Juna bisa melihat raut wajah Anika yang mendadak berubah muram karena dia mengakui memiliki istri di era ini. Ada rasa menyesakkan di dada dirasakan olehnya.Tapi, Anika segera mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Wah, selamat, Mas! Sepertinya kehidupan Mas bagus di era ini.”Senyum berbalut kepedihan dari Anika tidak bisa menipu Juna. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi wanita di depannya hendak bicara lagi.“Aku tidak menyangka kita bisa diturunkan di zaman ini, Mas.” Anika menatap malu-malu pria yang telah dia sukai sejak remaja dulu. Pria yang dia pikir takkan sudi mengajaknya bicara karena Juna dulu terkesan tegas, dingin, dan tak banyak bicara. Namun, dia tahu bahwa banyak wanita-wanita bangsawan bahkan beberapa kakaknya tertarik dengan Panglima Janu.Bedanya dia dengan mereka, dia terlalu menutup perasaannya, sedangkan mereka terlihat lebih berani mendekat dan mengajak bicara sang panglima meski hanya untuk satu dua kalimat.
Mata Juna melebar. “Kok? Kok tidak jadi, Ndoro?” Dia heran atas pengurungan niat kerja sama mereka.“Iya, Mas Janu. Maaf kalau saya malah mundur dan tidak jadi bermitra dengan perusahaan Mas.” Anika memaksakan diri menatap Juna meski sebenarnya tak sanggup. Dia ingin selekasnya menghindari tatapan Juna.“Iya, tak apa, Nik, tapi … kenapa?” Juna begitu ingin tahu alasan yang mendasari batalnya niat bermitra Anika pada PT Kencana Buana.“Itu … mendadak saja aku teringat dengan mantan suamiku yang pernah bicara bahwa dia ingin mengambil stok barang dari distributor lain.” Anika terpaksa mengarang alasan sambil membawa-bawa nama almarhum suaminya.Juna tidak bisa memaksa dan terpaksa menelan kekecutan di hatinya. Bukankah kalau kemitraan mereka gagal terlaksana, maka dia tak memiliki kesempatan untuk bertemu Anika?Jantungnya terasa diremas, tapi bukan karena penyakit misterius seperti sebelu
Anika menatap jin tua wanita yang mampu mengubah wujudnya menjadi lebih solid itu dan kemudian dia menegakkan tubuhnya, menyeka air mata dan menjawab pertanyaan jin khodamnya, “Aku … aku merasa kecewa, Nyai.”“Kecewa?” Nyai Mirah yang bernama asli Dewi Kosambi bertanya, “Bukankah Ndoro Putri yang sangat menginginkan bertemu dengannya? Bahkan itu mengguncang hamba yang sedang terlelap dalam tidur panjang hamba, sehingga hamba membuat Ndoro bisa mengikuti dia ke era ini.”Wajah Anika terlihat tak enak hati ketika dia diingatkan mengenai itu. Memang saat kritis sebelum kereta kudanya tercebur ke jurang, dia sempat berdoa keras di dalam hatinya berharap ada keajaiban bisa terus bersama sang panglima di kehidupan mana pun dia berada.Saat itu, keinginan kuat Anika mengguncang batu mestika Merah Delima tempat Nyai Mirah berada dan membangunkannya dari tidur panjang, lalu mengabulkan permohonan Anika sebagai majikannya.
Juna kebingungan, kenapa dia justru ditarik masuk ke kamar begini? Tapi, dia tentu tak akan menolak karena apapun yang bisa membuatnya bertemu lebih lama dengan Anika merupakan sesuatu yang akan dia syukuri.“Ndoro—mmphh!” Juna baru saja hendak berbicara tapi mulutnya sudah ditutup telapak tangan Anika.“Bu? Bu Anik?” Pekerja pria sudah berdiri di depan pintu Anika sambil mengetuk. “Permisi, Bu! Sudah tidur?”“Belum! Eh sudah! Ah, maksudku, hampir!” Anika sampai gugup sendiri menjawab pekerjanya. Dia tidak membukakan pintu dan hanya menyahut dari dalam kamar.Ketiga pekerja pria yang masih berdiri di luar kamar Anika saling pandang.Kemudian, salah satu dari mereka bertanya, “Bu, apakah Ibu dengar suara di sini tadi?”“Suara? Suara apa, ya?” Anika masih tak mau membukakan pintu kamarnya dan sedikit mengeraskan suaranya untuk menjawab para pekerjanya.“
Juna sempat bingung sejenak memikirkan cara dia untuk masuk ke dalam rumah, tapi sebagai panglima yang memiliki segudang pengalaman dan taktik, maka dia menemukan ide dengan cepat.Dia gerakkan tangan ke area bawah dan beberapa batu kecil langsung terangkat dan menempel di telapak tangannya seolah tangannya berfungsi sama seperti alat vaccum saja.Setelah memiliki beberapa batu kecil, dia hanya perlu melemparkan satu batu tadi ke suatu arah.“Hm?” ART itu menegakkan kepalanya untuk mencari arah suara. Dikarenakan insting manusia yang ingin tahu, maka ART perempuan tadi itu pun segera beranjak mencari sumber suara.Juna melemparkan lagi batu lain ke arah lebih jauh tanpa sepengetahuan dan sepengelihatan ART tadi sehingga kini perempuan itu menjauh dari area teras samping.Kesempatan ini digunakan Juna untuk turun dari atap dan menyelinap masuk tanpa ketahuan.Dia baru saja merasa lega karena berhasil masuk rumah inti, ketika menda
Jantung Juna seperti dihantam godam raksasa. Jadi itu alasan kenapa Anika terus menolaknya meski dalam urusan bisnis. Karena dia sudah beristri.“Ndoro, kenapa statusku itu harus menjadi penghalang?” tanya Juna sambil memicingkan mata ke Anika, mengabaikan Nyai Mirah.“Dasar tidak tahu malu! Enyah saja kau dari sini!” Nyai Mirah sudah tak bisa menahan emosinya dan mengibaskan tangan ke Juna.Bruakk!Segera saja, Juna terpental hingga menabrak lemari kayu jati di dekatnya cukup keras. Dia memuntahkan seteguk darah karenanya. Padahal itu pun dia sudah menggunakan kanuragannya untuk memblokir serangan Nyai Mirah, tapi masih saja bisa terluka sampai seperti itu, membuktikan energi jin tua itu memang sangat besar melampaui dia.“Mas! Mas!” Anika tidak mengira Nyai Mirah akan melakukan tindakan keras ke pria pujaannya. Dia berlari ke Juna yang terkapar di lantai. “Mas … kamu tidak apa-apa? Sakit? Aku pangg
Juna sengaja mendesak Anika agar wanita itu bersedia mencurahkan kata hatinya secara lebih terbuka, meski itu mungkin butuh waktu. Tapi dia akan bersabar menggalinya dari Anika.Menghadapi pertanyaan mendesak semacam itu dari Juna, Anika merasa bimbang. Ingin sekali dia mengiyakan, tapi dia teringat akan status beristri dari Juna.Anika menatap tak berdaya ke Juna sembari menjawab, “Mas, aku tak—““Apakah kamu memikirkan aku yang memiliki istri, makanya tak mau bermitra denganku?” potong Juna, lebih mendesak lagi dengan pemikirannya.***“Terima kasih atas kemitraan kita, Bu Anika.” Juna mengulurkan tangan ke depan.Anika menyambutnya secara canggung meski tetap dipaksakan untuk bertingkah sewajar mungkin. Mereka berjabat tangan di depan Velina yang menyaksikan penandatanganan kesediaan Anika membeli barang dari perusahaan itu dan Juna menerimanya.“Um, terima kasih juga atas kemitraan i
Juna dan Anika sama-sama terkejut saat bertemu di toko roti langganan Lenita. Meski begitu, mereka tidak terlalu menampakkan, bahkan Lenita pun tak tahu suaminya terkejut melihat seorang wanita di depannya.“Tsk!” Lenita hanya mendengus kesal ketika langkahnya terhambat oleh Anika ketika hendak mengambil baki.Anika lekas menundukkan kepala, berusaha tidak melihat lagi ke arah Juna dan Lenita. Apalagi ketika melihat perut membuncit kecil Lenita, dia semakin merasakan hatinya diremas keras-keras sampai meneteskan darah.‘Aku jadi merasa bersalah ke Ndoro Putri.’ Juna membatin. Meski ini bukan kesalahannya, tapi dia merasa tak enak hati.Sementara itu, Anika berusaha tidak sedekat mungkin dengan pasangan itu.Walau demikian, Juna masih sesekali mencuri pandang ke Anika ketika istrinya sedang memilih roti di sebelahnya.Melihat Anika menjauh di bagian lain, Juna berkata ke istrinya, “Aku ikut pilih roti, yah!&rdquo