“Bagaimana di dalam sana, hemm?”
“Seru dong,” jawab Farel yang sedang dipasangkan jaket oleh Keenan. “Aku sekali sekali. Makasih ya, Ma, Pa.”
Keenan mengangguk cepat, sedangkan Lily masih sibuk mencari kian kemari pria yang tadi berbicara dengannya. Ada kelegaan yang hadir karena dia tak terlihat oleh sang putra.
“Hei,” katanya yang baru saja menoleh setelah beberapa detik. Lily mengusap pelan area pelipisnya yang tadi keringat dingin.
“Mama mencari siapa?”
“Oh, hemm … tadi ada teman mama. Sepertinya dia buru-buru jadi tidak sempat pamit,” kilahnya sambil tersenyum.
Lily berjalan di samping Keenan yang sudah menggendong Farel di pundaknya. Ketiganya kini melangkah menuju area parkiran. Barulah sang suami perlahan menurunkan si bocah.
“Kau tidurlah. Nanti kalau sudah sampai
Lily membolakan matanya begitu melihat Keenan yang meringis kesakitan. Apalagi ketika priitu membalikkan punggungnya lalu memperlihatkan beberapa benjolan kecil yang terasa gatal.“Kenapa Abang enggak bangunin aku?” tanyanya dengan suara lirih.Keenan tidak menjawab. Dia hanya menggaruk bagian lengan yang memerah akibat gigitan nyamuk tadi malam. Di saat yang sama pula Farel terbangun akibat mendengar suara perbincangan keduanya.“Papa kenapa?” tanyanya begitu melihat sang papa yang tampak tersiksa.“Papa digigit nyamuk, mungkin … masuk angin juga,” gumam Lily menjawab pertanyaan anaknya. Alhasil dia pun buru-buru ke dapur setelah itu. Bukan untuk memasak sarapan seperti niatan semula, tetapi membuat wedang jahe sebagai pertolongan pertama.“Ya ampun,” decak sang bibi yang mendengar cerita dari Lily. “Kenapa kamu enggak bangunin kami sih? Kasihan suamimu.”“Pasti alasannya enggak tega. Begitu?” cecar paman yang malah ikut-ikutan menyalahkan keponakannya sen
“Entahlah,” jawab Lily kemudian. “Aku masih enggak tahu gimana cara ngomongnya. Semenjak kenal sama Bang Keenan, dia enggak pernah tanyakan keberadaan papa kandungnya lagi.”“Enggak ada yang namanya bekas orangtua ataupun bekas anak, Lily,” tukas bibi mengingatkan. Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar suara derit pintu kamar terbuka perlahan. Tampak Keenan muncul dengan wajah yang sudah bugar.“Apa aku bisa gunakan kamar mandinya?” tanyanya.“Tentu,” jawab bibi sambil tersenyum. “Anterin, Ly. Walaupun rumah ini kecil, bibi takut dia salah jalan.” Lily mengangguk sembari berjalan ke arah barat untuk menunjukkan tempat yang hendak dituju Keenan. Setelah sampai dia bertanya, “Abang mau sarapan apa? Di sini hanya ada roti, bubur kacang hijau dan kue basah. Pun nasinya warna putih. Aku bisa masakkan telur orak-arik juga.”“Bukannya tadi kau makan nasi goreng?” tanya Keenan balik. “Aku mau itu.”“Tidak boleh. Abang ‘kan masuk angin,” kata Lily yang tiba-t
“Bagaimana apanya?” Senyuman Lily terbit setelah itu. Dia menyentuh pelan punggung tangan Keenan yang tadi sempat mencekal lengannya. “Aku udah bilang ‘kan? Semua nanti baik-baik aja. Abang bisa fokus pada tujuan Abang. Aku juga. Sekarang sedikit lega karena Mas Adrian sudah kembali. Semoga Farel bisa menerima papa kandungnya lagi.”“Jadi, kau hanya menganggapku begitu? Setelah dia ke sini kau merasa senang? Lega? Iya??” sentak Keenan akhirnya. Dia berdecak pelan lalu pergi meninggalkan Lily yang terpelongo begitu saja. Bahkan tak peduli dengan kemunculan bibi yang baru datang dari warung.“Kenapa, Ly? Kalian berantem?” tanya bibi tampak prihatin. Diamnya sang keponakan membuat wanita paruh baya itu mendesah pelan. “Apa ini ada hubungannya dengan Adrian?”“Enggak, Bi. Cuma salah paham aja,” jelas Lily dengan senyum yang dipaksakan.“Apapun itu yang penting selesaikan dengan kepala dingin ya, Nak.” Sejujurnya Lily jadi bingung sendiri dengan si
Tidak seperti biasanya. Keenan menyuruh sang asisten untuk mengosongkan jadwalnya hingga selesai makan siang. Tadi malam Farel sudah setuju untuk bertemu dengan Adrian. Jadilah hari ini dia ingin menyaksikan sendiri pemandangan yang akan terjadi beberapa saat lagi.“Sini, Sayang,” tegur Lily memanggil anaknya. “Kita sarapan dulu. Papa Adrian akan kemari jam delapan.”Farel menurut. Dia lekas duduk di kursi lalu menyantap makanan yang ada di hadapannya. Sementara Keenan tak berkomentar apa-apa selain melahan roti isi sayur sebagai menu pilihannya pagi ini.“Papa tidak berangkat kerja?” tanya Farel usai menghabiskan sarapannya.Keenan menggeleng sambil tersenyum. “Papa juga ingin bertemu dengan papamu. Apa tidak boleh, hemm?”Farel pun terkekeh ringan. “Boleh saja. Aku jadi punya dua papa. Begitu kata mama.”“Iya, itu tandanya kamu anak istimewa.” Lily mengusap pelan rambut anaknya dengan sayang. Waktu yang ditunggu akhirnya tiba juga. Sebuah mobil sedan bewa
“Apa kau bilang?” Keenan membatalkan niatnya semula lalu membalikkan badan untuk melihat wajah Adrian. Mantan suami Lily itu sudah berhasil mengusik ketenangannya.“Aku sudah tahu semuanya,” kata Adrian yang kini sedang dalam posisi bersidekap. “Hubungan kalian hanya bersifat sementara. Iya ‘kan?”“Apa Lily yang mengaku padamu?”Adrian pun terkekeh. “Jangan tanyakan dari mana aku tahu. Yang penting cepat selesaikan urusan kalian karena aku akan bersama Lily kembali. Aku masih mencintainya.”Ucapan tersebut malah membuat Keenan berdecih. “Aku tak peduli. Hemm, sepertinya aku akan berubah pikiran. Aku tidak akan pernah melepaskannya.”“Dia tak suka padamu,” kata Adrian yang merasa marah dengan penuturan barusan.“Apa aku peduli?”“Ingat, di antara kami masih ada Farel. Dia yang akan menyatukan kami.” Sampai di kantor pun Keenan masih menyimpan percakapan tadi di benaknya. Sungguh dia sedikit menyesal karena menyambut Adrian datang ke rumah miliknya. Kalau tah
Perkataan barusan membuat Keenan mengernyit. Dari tatapan mata Lily saja dia sudah tahu bahwa wanita di hadapannya itu menaruh hati juga. Namun, kenapa malah meminta maaf?“Kenapa? Kau ingin menolakku?” tanya Keenan kemudian.Lily menunduk. Lantas segera bangkit dari pangkuan suaminya untuk duduk di sisi ranjang yang lain. “Abang bisa mencari wanita lain, tapi bukan aku orangnya.”“Kenapa? Apa kau masih mencintai Adrian?” serang Keenan lagi. “Bahkan aku tak peduli sama sekali. Kau tahu itu ‘kan?” Keenan lekas mendekap erat tubuh ramping tersebut. Sama sekali tak ambil pusing ketika sang empu menolak keras. Hingga perlahan keduanya pun sama-sama terpejam hingga pagi menjelang.***“Hari ini Mas Adrian mau ajak Farel jalan-jalan ke mall,” kata Lily ketika mereka masih berada di kamar.Keenan hanya membalasnya dengan gumaman singkat sembari mengenakan dasi di leher kemejanya. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan saat Lily sedang merapikan ranjang bekas tidur mere
Farel kemudian diam sejenak. Otaknya mulai mencerna apa yang dikatakan oleh sang papa barusan. Hingga bebera detik setelahnya dia pun berkata, “Terus … Papa Keenan bagaimana?”Adrian pun terkekeh lalu bertanya lagi, “Apa kamu sayang dengannya juga?” Anaknya mengangguk cepat. “Lebih sayang mana? Papa atau dia?” Suara langkah kaki yang mendekat membuat pembicaraan mereka berhenti. Lily muncul sambil membawa dua gelas susu almond dan sepiring kecil kudapan berupa kue. Dahinya mengernyit ketika melihat dua pria itu yang jadi mendadak diam.“Kalian kenapa?”“Tidak pa-pa,” jawab Adrian cepat. “Hanya pembicaraan sebentar. Sepertinya Farel masih kangen dengan Mas. Dia tak ingin ditinggal karena Mas akan pergi ke Jakarta.”Lily tersenyum lalu segera mengusap lembut punggung putranya. “Lain kali papa akan datang ke sini lagi, Sayang.” Farel pun mengiyakan lalu segera memaksakan senyumnya lagi. Sungguh dia ingin sekali berkumpul kembali bersama dengan orangtua yang le
“Bang!!” Suara barusan membuat Keenan berjenggit lalu terpaksa menurunkan Lily yang sudah panik bukan main. Dia berdecak pelan setelahnya. Lantas dalam hitungan detik …TAK! Dia menyentil pelan dahi Lily dan terkekeh pelan.“Apa sih yang ada di dalam pikiranmu, hemm?” tanya Keenan dengan mata memicing.Lily langsung salah tingkah dan memeluk tubuhnya sendiri. “Eng-gak ada,” kilahnya kemudian.“Aku hanya membantumu untuk memilih piyama tidur. Apa kau akan mengenakan pakaian itu? Ckck.” Keenan geleng-geleng kepala lalu lekas berjalan menuju kamar mandi dengan santainya. Membersihkan diri di dalam sana dan kembali ke hadapan sang istri dengan handuk yang meililit bagian pinggangnya.“Bang,” tegur Lily yang baru saja memasang rangkaian skincare di wajah cantiknya.“Apalagi?” tanya Keenan tanpa merasa bersalah. Bahkan dia tak malu berjalan mendekat hingga tatapan keduanya bertemy dalam pantulan cermin rias sang istri. “Kenapa diam? Bukankah kau yang memanggilku
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma