“Apa kau bilang?” Keenan membatalkan niatnya semula lalu membalikkan badan untuk melihat wajah Adrian. Mantan suami Lily itu sudah berhasil mengusik ketenangannya.“Aku sudah tahu semuanya,” kata Adrian yang kini sedang dalam posisi bersidekap. “Hubungan kalian hanya bersifat sementara. Iya ‘kan?”“Apa Lily yang mengaku padamu?”Adrian pun terkekeh. “Jangan tanyakan dari mana aku tahu. Yang penting cepat selesaikan urusan kalian karena aku akan bersama Lily kembali. Aku masih mencintainya.”Ucapan tersebut malah membuat Keenan berdecih. “Aku tak peduli. Hemm, sepertinya aku akan berubah pikiran. Aku tidak akan pernah melepaskannya.”“Dia tak suka padamu,” kata Adrian yang merasa marah dengan penuturan barusan.“Apa aku peduli?”“Ingat, di antara kami masih ada Farel. Dia yang akan menyatukan kami.” Sampai di kantor pun Keenan masih menyimpan percakapan tadi di benaknya. Sungguh dia sedikit menyesal karena menyambut Adrian datang ke rumah miliknya. Kalau tah
Perkataan barusan membuat Keenan mengernyit. Dari tatapan mata Lily saja dia sudah tahu bahwa wanita di hadapannya itu menaruh hati juga. Namun, kenapa malah meminta maaf?“Kenapa? Kau ingin menolakku?” tanya Keenan kemudian.Lily menunduk. Lantas segera bangkit dari pangkuan suaminya untuk duduk di sisi ranjang yang lain. “Abang bisa mencari wanita lain, tapi bukan aku orangnya.”“Kenapa? Apa kau masih mencintai Adrian?” serang Keenan lagi. “Bahkan aku tak peduli sama sekali. Kau tahu itu ‘kan?” Keenan lekas mendekap erat tubuh ramping tersebut. Sama sekali tak ambil pusing ketika sang empu menolak keras. Hingga perlahan keduanya pun sama-sama terpejam hingga pagi menjelang.***“Hari ini Mas Adrian mau ajak Farel jalan-jalan ke mall,” kata Lily ketika mereka masih berada di kamar.Keenan hanya membalasnya dengan gumaman singkat sembari mengenakan dasi di leher kemejanya. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan saat Lily sedang merapikan ranjang bekas tidur mere
Farel kemudian diam sejenak. Otaknya mulai mencerna apa yang dikatakan oleh sang papa barusan. Hingga bebera detik setelahnya dia pun berkata, “Terus … Papa Keenan bagaimana?”Adrian pun terkekeh lalu bertanya lagi, “Apa kamu sayang dengannya juga?” Anaknya mengangguk cepat. “Lebih sayang mana? Papa atau dia?” Suara langkah kaki yang mendekat membuat pembicaraan mereka berhenti. Lily muncul sambil membawa dua gelas susu almond dan sepiring kecil kudapan berupa kue. Dahinya mengernyit ketika melihat dua pria itu yang jadi mendadak diam.“Kalian kenapa?”“Tidak pa-pa,” jawab Adrian cepat. “Hanya pembicaraan sebentar. Sepertinya Farel masih kangen dengan Mas. Dia tak ingin ditinggal karena Mas akan pergi ke Jakarta.”Lily tersenyum lalu segera mengusap lembut punggung putranya. “Lain kali papa akan datang ke sini lagi, Sayang.” Farel pun mengiyakan lalu segera memaksakan senyumnya lagi. Sungguh dia ingin sekali berkumpul kembali bersama dengan orangtua yang le
“Bang!!” Suara barusan membuat Keenan berjenggit lalu terpaksa menurunkan Lily yang sudah panik bukan main. Dia berdecak pelan setelahnya. Lantas dalam hitungan detik …TAK! Dia menyentil pelan dahi Lily dan terkekeh pelan.“Apa sih yang ada di dalam pikiranmu, hemm?” tanya Keenan dengan mata memicing.Lily langsung salah tingkah dan memeluk tubuhnya sendiri. “Eng-gak ada,” kilahnya kemudian.“Aku hanya membantumu untuk memilih piyama tidur. Apa kau akan mengenakan pakaian itu? Ckck.” Keenan geleng-geleng kepala lalu lekas berjalan menuju kamar mandi dengan santainya. Membersihkan diri di dalam sana dan kembali ke hadapan sang istri dengan handuk yang meililit bagian pinggangnya.“Bang,” tegur Lily yang baru saja memasang rangkaian skincare di wajah cantiknya.“Apalagi?” tanya Keenan tanpa merasa bersalah. Bahkan dia tak malu berjalan mendekat hingga tatapan keduanya bertemy dalam pantulan cermin rias sang istri. “Kenapa diam? Bukankah kau yang memanggilku
Keenan hendak bertanya. Namun, dia mengurungkan niatnya begitu melihat Lily terisak menyaksikan video yang baru saja diputar tersebut.[“Aku senang kalau di sini ada mama juga. Apa kita tidak bisa seperti dulu lagi?”] Usai mengatakan kalimat barusan, Farel tampak tersenyum lebar lalu melambai ke arah kamera. Bocah usia empat tahunan tersebut melompat-lompat kegirangan di atas ranjang ukuran king size milik hotel di mana dia dan sang papa menginap.“Hei, selesaikan sarapanmu!” tegur Keenan akhirnya. “Sebelum jam makan siang aku sudah kembali. Kita akan ke bandara untuk menjemput Farel.”“A-aku bisa sendiri.”Keenan berdecak pelan. “Apa aku minta pendapatmu, hemm??” Pada akhirnya Lily mengangguk dan kembali menyuapkan potongan roti tadi ke mulutnya. Sama seperti Keenan yang semakin kehilangan selera makan usai ikut menyaksikan video tadi.“Maaf, Tuan. Ponsel Anda berdering,” ucap sang sopir ketika mobil sudah meninggalkan pelataran rumah mewah m
Sudah hampir seminggu Farel menunjukkan perubahan sikapnya pada semua orang yang ada di rumah Keenan. Bocah itu hanya terlihat bahagia ketika mendapatkan telepon atau bertemu dengan sang papa kandung. Membuat Lily merasakan sedih luar biasa menghadapi putranya sendiri.“Kenapa?” rengek Farel yang lagi-lagi berulah. “Aku hanya mau mama ikut bersamaku dan papa ke taman. Tidak jauh kok.”Lily hendak berbicara guna menolak permintaan Farel. Namun, Keenan malah membungkuk lalu menatap sendu wajah anak sambungnya tersebut. “Kamu mau mamamu juga ikut bersama kalian?”“Iya. Ini mamaku. Papa Keenan tidak boleh melarang!!”“Silakan saja. Papa akan ijinkan. Sampai kapanpun papa tidak akan bisa merebut mamamu, Nak. Tapi … ada hal yang kamu tetap harus tahu. Bahwa sekarang mamamu ini adalah istri papa. Mengerti ‘kan?” Ucapan barusan mengundang Farel untuk menatap sinis Keenan. Dia langsung memasang wajah kesal. Seolah tahu kalau papa sambungnya tersebut mengerti ke mana
“Maaf, Pak!”Keenan mengangguk tanpa mengatakan apapun. Dia menggenggam erat tangan Farel yang sudah gemetaran. Setelahnya dia tersenyum pada sang anak begitu memastikan tidak ada yang terluka.“Rumahnya di mana, Pak? Biar saya antar,” kata seorang ojek online yang barusan menubruk kaki Keenan.“Tidak usah. Saya bisa sendiri. Pergilah,” tolak Keenan kemudian. Baru saja hendak bangkit, dia terhenyak begitu melihat Lily yang sudah berdiri di depannya dan Farel. Istrinya itu kelihatan pucat dan tampak ketakutan.“Mama,” Farel mendekap tubuhnya lalu menangis sesenggukan. “Maaf, Mama.”Lily bernapas lega karena tahu bahwa putranya tidak terluka. Dia pun mengelus pelan punggung Farel lalu sedetik kemudian memandang Keenan yang bangkit sendiri sambil meringis pelan.“Aku tidak pa-pa,” gumam Keenan yang masih bisa tersenyum tipis. Lily menarik tangan Farel. Satu lengannya dia gunakan untuk memapah sang suami yang berjalan tertatih-tatih. Banyak yang ingin ia tanyak
Lily terkekeh mendengar permintaan barusan. Dia lantas melirik ke arah Keenan lalu berkata, “Jangan ngaco ya, Bang.”“Aku serius,” ucap Keenan yang memang tidak main-main dengan ucapannya.“Aku mau nemenin Farel makan dulu.”“Oke. Aku akan menunggu kalau begitu.”Istrinya itu berdecak kesal. Lalu segera pergi dari sana. Meninggalkan Keenan yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Namun, sepertinya takdir malam ini benar-benar berpihak padanya. Tak sampai lima menit setelah Lily pergi, istri cantiknya itu sudah kembali. Ya. Farel yang masih merasa bersalah tadi mengatakan ingin makan sendiri dan malah menyuruh sang mama untuk menemani papa sambungnya. Menyebalkan sekali bukan?“Abang sebaiknya kabarin Dokter Faisal dulu. Aku rasa juga tidak boleh mandi.” Lily sengaja membuat alasan untuk menghindar.Keenan pun menyatukan alisnya seraya terkekeh samar. “Tidak perlu. Aku tahu mana yang terbaik. Asal kau tahu kalau aku juga pernah kuliah di bagian
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma