Juna terus berikan tatapan memohon ke Anika, berharap wanita muda itu bersedia menerima ajakan makan siangnya.
Anika benar-benar bimbang. Hatinya sedang bergelut dengan egonya.
‘Aku sangat mencintai Mas Janu, tapi aku juga harus sadar diri siapa aku dan siapa dia.’ Batin Anika terus bergumul. ‘Tapi … Dewata mengizinkan aku dan dia kembali bertemu di kehidupan kedua kami! Apakah aku tidak boleh mencicipi apa itu bahagia?’
Bergumul dan terus bergelut, antara moral dan ego, hingga Anika rasanya ingin lari saja dan tidak perlu datang ke dunia modern ini jika yang dia dapatkan justru kekecewaan.
“Maaf, Mas, aku tidak bisa meninggalkan pemeriksaanku.” Anika sudah membuat keputusan. “Terima kasih sudah mengantar barangnya.”
Juna mencelos, tak ingin percaya pada apa yang dia dengar. Dia ditolak. Meneguk salivanya, terpaksa dia pamit mundur dari sana.
“Baiklah, Nik! Aku pergi dulu kalau beg
Juna rela melakukan trik rendahan ini demi bisa mendapatkan perhatian Anika. Dia sudah tak tahu bagaimana cara agar bisa berduaan dengan wanita pujaannya.Baru saja dia melimbungkan tubuhnya agar ditangkap Anika, berharap dirinya akan ditangkap dan didekap sang pujaan.Tap!Juna sudah hampir tersenyum, tapi urung setelah dia tahu siapa yang menangkapnya.Nyai Mirah.“Haahh!” Juna terkejut dan melakukan gerakan menolak ketika melihat jin khodam itu yang menangkap tubuhnya. Apalagi Nyai Mirah mendelik padanya.Anika tak mau mengambil risiko dan terpaksa menarik Juna ke kamarnya. Yah, setidaknya ini masih sesuai dengan hasil yang diinginkan sang panglima kuno.“Ndoro.” Juna menatap penuh rasa sayang dan rindu pada Anika. Meski baru sehari tidak berduaan dengan wanita di depannya ini, dia sudah merasa gelisah akan kerinduan.“Mas baik-baik saja?” Pandangan Anika masih menyiratkan kekhawatiran.
“Kenapa, Pak?” Shevia bertanya dan segera menolehkan tubuhnya ke belakang untuk melihat siapa yang membuat Juna membeku sesaat ketika memandang ke arah kolam renang yang letaknya bersebelahan dengan restoran tempat mereka makan siang.Namun, ketika Shevia menoleh, yang ada hanya anak-anak kecil yang sedang bergembira ria sambil bermain air dan berlarian. Tidak ada orang yang sekiranya mencurigakan.“O—oh, itu tadi aku pikir aku melihat temanku dan anaknya, ternyata bukan.” Juna berkelit dengan cepat menggunakan alasan masuk akal.Tadi dia melihat Anika sedang ada di area kolam renang, sepertinya sedang berenang. Tapi dengan siapa? Untuk apa?Setelah selesai melakukan pertemuan dengan Shevia, Juna lekas menghubungi Anika, tapi teleponnya tidak juga direspon. Chat pun tidak dijawab.Dia tidak menyerah. Sambil berkendara, dia tetap menghubungi Anika, berharap wanita itu tidak salah paham ketika melihat dia bersama Shevia.
Baru saja Juna meneriakkan kata-katanya di hati, sudah ada banyak kelebatan dari segala arah. Dia tak ragu dan tetap melangkah masuk ke lantai dasar yang luas yang nantinya menjadi lobi utama.Kelebatan makhluk-makhluk astral terus saja terbang dari kanan, kiri, dan atas Juna. Energi keruh mereka sebenarnya menyesakkan, tapi Juna bisa menahannya.Dari yang berwarna putih hingga hitam. Semuanya seakan lengkap di sana. Belum lagi berbagai bentuk, bau, dan suara … semuanya seolah mengepung Juna.‘Baguslah kalau kalian sudah datang. Nah, aku tanya kalian, apakah kalian bersedia pergi dari sini dan tak kembali lagi? Atau kalian lebih suka aku yang membuat kalian pergi?’ Meski mulut Juna tidak bergerak, tapi makhluk astral yang mengepungnya pasti bisa mendengar yang dia ucapkan di benak.Patut diketahui, bahwa makhluk-makhluk astral akan tetap bisa mengetahui ucapan menusia meski tidak diucapkan menggunakan mulut. Mereka bisa membaca hati dan benak manusia.‘Manusia sialan!’ Makhluk tinggi
“Nik?” Juna memanggil Anika yang hendak melewatinya.Ketika Anika menaikkan wajahnya, dia terkejut melihat Juna sudah di depannya. Sikapnya seketika gugup.“Siapa dia, Bu Ani?” tanya pria tadi.“O—ooh … dia … dia mitra bisnis saya, Pak Odi.” Anika menjawab canggung pertanyaan standar dari pria bernama Odi.“Oh, halo!” Odi mengulurkan tangan ke Juna. “Saya Odi.” Dia memperkenalkan diri dengan wajah ramah.Juna tidak memiliki pilihan selain menjabat tangan orang itu. “Juna.”Setelah memperkenalkan dirinya sebagai basa-basi semata, Juna mengalihkan pandangan ke Anika. “Nik, mau pergi?”“Um, iya, Mas!” Anika masih gugup, dia merasa bagaikan seorang gadis yang terpergok kekasihnya saat sedang bersama pria lain. ‘Padahal aku kan bukan siapa-siapa Mas Janu. Untuk apa aku segugup ini?’ Meski begitu, tetap saja dia merasa tak enak sendiri ke Juna.Saking gugupnya, Anika tak berani menatap Juna dan tangannya malah menyingkirkan sejumput rambut ke belakang telinga.“Ah, permisi dulu, Pak Juna! K
Mata Odi memang sesekali jelalatan ke Shevia yang cantik dan berani berbusana agak terbuka yang menampilkan kemolekan tubuhnya lebih frontal. Maklum saja, dia sudah terbiasa dengan gaya bebas di luar negeri, maka itu sedikit banyak mempengaruhi penampilannya.Juna justru senang melihat itu karena dia semakin yakin akan mutu sebenarnya dari lelaki bernama Odi yang konon merupakan wakil walikota.‘Dasar lelaki bandot! Hendak merebut Ndoro Putri dariku, heh? Aku kuliti kau nanti!’ geram Juna di dalam hatinya.Selama makan siang bersama itu, pembicaraan didominasi oleh Odi dan Shevia. Juna sesekali akan menimpali saja jika memang diperlukan. Walau begitu, Shevia tidak menyembunyikan rasa ketertarikan dia terhadap Juna, lirikan matanya beberapa ke Juna sudah mendeskripsikan itu.“Oh ya, Bu Anika ini temannya Pak Juna, ya?” tanya Shevia saat dia teringat akan hal itu dan menatap Anika yang sejak tadi diam serta menundukkan kepala, seakan
‘Apa sebaiknya aku pergi saja, ya? Lagipula, aku sepertinya sudah tidak dibutuhkan lagi di sini. Aku tak bisa tenang memikirkan Ndoro Putri.’ Juna hendak berdiri, tapi mendadak saja terdengar suara bayi menangis.Mendengar tangisan bayi yang diyakini Juna sebagai anak Wenti, Juna lega bukan main. Sejak kematian Leila, Juna sudah menarik pecahan jiwanya dari sisi Wenti, sehingga dia tak bisa mengetahui banyak hal lagi seperti sebelumnya.‘Baiklah, anaknya sudah lahir, maka aku bisa te—“ Juna baru saja hendak beranjak pergi, ketika dia melihat dua jin wanita bergaun putih dan merah mendekat, ingin masuk ke dalam ruang bersalin.‘Hei, hei, hei! Kok seenaknya begitu kalian, hm?’ sergah Juna pada dua makhluk astral yang melesat ingin lekas masuk ke ruang bersalin.Kedua makhluk astral itu terkejut dan menoleh ke Juna. Namun, mereka langsung terpental karena Juna sudah memukul mereka dengan energi murninya.Si ga
Odi dan Anika sama-sama terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Itu berasal dari pintu mobil di sisi Odi yang digebrak kuat oleh Juna.Melihat itu adalah Juna, Anika memekik, “Mas! Mas Janu! Tolong!” Dia tak bisa menahan rasa lega dan hatinya terus mengucapkan rasa syukur atas kemunculan pria pujaannya.Tak perlu diminta pun, Juna pasti akan menolong Anika. Dengan sekali sentak saja, dia berhasil menarik lepas pintu mobil Odi dan membuang sembarang di belakang, sangat mengejutkan Odi.Mana ada manusia normal yang sanggup menarik lepas pintu mobil dengan tangan kosong?Tanpa menggubris apa yang dipikirkan Odi, Juna sudah menarik kerah baju Odi dan menyeret keluar pria mesum 40-an tahun itu seperti menyeret guling saja.Tubuh Odi tak bisa menahan kekuatan Juna dan dihempas keluar di atas rerumputan di dekat mobil. Odi bergidik ngeri melihat sorot mata Juna yang menyala tajam seakan itu sorot mata iblis yang murka.“A&mdash
Rasanya ingin sekali Anika tetap teguh dalam moralitas yang dia ketahui, agar jangan bermain api dengan suami orang. Tapi … hati dan tubuhnya mengkhianati dia.Alih-alih mendorong Juna, lengannya justru meremas pakaian di punggung Juna sembari membalas kecil cumbuan demi cumbuan Juna sampai akhirnya dia yang melepaskan diri akibat ingin mengambil napas segar.Wajah Anika merona merah tanpa bisa dicegah. Juna bisa melihatnya meski keadaan di sana gelap tanpa ada banyak cahaya kecuali dari lampu jalan remang di kejauhan dan pantulan sinar lampu kota di bawah sana.“Nik, jadilah milikku. Aku janji, akan memberimu kebahagiaan, apapun caranya.” Juna mengucapkannya secara tulus meski sebenarnya dia merasa itu seperti ucapan gombal lelaki pada umumnya.Anika menatap Juna dengan perasaan ragu. “Tapi, Mas … istrimu ….”Juna paham ini pasti hal yang sangat merisaukan perasaan Anika, maka dari itu, dia menyahut, &l