Mata Odi memang sesekali jelalatan ke Shevia yang cantik dan berani berbusana agak terbuka yang menampilkan kemolekan tubuhnya lebih frontal. Maklum saja, dia sudah terbiasa dengan gaya bebas di luar negeri, maka itu sedikit banyak mempengaruhi penampilannya.Juna justru senang melihat itu karena dia semakin yakin akan mutu sebenarnya dari lelaki bernama Odi yang konon merupakan wakil walikota.‘Dasar lelaki bandot! Hendak merebut Ndoro Putri dariku, heh? Aku kuliti kau nanti!’ geram Juna di dalam hatinya.Selama makan siang bersama itu, pembicaraan didominasi oleh Odi dan Shevia. Juna sesekali akan menimpali saja jika memang diperlukan. Walau begitu, Shevia tidak menyembunyikan rasa ketertarikan dia terhadap Juna, lirikan matanya beberapa ke Juna sudah mendeskripsikan itu.“Oh ya, Bu Anika ini temannya Pak Juna, ya?” tanya Shevia saat dia teringat akan hal itu dan menatap Anika yang sejak tadi diam serta menundukkan kepala, seakan
‘Apa sebaiknya aku pergi saja, ya? Lagipula, aku sepertinya sudah tidak dibutuhkan lagi di sini. Aku tak bisa tenang memikirkan Ndoro Putri.’ Juna hendak berdiri, tapi mendadak saja terdengar suara bayi menangis.Mendengar tangisan bayi yang diyakini Juna sebagai anak Wenti, Juna lega bukan main. Sejak kematian Leila, Juna sudah menarik pecahan jiwanya dari sisi Wenti, sehingga dia tak bisa mengetahui banyak hal lagi seperti sebelumnya.‘Baiklah, anaknya sudah lahir, maka aku bisa te—“ Juna baru saja hendak beranjak pergi, ketika dia melihat dua jin wanita bergaun putih dan merah mendekat, ingin masuk ke dalam ruang bersalin.‘Hei, hei, hei! Kok seenaknya begitu kalian, hm?’ sergah Juna pada dua makhluk astral yang melesat ingin lekas masuk ke ruang bersalin.Kedua makhluk astral itu terkejut dan menoleh ke Juna. Namun, mereka langsung terpental karena Juna sudah memukul mereka dengan energi murninya.Si ga
Odi dan Anika sama-sama terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Itu berasal dari pintu mobil di sisi Odi yang digebrak kuat oleh Juna.Melihat itu adalah Juna, Anika memekik, “Mas! Mas Janu! Tolong!” Dia tak bisa menahan rasa lega dan hatinya terus mengucapkan rasa syukur atas kemunculan pria pujaannya.Tak perlu diminta pun, Juna pasti akan menolong Anika. Dengan sekali sentak saja, dia berhasil menarik lepas pintu mobil Odi dan membuang sembarang di belakang, sangat mengejutkan Odi.Mana ada manusia normal yang sanggup menarik lepas pintu mobil dengan tangan kosong?Tanpa menggubris apa yang dipikirkan Odi, Juna sudah menarik kerah baju Odi dan menyeret keluar pria mesum 40-an tahun itu seperti menyeret guling saja.Tubuh Odi tak bisa menahan kekuatan Juna dan dihempas keluar di atas rerumputan di dekat mobil. Odi bergidik ngeri melihat sorot mata Juna yang menyala tajam seakan itu sorot mata iblis yang murka.“A&mdash
Rasanya ingin sekali Anika tetap teguh dalam moralitas yang dia ketahui, agar jangan bermain api dengan suami orang. Tapi … hati dan tubuhnya mengkhianati dia.Alih-alih mendorong Juna, lengannya justru meremas pakaian di punggung Juna sembari membalas kecil cumbuan demi cumbuan Juna sampai akhirnya dia yang melepaskan diri akibat ingin mengambil napas segar.Wajah Anika merona merah tanpa bisa dicegah. Juna bisa melihatnya meski keadaan di sana gelap tanpa ada banyak cahaya kecuali dari lampu jalan remang di kejauhan dan pantulan sinar lampu kota di bawah sana.“Nik, jadilah milikku. Aku janji, akan memberimu kebahagiaan, apapun caranya.” Juna mengucapkannya secara tulus meski sebenarnya dia merasa itu seperti ucapan gombal lelaki pada umumnya.Anika menatap Juna dengan perasaan ragu. “Tapi, Mas … istrimu ….”Juna paham ini pasti hal yang sangat merisaukan perasaan Anika, maka dari itu, dia menyahut, &l
“Nyai.” Juna menyapa jin khodam berusia sangat tua dan sakti di depannya.Nyai Mirah bersidekap tangan di depan dada sambil berdiri melayang tegak dan menatap lurus ke Juna dengan pandangan yang tegas sekaligus tak bersahabat.“Pergilah! Pulang sana ke tempatmu sendiri!” Nyai Mirah memberikan perintah. Meski dia menggunakan suara, namun Nyai MIrah hanya mengatur supaya Juna saja yang bisa mendengar. Itu hal mudah bagi jin tua.“Tidak, Nyai.” Juna menggeleng dan bersuara pelan mirip bisikan. “Saya sangat ingin bertemu dengan Ndoro Putri.”“Tidak perlu! Ndoro tidak memerlukan orang sepertimu di sini! Pergi! Jangan ganggu kehidupan dia yang telah tentram dan damai!” Nyai Mirah tetap dengan sikapnya, menolak Juna mendekati Anika.Sekali lagi, Juna menggelengkan kepala. “Nyai, tidak bisa begitu. Saya sudah sejak lama mencintai Ndoro Putri. Apakah Nyai tidak mengetahui itu?”&
Nyai Mirah diam tak menjawab. Dia sedikit menundukkan pandangannya, tak berani menatap Anika. Meski dia adalah jin kuat nan sakti, namun dia sudah terikat menjadi milik Anika. Sebagai jin khodam, mana dia berani melawan majikannya?Anika masih terbawa emosi ketika menatap Nyai Mirah. Dia tak menyangka bahwa jin khodamnya bertindak di luar perintahnya. Sejak kapan dia menginginkan Nyai Mirah menindak Juna begitu?“Nyai, kalau Nyai masih ingin menjadi pelindungku, maka mulai saat ini, Nyai tidak boleh lagi menyerang, memukul, melukai ataupun menyakiti Mas Janu!” Anika tegas mengatakannya ke Nyai Mirah. Saat ini mereka hanya berdua saja tanpa ada siapapun selain Juna yang masih tak sadarkan diri.“Ndoro ….” Nyai Mirah ingin membela diri, tapi urung. Bagaimanapun, dia hanyalah jin khodam yang harus patuh pada apapun perintah majikannya.Kali ini, Anika sungguh memberikan perintah tegas dan jelas padanya, dan ini merupakan pertam
Ketika perawat datang kembali di jam 5 subuh, Juna sudah berkemas-kemas bersama Anika. Padahal dia ingin memeriksa kondisi terbaru Juna.“Lho? Pak? Kok?” Perawat itu sampai bingung harus mengucapkan apa ketika melihat kondisi Juna ternyata sudah pulih sepenuhnya, tak ada tanda-tanda pernah sakit sebelumnya.“Suster, saya sudah sembuh, terima kasih atas perawatannya di sini.” Juna menyahut sebelum Anika bersuara.Perawat masih terpaku di tempatnya, tidak menyangka secepat itu Juna berhasil sembuh sempurna.“Yuk, Nik!” Juna menoleh ke Anika. Wanita di sebelahnya tersenyum sembari mengangguk dan kemudian mereka saling bergandengan tangan, tak lupa berpamitan pada perawat yang masih bingung.“Sudah kamu bayar semua biayanya?” tanya Juna sembari melangkah bersisian dengan Anika di lorong area VIP.“Sudah, Mas.” Anika mengangguk, tak keberatan tangannya digenggam erat oleh Juna, justru ha
Celaka!Juna mendadak gamang. Dilema bermunculan menyesaki kepalanya. Jika dia menepis Lenita, anak di perut istrinya bisa-bisa menjadi korban kebengisan ibunya. Kalau dia menanggapi aksi binal Lenita, bukankah dia akan merasa bersalah pada Anika?Kalau dia menyentuh Lenita, bukankah itu sama artinya dengan dia berkhianat dari Anika? Bagaimana nantinya perasaan Anika kalau mengetahui itu?Tapi … bukankah tak mungkin Anika tahu hal itu apabila dia tidak mengatakan apa-apa? Lagipula, ini menyangkut keselamatan seorang calon manusia di dalam perut.Meskipun dia tidak mencintai Lenita, tapi dia tak mungkin diam saja mengabaikan anaknya di perut si istri.Maka, menahan rasa enggan dan malas, Juna terpaksa meladeni Lenita. Dia tak mau anaknya, darah dagingnya, menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya.Lenita gembira bukan kepalang. Dia bergerak binal dan mengundang gairah Juna dengan sentuhan dan kecupan demi kecupan.“Orrgh