik. Grandia tersenyum, gerakan yang mampu meruntuhkan tulang kakiku."Usiaku memang 220 tahun. Tapi bagi kalian (manusia) usiaku tercatat 22 tahun"Aku mendesah lega. Yah dia tidak tua tua amat."Jadi kau tadi mau bicara apa? " tanyaku."Ah... Entitas. Karena kau adalah tanggung jawabku, maka dengarkan ini baik baik" jawabnya sok."Entitas adalah sesuatu yang unik dan berbeda dari
Aku benci belajar.Itulah sebab mengapa aku mendadak menjadi artis fenomenal yang membelakangi papan tulis. Pak Luth yang terkenal baik hati itu melempariku dengan kapur tulis warna yang ia gunakan untuk menggambar bunga-bunga di kelas ketika mendapati ku tertidur pulas di kelasnya. Aku sudah menguap hampir belasan kali saat beliau menerangkan tentang bagaimana putik dan serbuk sari bersatu.Aku langsung membuat kesimpulan, hidupku tak lebih rumit dari perkawinan silang tumbuhan. Aku menguap, mengedipkan mata, menguap, mengedipkan mata. Siklus itu berlangsung selama jam pembelajaran.Ku amati pojok kelas, Grandia tengah bersandar di tembok. Tangannya disilangkan di depan dada. Dia menatapku datar saat aku melemparkan tatapan ini-semua-salah kamu-mengajakku-aku-begadang-sampai-malam.Bel istirahat berbunyi tepat di atas kepalaku. Pak Luth berjalan keluar dari kelas tanpa menatapku sama sekali. Semu
Aku nyaris melemparkan batu sebesar 3 kepalan tangan ke arah cermin itu kalau saja Grandia tidak menghentikanku. Pantulan ku melindungi wajahnya dengan kedua tangan seolah-olah batu itu bisa tembus ke dunia lain dan menghantam wajah kusut nya. Aku langsung membolos sekolah begitu berani dia memberitahu caraku pulang. Selama disini, ini adalah pertama kalinya aku berinteraksi dengan Scarlet setelah sekian lama. Aku hampir membunuhnya begitu melihat tampilan wajahnya yang menguras emosi."Kenapa Ansel membenciku? " teriakku kesal."Itu yang ingin aku tanyakan. Kenapa Ansel menempel terus kepadaku. Apa kau memiliki krlainan dalam memilih pacar? " protes Scarlet membuatku meradang."Jaga mulutmu bung, Ansel di duniaku beda jauh dengan Ansel di duniamu""Tetap saja kenapa harus cowok jahat itu? ""Bicara apa kau! Kehidupanmu sangat menyedihkan""Ada ribuan pertanyaan yang... "
Pertemuanku dengan Scarlet benar-benar membuat ikan-ikan memusingkan berenang di kepala. Mie pedas yang ada di depanku mulai mengembang. Aku masih menatap kosong ke depan. Entahlah mengapa salju berjatuhan lebih asik di daripada makanan. Orang-orang di depanku lalu-lalang dengan tawa yang ringan. Beberapa diantaranya basah selepas bermain perang bola salju.Kata-kata Grandia mendadak sembunyi di suatu tempat di kolong otakku. Asheelin, dan Glassina baru saja duduk di meja sebelah, dekat dengan mejaku. Dua orang datang lagi, mantan pacarku dan orang yang pernah menembak Asheelin sewaktu MOS di duniaku. Mata teduh Ken menatapku sebentar sebelum akhirnya duduk dan menautkan tangannya ke tangan Glassina. Sementara cowok yang memiliki catatan pernah naksir Asheelin itu beralih ke meja lain menemui teman-temannya.Pemandangan langka, mantan pacar beserta pacar bisa duduk di meja yang sama tanpa saling menikam. Semuanya tambah lebih seru ketika s
Kejadian di kantin membuatku menjadi selebriti yang terkenal akan kelalaiannya. Judul pembicaraan yang selama 7 hari ini masih hangat dibicarakan adalah ada sesuatu diantara Ferrars dan Valerius. Aku ingin memberitahu memang ada apa-apa di antara kami. Sebuah ikatan antara Tuan dan Hamba Sahaya nya. Namun Grandia menyuruhku diam.Selama seminggu itu Ethan sama sekali tidak berbicara denganku. Cowok itu mengeluarkan aura pekat sehingga tak ada yang berani mendekatinya dalam radius 2 meter. Ethan sering mengamuk dan menghajar siapa saja yang menyakiti penglihatannya. Tentu saja warga sekolah menyalahkanku. Bukan hanya Entitas, semua jenis makhluk hidup membullyku. Satu lawan 300 tentu saja aku kalah telak.Aku terpaksa menunda makan siang dengan berdiam diri di toilet. Pada saat pulang sekolah pun aku mengikuti guru sebelum akhirnya lari seperti dikejar setan. Grandia tidak membantu, dia mengoceh melarangku berpacaran dengan Ethan,