Jantung Juna seperti dihantam godam raksasa. Jadi itu alasan kenapa Anika terus menolaknya meski dalam urusan bisnis. Karena dia sudah beristri.
“Ndoro, kenapa statusku itu harus menjadi penghalang?” tanya Juna sambil memicingkan mata ke Anika, mengabaikan Nyai Mirah.
“Dasar tidak tahu malu! Enyah saja kau dari sini!” Nyai Mirah sudah tak bisa menahan emosinya dan mengibaskan tangan ke Juna.
Bruakk!
Segera saja, Juna terpental hingga menabrak lemari kayu jati di dekatnya cukup keras. Dia memuntahkan seteguk darah karenanya. Padahal itu pun dia sudah menggunakan kanuragannya untuk memblokir serangan Nyai Mirah, tapi masih saja bisa terluka sampai seperti itu, membuktikan energi jin tua itu memang sangat besar melampaui dia.
“Mas! Mas!” Anika tidak mengira Nyai Mirah akan melakukan tindakan keras ke pria pujaannya. Dia berlari ke Juna yang terkapar di lantai. “Mas … kamu tidak apa-apa? Sakit? Aku pangg
Juna sengaja mendesak Anika agar wanita itu bersedia mencurahkan kata hatinya secara lebih terbuka, meski itu mungkin butuh waktu. Tapi dia akan bersabar menggalinya dari Anika.Menghadapi pertanyaan mendesak semacam itu dari Juna, Anika merasa bimbang. Ingin sekali dia mengiyakan, tapi dia teringat akan status beristri dari Juna.Anika menatap tak berdaya ke Juna sembari menjawab, “Mas, aku tak—““Apakah kamu memikirkan aku yang memiliki istri, makanya tak mau bermitra denganku?” potong Juna, lebih mendesak lagi dengan pemikirannya.***“Terima kasih atas kemitraan kita, Bu Anika.” Juna mengulurkan tangan ke depan.Anika menyambutnya secara canggung meski tetap dipaksakan untuk bertingkah sewajar mungkin. Mereka berjabat tangan di depan Velina yang menyaksikan penandatanganan kesediaan Anika membeli barang dari perusahaan itu dan Juna menerimanya.“Um, terima kasih juga atas kemitraan i
Juna dan Anika sama-sama terkejut saat bertemu di toko roti langganan Lenita. Meski begitu, mereka tidak terlalu menampakkan, bahkan Lenita pun tak tahu suaminya terkejut melihat seorang wanita di depannya.“Tsk!” Lenita hanya mendengus kesal ketika langkahnya terhambat oleh Anika ketika hendak mengambil baki.Anika lekas menundukkan kepala, berusaha tidak melihat lagi ke arah Juna dan Lenita. Apalagi ketika melihat perut membuncit kecil Lenita, dia semakin merasakan hatinya diremas keras-keras sampai meneteskan darah.‘Aku jadi merasa bersalah ke Ndoro Putri.’ Juna membatin. Meski ini bukan kesalahannya, tapi dia merasa tak enak hati.Sementara itu, Anika berusaha tidak sedekat mungkin dengan pasangan itu.Walau demikian, Juna masih sesekali mencuri pandang ke Anika ketika istrinya sedang memilih roti di sebelahnya.Melihat Anika menjauh di bagian lain, Juna berkata ke istrinya, “Aku ikut pilih roti, yah!&rdquo
Juna kaget, tak sempat mengaktifkan indera pelacak dia untuk mengetahui adanya seseorang yang duduk dan menunggu dia di ruangan gelap tersebut. Tenaganya terlalu lemah untuk itu.Namun, dia lega karena tahu bahwa itu adalah Wenti.“Mama? Kenapa malah duduk gelap-gelapan begitu?” tanya Juna sambil menentramkan tubuhnya yang terluka dalam.“Sepertinya Mama yang harus tanya, kenapa kamu keluar di jam segini.” Wenti menatap Juna lebih lekat sambil memicingkan mata karena merasa agak aneh. Dia berdiri sambil memegangi perut besarnya dan menghampiri Juna.“Ma ….” Juna ingin menjelaskan dengan alasan yang sekiranya masuk akal bagi Wenti. Namun ….“Jun? Kok kamu pucat begitu?” Wenti kini baru sadar bahwa wajah Juna nyaris sepucat kertas. Dia cemas seketika dan mendudukkan menantunya ke sofa terdekat.Tak menolak, Juna duduk sambil Wenti menatap cemas padanya. “Ma, ini tidak apa-apa,
Alangkah terkejutnya Wenti ketika dia mendengar dari Juna mengenai pengakuan menantunya. Apalagi, wajah Juna lurus dan terlihat serius dengan apa yang baru dia ucapkan.“J—Jun … itu kamu … serius? Bercanda, kan?” Wenti melongo, terpaku memandang menantunya.“Kenapa, Ma? Aku serius mengatakannya. Aku tidak bercanda. Aku … aku memang mencintai wanita lain.” Juna tidak memberikan senyum di wajahnya, menandakan dia bersungguh-sunguh.“Jadi, kamu … ini ….” Wenti kehilangan kata-kata.“Apakah aku salah kalau demikian, Ma?” Juna mempertanyakan ini dengan wajah lurus.Tentu saja Wenti tak siap dengan pengakuan beserta pertanyaan yang menyertainya. Dia tidak mengira akan menghadapi hal demikian dari menantunya.Seharusnya, dia sebagai ibu dari Lenita, akan marah mengetahui suami anaknya jatuh hati pada wanita lain. Tapi, bagaimana dia bisa marah jika dia sendiri
Juna terus berikan tatapan memohon ke Anika, berharap wanita muda itu bersedia menerima ajakan makan siangnya.Anika benar-benar bimbang. Hatinya sedang bergelut dengan egonya.‘Aku sangat mencintai Mas Janu, tapi aku juga harus sadar diri siapa aku dan siapa dia.’ Batin Anika terus bergumul. ‘Tapi … Dewata mengizinkan aku dan dia kembali bertemu di kehidupan kedua kami! Apakah aku tidak boleh mencicipi apa itu bahagia?’Bergumul dan terus bergelut, antara moral dan ego, hingga Anika rasanya ingin lari saja dan tidak perlu datang ke dunia modern ini jika yang dia dapatkan justru kekecewaan.“Maaf, Mas, aku tidak bisa meninggalkan pemeriksaanku.” Anika sudah membuat keputusan. “Terima kasih sudah mengantar barangnya.”Juna mencelos, tak ingin percaya pada apa yang dia dengar. Dia ditolak. Meneguk salivanya, terpaksa dia pamit mundur dari sana.“Baiklah, Nik! Aku pergi dulu kalau beg
Juna rela melakukan trik rendahan ini demi bisa mendapatkan perhatian Anika. Dia sudah tak tahu bagaimana cara agar bisa berduaan dengan wanita pujaannya.Baru saja dia melimbungkan tubuhnya agar ditangkap Anika, berharap dirinya akan ditangkap dan didekap sang pujaan.Tap!Juna sudah hampir tersenyum, tapi urung setelah dia tahu siapa yang menangkapnya.Nyai Mirah.“Haahh!” Juna terkejut dan melakukan gerakan menolak ketika melihat jin khodam itu yang menangkap tubuhnya. Apalagi Nyai Mirah mendelik padanya.Anika tak mau mengambil risiko dan terpaksa menarik Juna ke kamarnya. Yah, setidaknya ini masih sesuai dengan hasil yang diinginkan sang panglima kuno.“Ndoro.” Juna menatap penuh rasa sayang dan rindu pada Anika. Meski baru sehari tidak berduaan dengan wanita di depannya ini, dia sudah merasa gelisah akan kerinduan.“Mas baik-baik saja?” Pandangan Anika masih menyiratkan kekhawatiran.
“Kenapa, Pak?” Shevia bertanya dan segera menolehkan tubuhnya ke belakang untuk melihat siapa yang membuat Juna membeku sesaat ketika memandang ke arah kolam renang yang letaknya bersebelahan dengan restoran tempat mereka makan siang.Namun, ketika Shevia menoleh, yang ada hanya anak-anak kecil yang sedang bergembira ria sambil bermain air dan berlarian. Tidak ada orang yang sekiranya mencurigakan.“O—oh, itu tadi aku pikir aku melihat temanku dan anaknya, ternyata bukan.” Juna berkelit dengan cepat menggunakan alasan masuk akal.Tadi dia melihat Anika sedang ada di area kolam renang, sepertinya sedang berenang. Tapi dengan siapa? Untuk apa?Setelah selesai melakukan pertemuan dengan Shevia, Juna lekas menghubungi Anika, tapi teleponnya tidak juga direspon. Chat pun tidak dijawab.Dia tidak menyerah. Sambil berkendara, dia tetap menghubungi Anika, berharap wanita itu tidak salah paham ketika melihat dia bersama Shevia.
Baru saja Juna meneriakkan kata-katanya di hati, sudah ada banyak kelebatan dari segala arah. Dia tak ragu dan tetap melangkah masuk ke lantai dasar yang luas yang nantinya menjadi lobi utama.Kelebatan makhluk-makhluk astral terus saja terbang dari kanan, kiri, dan atas Juna. Energi keruh mereka sebenarnya menyesakkan, tapi Juna bisa menahannya.Dari yang berwarna putih hingga hitam. Semuanya seakan lengkap di sana. Belum lagi berbagai bentuk, bau, dan suara … semuanya seolah mengepung Juna.‘Baguslah kalau kalian sudah datang. Nah, aku tanya kalian, apakah kalian bersedia pergi dari sini dan tak kembali lagi? Atau kalian lebih suka aku yang membuat kalian pergi?’ Meski mulut Juna tidak bergerak, tapi makhluk astral yang mengepungnya pasti bisa mendengar yang dia ucapkan di benak.Patut diketahui, bahwa makhluk-makhluk astral akan tetap bisa mengetahui ucapan menusia meski tidak diucapkan menggunakan mulut. Mereka bisa membaca hati dan benak manusia.‘Manusia sialan!’ Makhluk tinggi