Juna sudah tidak bisa bersabar lagi setelah satu bulan lebih dia seperti diabaikan dan tidak direspon dengan baik apapun usahanya menyenangkan hati sang istri.Menahan diri agar tidak emosi berlebihan, Juna tetap mencabut ponsel dari tangan Lenita meski dilakukan dengan gerakan pelan.“Len, sebenarnya kamu ada apa akhir-akhir ini, hm?” Juna mengambil ponsel di tangan istrinya dengan harapan dia bisa berbicara dengan serius bersama Lenita.“Kembalikan! Kembalikan ponselku!” Lenita membentak Juna.Sikap Lenita agak mengejutkan Juna. Seolah itu kembali ke Lenita yang lama, sorot matanya juga sedingin saat Juna pertama kali bertemu usai dia bangun di tubuh Arjuna.“Aku kembalikan nanti setelah kita bicara dulu, Len.” Juna masih memperluas lautan kesabarannya dengan berbicara menggunakan nada suara lembut, tidak setegas biasanya.“Bicara apa lagi?” Lenita menjawab secara ketus sambil tangannya berusaha mengambil kembali ponselnya dari Juna.Namun, tentu saja Juna tak mau menyerahkannya. “A
“Panglima ….” Suara lirih wanita muda itu mirip bisikan di saat matanya menatap Juna.“Tuan Putri?” Juna juga setengah berbisik ketika menyebutkan itu sambil menatap linglung wanita yang dikatakan sebagai calon kliennya.“Pak? Pak Juna?” Perempuan resepsionis yang berdiri di samping wanita muda itu memanggil bosnya beberapa kali. ‘Ya ampun, bosku ini. Iya, sih, nyonya ini memang cantik luar biasa, tapi tak perlu sampai terpana begitu, ya kan?’ batinnya.Resepsionis itu tak mengetahui kenapa bosnya bersikap termangu demikian hanya karena bertemu wanita yang sangat cantik di depannya.“Oh! Eh! Um … ah!” Juna tersadar dan lekas mengembalikan sikap normalnya meski masih terlihat gugup dan canggung. Dia mengusap tengkuk sambil mempersilahkan sosok yang dia panggil sebagai Tuan Putri ke sofa. “Silahkan duduk dulu!”“Um … te—terima kasih ….” Sahutan pelan suara merdu mengalun dari mulut Tuan Putri. Dia juga sama canggungnya seperti Juna.“Oh, Ratna, sediakan minum untuk klien kita ini!” peri
Juna bisa melihat raut wajah Anika yang mendadak berubah muram karena dia mengakui memiliki istri di era ini. Ada rasa menyesakkan di dada dirasakan olehnya.Tapi, Anika segera mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Wah, selamat, Mas! Sepertinya kehidupan Mas bagus di era ini.”Senyum berbalut kepedihan dari Anika tidak bisa menipu Juna. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi wanita di depannya hendak bicara lagi.“Aku tidak menyangka kita bisa diturunkan di zaman ini, Mas.” Anika menatap malu-malu pria yang telah dia sukai sejak remaja dulu. Pria yang dia pikir takkan sudi mengajaknya bicara karena Juna dulu terkesan tegas, dingin, dan tak banyak bicara. Namun, dia tahu bahwa banyak wanita-wanita bangsawan bahkan beberapa kakaknya tertarik dengan Panglima Janu.Bedanya dia dengan mereka, dia terlalu menutup perasaannya, sedangkan mereka terlihat lebih berani mendekat dan mengajak bicara sang panglima meski hanya untuk satu dua kalimat.
Mata Juna melebar. “Kok? Kok tidak jadi, Ndoro?” Dia heran atas pengurungan niat kerja sama mereka.“Iya, Mas Janu. Maaf kalau saya malah mundur dan tidak jadi bermitra dengan perusahaan Mas.” Anika memaksakan diri menatap Juna meski sebenarnya tak sanggup. Dia ingin selekasnya menghindari tatapan Juna.“Iya, tak apa, Nik, tapi … kenapa?” Juna begitu ingin tahu alasan yang mendasari batalnya niat bermitra Anika pada PT Kencana Buana.“Itu … mendadak saja aku teringat dengan mantan suamiku yang pernah bicara bahwa dia ingin mengambil stok barang dari distributor lain.” Anika terpaksa mengarang alasan sambil membawa-bawa nama almarhum suaminya.Juna tidak bisa memaksa dan terpaksa menelan kekecutan di hatinya. Bukankah kalau kemitraan mereka gagal terlaksana, maka dia tak memiliki kesempatan untuk bertemu Anika?Jantungnya terasa diremas, tapi bukan karena penyakit misterius seperti sebelu
Anika menatap jin tua wanita yang mampu mengubah wujudnya menjadi lebih solid itu dan kemudian dia menegakkan tubuhnya, menyeka air mata dan menjawab pertanyaan jin khodamnya, “Aku … aku merasa kecewa, Nyai.”“Kecewa?” Nyai Mirah yang bernama asli Dewi Kosambi bertanya, “Bukankah Ndoro Putri yang sangat menginginkan bertemu dengannya? Bahkan itu mengguncang hamba yang sedang terlelap dalam tidur panjang hamba, sehingga hamba membuat Ndoro bisa mengikuti dia ke era ini.”Wajah Anika terlihat tak enak hati ketika dia diingatkan mengenai itu. Memang saat kritis sebelum kereta kudanya tercebur ke jurang, dia sempat berdoa keras di dalam hatinya berharap ada keajaiban bisa terus bersama sang panglima di kehidupan mana pun dia berada.Saat itu, keinginan kuat Anika mengguncang batu mestika Merah Delima tempat Nyai Mirah berada dan membangunkannya dari tidur panjang, lalu mengabulkan permohonan Anika sebagai majikannya.
Juna kebingungan, kenapa dia justru ditarik masuk ke kamar begini? Tapi, dia tentu tak akan menolak karena apapun yang bisa membuatnya bertemu lebih lama dengan Anika merupakan sesuatu yang akan dia syukuri.“Ndoro—mmphh!” Juna baru saja hendak berbicara tapi mulutnya sudah ditutup telapak tangan Anika.“Bu? Bu Anik?” Pekerja pria sudah berdiri di depan pintu Anika sambil mengetuk. “Permisi, Bu! Sudah tidur?”“Belum! Eh sudah! Ah, maksudku, hampir!” Anika sampai gugup sendiri menjawab pekerjanya. Dia tidak membukakan pintu dan hanya menyahut dari dalam kamar.Ketiga pekerja pria yang masih berdiri di luar kamar Anika saling pandang.Kemudian, salah satu dari mereka bertanya, “Bu, apakah Ibu dengar suara di sini tadi?”“Suara? Suara apa, ya?” Anika masih tak mau membukakan pintu kamarnya dan sedikit mengeraskan suaranya untuk menjawab para pekerjanya.“
Juna sempat bingung sejenak memikirkan cara dia untuk masuk ke dalam rumah, tapi sebagai panglima yang memiliki segudang pengalaman dan taktik, maka dia menemukan ide dengan cepat.Dia gerakkan tangan ke area bawah dan beberapa batu kecil langsung terangkat dan menempel di telapak tangannya seolah tangannya berfungsi sama seperti alat vaccum saja.Setelah memiliki beberapa batu kecil, dia hanya perlu melemparkan satu batu tadi ke suatu arah.“Hm?” ART itu menegakkan kepalanya untuk mencari arah suara. Dikarenakan insting manusia yang ingin tahu, maka ART perempuan tadi itu pun segera beranjak mencari sumber suara.Juna melemparkan lagi batu lain ke arah lebih jauh tanpa sepengetahuan dan sepengelihatan ART tadi sehingga kini perempuan itu menjauh dari area teras samping.Kesempatan ini digunakan Juna untuk turun dari atap dan menyelinap masuk tanpa ketahuan.Dia baru saja merasa lega karena berhasil masuk rumah inti, ketika menda
Jantung Juna seperti dihantam godam raksasa. Jadi itu alasan kenapa Anika terus menolaknya meski dalam urusan bisnis. Karena dia sudah beristri.“Ndoro, kenapa statusku itu harus menjadi penghalang?” tanya Juna sambil memicingkan mata ke Anika, mengabaikan Nyai Mirah.“Dasar tidak tahu malu! Enyah saja kau dari sini!” Nyai Mirah sudah tak bisa menahan emosinya dan mengibaskan tangan ke Juna.Bruakk!Segera saja, Juna terpental hingga menabrak lemari kayu jati di dekatnya cukup keras. Dia memuntahkan seteguk darah karenanya. Padahal itu pun dia sudah menggunakan kanuragannya untuk memblokir serangan Nyai Mirah, tapi masih saja bisa terluka sampai seperti itu, membuktikan energi jin tua itu memang sangat besar melampaui dia.“Mas! Mas!” Anika tidak mengira Nyai Mirah akan melakukan tindakan keras ke pria pujaannya. Dia berlari ke Juna yang terkapar di lantai. “Mas … kamu tidak apa-apa? Sakit? Aku pangg
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag