Memang sebuah keputusan yang tepat bagi Juna memecah sedikit jiwanya untuk mendampingi Wenti, terlebih dalam masa kehamilan istri muda Hartono itu.Karena, ternyata tidak hanya makhluk ghaib saja yang dikirim Leila untuk mencelakakan Wenti, tapi juga preman-preman suruhan. Mereka semua mengintai rumah Hartono, dan akan bergerak jika melihat mobil yang membawa Wenti pergi keluar.Bagaimana pun juga, Wenti diberikan toko roti oleh Hartono untuk dikelola. Biasanya dia akan mendatangi toko di siang hari dan akan di sana hingga jam 4 sore.Juna sudah dua kali menghalau preman-preman itu. Namun, rupanya Leila sangat berlimpah uang sampai tidak pernah kekurangan orang bayaran untuk membayar preman demi bisa mencelakai saingannya.‘Aku heran dengan macan betina tua satu itu. Padahal suaminya tidak kurang-kurang memberi dia uang selain usaha toko emas lumayan besar di Samanggi ini. Tapi kenapa masih saja ingin melenyapkan saingannya.’ Juna tak habis pikir.‘Tapi, yah, namanya orang serakah, he
Juna langsung bisa merasakan adanya situasi gawat pada Wenti dan Iwang. Saat ini dia sedang berada di kantor dan di tengah rapat dewan direksi.Ingin sekali Juna keluar dari ruangan agar dia bisa lebih fokus menolong Wenti, tapi tak enak karena ini menyangkut profesionalitas kerja.Tapi, Wenti dan Iwang juga penting. Bagaimana ini? Apalagi, dia bisa merasakan bahwa dua puluhan orang yang ada di empat mobil yang mengincar Wenti, semuanya memiliki senjata api.Meskipun mungkin pecahan jiwanya yang dia tempatkan di sisi Wenti, tapi kalau belasan orang itu menyerang sekaligus, itu juga sangat menyusahkan.Srakk!Juna bangkit dari kursinya dengan tergesa-gesa, bicara pada Velina dan yang lainnya. “Tolong Pak Darmawan yang pimpin rapat dulu, saya ada kepentingan yang tak bisa ditunda.”Para direksi hanya bisa mengangguk dengan tatapan bingung ketika melihat gelagat gelisah dari Juna yang bergegas keluar ruangan.“Karena Pak Juna sedang ada kepentingan mendadak, maka silahkan Pak Darmawan me
Wenti heran dengan suara ‘bak buk brak’ di luar sana. Dia pelan-pelan bangun dari posisi meringkuknya untuk melihat keadaan. Matanya membola kaget ketika melihat ternyata Juna ada di depan sana, sibuk bertarung dengan para preman.Ini bahkan Juna sedang menghajar bos premannya. Tak hanya mematahkan tulang pergelangan tangan, Juna juga membuat bos preman itu meraung kesakitan ketika tulang lengan, tulang bahu, juga lututnya dipatahkan Juna.Meski ngeri melihat adegan sadis di depan matanya, tapi Wenti sangat bersyukur akan kehadiran Juna yang sangat tepat waktu. ‘Aku tak tahu akan jadi seperti apa aku jika Juna tidak ada.’Iwang yang awalnya ciut karena dominasi preman, kini dia bersemangat dan berseru antusias, “Wuhu! Ayo, Mas Juna! Tampol dia, Mas! Tonjok muka jahatnya! Ya, bagus, Mas!” Sembari menyemangati Juna, dia ikut menggerakkan tangan seakan sedang bertinju melawan udara kosong.“Aarghhh!” Bos preman itu menjerit pilu ketika tulang sendi lututnya yang kedua dipatahkan Juna seh
Tindakan memohon Leila sambil berlutut dan memelas pada Hartono tidak pernah diduga siapapun, termasuk Juna. Matanya melebar, takut salah melihat apa yang tersaji di depannya.Namun, mau berkedip sebanyak apapun, Juna masih saja menyaksikan adegan Leila berlutut sembari memohon ampun ke Hartono.“Pih, aku ini khilaf, Pih! Aku hanya didorong rasa cemburu! Aku takut anaknya Wenti akan menguasai warisanmu tanpa meninggalkan sedikit pun untuk Nita, anakku.” Leila meraungkan tangisnya sambil memeluk kaki suaminya.“Pih, aku mohon ampunmu, Pih … aku berbuat begini demi anakku. Aku … aku juga melakukan ini atas dasar rasa cintaku yang begitu besar padamu, aku belum bisa merelakan kamu dengannya, Pih … aku masih sakit hati dengan hubungan kalian. Pih! Kamu tak akan melupakan bagaimana pelayananku kepadamu sejak dulu kita awal menikah, kan?” Leila mencoba membawa nostalgia masa lalu keharmonisan mereka ke Hartono.Demi tidak ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Leila bersedia meruntuhkan harg
“Mama! Mama!” Lenita terus saja meraungkan ibunya semenjak jenazah Leila sudah berada di rumah Hartono. Banyak kerabatnya yang terus menghibur dia.Juna masih membantu mengatur ini dan itu bersama Hartono untuk mempersiapkan pemakaman Leila. Ruang tamu dan ruang tengah dipenuhi tetangga.Orang-orang yang datang melayat diterima di ruang tamu, sedangkan ibu-ibu tetangga dan kerabat Leila lainnya membuat roncean tali dari bunga melati dan kuncup mawar serta berbagai bunga lainnya untuk nantinya dipakai sebagai hiasan di atas keranda.Lenita masih tak berhenti memikirkan dirinya sudah kehilangan seorang ibu yang biasanya menjadi pendukung penuh dirinya dalam hal apapun kecuali untuk hal Juna.‘Apa yang akan aku lakukan tanpa ada mama? Aku bagaimana kalau tak ada mama? Siapa yang membelaku kalau nanti si jalang betina itu jahat padaku? Mama … kenapa mama malah mati? Mama jahat! Kenapa mama malah mati? Pesawat sialan! Pilot tolol! Dasar pilot tak berguna! Tak bisa menjalankan pesawat! Memb
Ada berbagai macam rasa di hati Juna saat ini usai dia benar-benar diyakinkan oleh dokter bahwa istrinya hamil. Meski dia sudah memiliki prediksi sebelumnya di pemakaman Leila, tapi kini dia semakin teguh memercayai ada anaknya di perut Lenita.Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, senyum tak pernah lepas dari bibir Juna.‘Aku akan menjadi seorang ayah! Seorang ayah! Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, sesuatu yang belum pernah aku capai selama hidupku sejak dulu sekalipun!’Juna berteriak di benaknya ketika membayangkan dia akan menjadi seorang bapak beberapa bulan ke depan. Saat ini usia kehamilan Lenita sudah mencapai hampir 8 minggu.Untuk kesekian kalinya, Juna menoleh ke istrinya di samping dan senyum masih terbit di wajah, hingga Lenita heran.“Ada apa, sih Jun?” Berbeda dengan Juna, tanggapan Lenita mengenai kehamilannya justru datar saja. “Biasa saja, kenapa?”“Loh! Kok kehamilan dianggap biasa?” Juna agak heran dengan reaksi istrinya. Bukankah biasanya perempuan yang sang
Juna sudah tidak bisa bersabar lagi setelah satu bulan lebih dia seperti diabaikan dan tidak direspon dengan baik apapun usahanya menyenangkan hati sang istri.Menahan diri agar tidak emosi berlebihan, Juna tetap mencabut ponsel dari tangan Lenita meski dilakukan dengan gerakan pelan.“Len, sebenarnya kamu ada apa akhir-akhir ini, hm?” Juna mengambil ponsel di tangan istrinya dengan harapan dia bisa berbicara dengan serius bersama Lenita.“Kembalikan! Kembalikan ponselku!” Lenita membentak Juna.Sikap Lenita agak mengejutkan Juna. Seolah itu kembali ke Lenita yang lama, sorot matanya juga sedingin saat Juna pertama kali bertemu usai dia bangun di tubuh Arjuna.“Aku kembalikan nanti setelah kita bicara dulu, Len.” Juna masih memperluas lautan kesabarannya dengan berbicara menggunakan nada suara lembut, tidak setegas biasanya.“Bicara apa lagi?” Lenita menjawab secara ketus sambil tangannya berusaha mengambil kembali ponselnya dari Juna.Namun, tentu saja Juna tak mau menyerahkannya. “A
“Panglima ….” Suara lirih wanita muda itu mirip bisikan di saat matanya menatap Juna.“Tuan Putri?” Juna juga setengah berbisik ketika menyebutkan itu sambil menatap linglung wanita yang dikatakan sebagai calon kliennya.“Pak? Pak Juna?” Perempuan resepsionis yang berdiri di samping wanita muda itu memanggil bosnya beberapa kali. ‘Ya ampun, bosku ini. Iya, sih, nyonya ini memang cantik luar biasa, tapi tak perlu sampai terpana begitu, ya kan?’ batinnya.Resepsionis itu tak mengetahui kenapa bosnya bersikap termangu demikian hanya karena bertemu wanita yang sangat cantik di depannya.“Oh! Eh! Um … ah!” Juna tersadar dan lekas mengembalikan sikap normalnya meski masih terlihat gugup dan canggung. Dia mengusap tengkuk sambil mempersilahkan sosok yang dia panggil sebagai Tuan Putri ke sofa. “Silahkan duduk dulu!”“Um … te—terima kasih ….” Sahutan pelan suara merdu mengalun dari mulut Tuan Putri. Dia juga sama canggungnya seperti Juna.“Oh, Ratna, sediakan minum untuk klien kita ini!” peri