Juna baru saja selesai sarapan pagi dan hendak ke kamar untuk mengambil tas kerja dan jasnya ketika Leila datang ke rumah Hartono.‘Ini sudah beberapa hari berlalu semenjak wanita jahat ini mengirimkan jin perempuan ke Wenti. Sekarang semua sudah tenang di sini, hendak apa lagi dia?’ Benak Juna tidak bisa tidak mempertanyakan maksud kedatangan Leila.‘Bahkan, beberapa hari ini Lenita sudah patuh padaku seperti anak kucing.’ Juna membatin sembari melirik istri di dekatnya.“Mama ….” Lenita memanggil ibunya saat dia hendak ke kamar bersama Juna.Sorot mata Leila menyiratkan ketidaksukaan atas sikap patuh putrinya kepada Juna, tapi dia masih punya urusan lain yang perlu dikatakan di sana. Mengenai perubahan sikap Lenita, dia urus nanti saja.“Heh, kamu, menantu bajingan!” Leila segera menudingkan telunjuk secara tegas disertai tatapan penuh kebencian ke Juna. “Aku akan mengurusmu nanti, setelah aku mengurus si betina jalang itu!” Dia memaksudkan Wenti.Hartono keluar dari ruang makan did
Memang sebuah keputusan yang tepat bagi Juna memecah sedikit jiwanya untuk mendampingi Wenti, terlebih dalam masa kehamilan istri muda Hartono itu.Karena, ternyata tidak hanya makhluk ghaib saja yang dikirim Leila untuk mencelakakan Wenti, tapi juga preman-preman suruhan. Mereka semua mengintai rumah Hartono, dan akan bergerak jika melihat mobil yang membawa Wenti pergi keluar.Bagaimana pun juga, Wenti diberikan toko roti oleh Hartono untuk dikelola. Biasanya dia akan mendatangi toko di siang hari dan akan di sana hingga jam 4 sore.Juna sudah dua kali menghalau preman-preman itu. Namun, rupanya Leila sangat berlimpah uang sampai tidak pernah kekurangan orang bayaran untuk membayar preman demi bisa mencelakai saingannya.‘Aku heran dengan macan betina tua satu itu. Padahal suaminya tidak kurang-kurang memberi dia uang selain usaha toko emas lumayan besar di Samanggi ini. Tapi kenapa masih saja ingin melenyapkan saingannya.’ Juna tak habis pikir.‘Tapi, yah, namanya orang serakah, he
Juna langsung bisa merasakan adanya situasi gawat pada Wenti dan Iwang. Saat ini dia sedang berada di kantor dan di tengah rapat dewan direksi.Ingin sekali Juna keluar dari ruangan agar dia bisa lebih fokus menolong Wenti, tapi tak enak karena ini menyangkut profesionalitas kerja.Tapi, Wenti dan Iwang juga penting. Bagaimana ini? Apalagi, dia bisa merasakan bahwa dua puluhan orang yang ada di empat mobil yang mengincar Wenti, semuanya memiliki senjata api.Meskipun mungkin pecahan jiwanya yang dia tempatkan di sisi Wenti, tapi kalau belasan orang itu menyerang sekaligus, itu juga sangat menyusahkan.Srakk!Juna bangkit dari kursinya dengan tergesa-gesa, bicara pada Velina dan yang lainnya. “Tolong Pak Darmawan yang pimpin rapat dulu, saya ada kepentingan yang tak bisa ditunda.”Para direksi hanya bisa mengangguk dengan tatapan bingung ketika melihat gelagat gelisah dari Juna yang bergegas keluar ruangan.“Karena Pak Juna sedang ada kepentingan mendadak, maka silahkan Pak Darmawan me
Wenti heran dengan suara ‘bak buk brak’ di luar sana. Dia pelan-pelan bangun dari posisi meringkuknya untuk melihat keadaan. Matanya membola kaget ketika melihat ternyata Juna ada di depan sana, sibuk bertarung dengan para preman.Ini bahkan Juna sedang menghajar bos premannya. Tak hanya mematahkan tulang pergelangan tangan, Juna juga membuat bos preman itu meraung kesakitan ketika tulang lengan, tulang bahu, juga lututnya dipatahkan Juna.Meski ngeri melihat adegan sadis di depan matanya, tapi Wenti sangat bersyukur akan kehadiran Juna yang sangat tepat waktu. ‘Aku tak tahu akan jadi seperti apa aku jika Juna tidak ada.’Iwang yang awalnya ciut karena dominasi preman, kini dia bersemangat dan berseru antusias, “Wuhu! Ayo, Mas Juna! Tampol dia, Mas! Tonjok muka jahatnya! Ya, bagus, Mas!” Sembari menyemangati Juna, dia ikut menggerakkan tangan seakan sedang bertinju melawan udara kosong.“Aarghhh!” Bos preman itu menjerit pilu ketika tulang sendi lututnya yang kedua dipatahkan Juna seh
Tindakan memohon Leila sambil berlutut dan memelas pada Hartono tidak pernah diduga siapapun, termasuk Juna. Matanya melebar, takut salah melihat apa yang tersaji di depannya.Namun, mau berkedip sebanyak apapun, Juna masih saja menyaksikan adegan Leila berlutut sembari memohon ampun ke Hartono.“Pih, aku ini khilaf, Pih! Aku hanya didorong rasa cemburu! Aku takut anaknya Wenti akan menguasai warisanmu tanpa meninggalkan sedikit pun untuk Nita, anakku.” Leila meraungkan tangisnya sambil memeluk kaki suaminya.“Pih, aku mohon ampunmu, Pih … aku berbuat begini demi anakku. Aku … aku juga melakukan ini atas dasar rasa cintaku yang begitu besar padamu, aku belum bisa merelakan kamu dengannya, Pih … aku masih sakit hati dengan hubungan kalian. Pih! Kamu tak akan melupakan bagaimana pelayananku kepadamu sejak dulu kita awal menikah, kan?” Leila mencoba membawa nostalgia masa lalu keharmonisan mereka ke Hartono.Demi tidak ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Leila bersedia meruntuhkan harg
“Mama! Mama!” Lenita terus saja meraungkan ibunya semenjak jenazah Leila sudah berada di rumah Hartono. Banyak kerabatnya yang terus menghibur dia.Juna masih membantu mengatur ini dan itu bersama Hartono untuk mempersiapkan pemakaman Leila. Ruang tamu dan ruang tengah dipenuhi tetangga.Orang-orang yang datang melayat diterima di ruang tamu, sedangkan ibu-ibu tetangga dan kerabat Leila lainnya membuat roncean tali dari bunga melati dan kuncup mawar serta berbagai bunga lainnya untuk nantinya dipakai sebagai hiasan di atas keranda.Lenita masih tak berhenti memikirkan dirinya sudah kehilangan seorang ibu yang biasanya menjadi pendukung penuh dirinya dalam hal apapun kecuali untuk hal Juna.‘Apa yang akan aku lakukan tanpa ada mama? Aku bagaimana kalau tak ada mama? Siapa yang membelaku kalau nanti si jalang betina itu jahat padaku? Mama … kenapa mama malah mati? Mama jahat! Kenapa mama malah mati? Pesawat sialan! Pilot tolol! Dasar pilot tak berguna! Tak bisa menjalankan pesawat! Memb
Ada berbagai macam rasa di hati Juna saat ini usai dia benar-benar diyakinkan oleh dokter bahwa istrinya hamil. Meski dia sudah memiliki prediksi sebelumnya di pemakaman Leila, tapi kini dia semakin teguh memercayai ada anaknya di perut Lenita.Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, senyum tak pernah lepas dari bibir Juna.‘Aku akan menjadi seorang ayah! Seorang ayah! Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, sesuatu yang belum pernah aku capai selama hidupku sejak dulu sekalipun!’Juna berteriak di benaknya ketika membayangkan dia akan menjadi seorang bapak beberapa bulan ke depan. Saat ini usia kehamilan Lenita sudah mencapai hampir 8 minggu.Untuk kesekian kalinya, Juna menoleh ke istrinya di samping dan senyum masih terbit di wajah, hingga Lenita heran.“Ada apa, sih Jun?” Berbeda dengan Juna, tanggapan Lenita mengenai kehamilannya justru datar saja. “Biasa saja, kenapa?”“Loh! Kok kehamilan dianggap biasa?” Juna agak heran dengan reaksi istrinya. Bukankah biasanya perempuan yang sang
Juna sudah tidak bisa bersabar lagi setelah satu bulan lebih dia seperti diabaikan dan tidak direspon dengan baik apapun usahanya menyenangkan hati sang istri.Menahan diri agar tidak emosi berlebihan, Juna tetap mencabut ponsel dari tangan Lenita meski dilakukan dengan gerakan pelan.“Len, sebenarnya kamu ada apa akhir-akhir ini, hm?” Juna mengambil ponsel di tangan istrinya dengan harapan dia bisa berbicara dengan serius bersama Lenita.“Kembalikan! Kembalikan ponselku!” Lenita membentak Juna.Sikap Lenita agak mengejutkan Juna. Seolah itu kembali ke Lenita yang lama, sorot matanya juga sedingin saat Juna pertama kali bertemu usai dia bangun di tubuh Arjuna.“Aku kembalikan nanti setelah kita bicara dulu, Len.” Juna masih memperluas lautan kesabarannya dengan berbicara menggunakan nada suara lembut, tidak setegas biasanya.“Bicara apa lagi?” Lenita menjawab secara ketus sambil tangannya berusaha mengambil kembali ponselnya dari Juna.Namun, tentu saja Juna tak mau menyerahkannya. “A
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag