Juna melirik istri di sampingnya dan menjawab, “Ya. Aku menang war tiket.” Dia tersenyum. Padahal dia mendapatkannya dari calo beberapa hari lalu.Harga berapapun tidak masalah baginya karena membeli di hari yang sangat berdekatan dengan hari H konser, yang penting dia bisa membuat Leila sakit kepala nantinya dengan bantuan Lenita.Juna sebenarnya tidak begitu paham dengan musik era ini. Dia hanya melihat ada sebuah konser yang sangat dinantikan oleh begitu banyak warga Nusantara, makanya dia meyakini Lenita tak akan menolak jika diajak ke konser tersebut.Kalaupun Lenita tak mengenal musiknya, dia yakin istrinya masih bersedia menemaninya menonton konser karena pasti Lenita tak ingin dia mengajak orang lain.Juna sudah paham seperti apa jalan pikiran sang istri. Dia sudah menggenggam psikologis Lenita.Sesampainya di venue, sudah begitu banyak orang di sana. Juna terus melindungi Lenita menuju ke area festival seperti yang tertera di tiket.Lenita tidak menyia-nyiakan kesempatan ini
Nita sedikit gugup mendengar bentakan keras ibunya yang berang karena ulahnya. Padahal dia semalam sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi semacam ini, tapi ternyata ketika berhadapan langsung dengan ibunya, dia selalu kecut.Lenita kelimpungan mencari alasan, padahal semalam dia sudah mempersiapkannya, tapi mendadak otaknya kosong. “M—Ma … ini … aku … aku belum siap ….”“Belum siap apanya?!” teriak Leila semakin murka. “Mama sudah bayar mahal pengacara untuk kamu, tapi bisa-bisanya kamu malah kendur dan ingin mundur! Kamu ini sudah diracuni apa oleh si bajingan brengsek itu?”“Mama jangan bicara begitu tentang suami aku!” Lenita lama-lama jengah juga bila mendengar ibunya memaki-maki suaminya.“Oh! Kamu sekarang sudah pintar membela dia, ya?” Leila mengendurkan suaranya meski dari raut wajahnya, akan ada badai setelah ini. “Kamu ingin jadi anak durhaka? Kamu ingin Mama mati berdiri gara-gara kamu?!” Dan lengkingan membahana terdengar di seluruh ruangan hingga ke halaman bel
Banyak orang di sekitar Juna yang terkejut dan para wanita memekik. Beberapa ibu-ibu bergegas menghampiri Juna untuk menanyakan kondisinya.“Mas, kamu kenapa?” Salah satu ibu bertanya.Disusul ibu lainnya sambil memegang Juna, “Ada yang sakit, Mas?”Juna berangsur-angsur membaik, tepat ketika sosok itu menjauh darinya.Dari kejauhan, Lenita berlari mendekat dengan raut wajah cemas. “Juna! Juna! Kamu kenapa?”“Umh, entah.” Juna pelan-pelan berdiri sambil dibantu dua ibu-ibu dan Lenita. “Tapi ini sudah tidak kenapa-kenapa, sih!” Dia merasakan rasa sakit di kepala dan jantungnya sudah reda dan menghilang dengan cepat.Melihat Juna sudah bisa berdiri, dua ibu-ibu itu segera meninggalkan dia dalam penanganan Lenita. Apalagi Lenita menatap judes mereka seakan takut Juna terlalu banyak disentuh-sentuh mereka.“Maaf, Len, minumannya tumpah.” Mata Juna menatap dua kemasan minuman yang sudah berceceran di lantai paving.“Sudahlah, biarkan saja.” Lenita memapah suaminya berjalan. “Bagaimana? Sud
Lagi-lagi, Hartono melihat aksi Wenti membetulkan dasi Juna. Mana mungkin dia tidak merasakan gejolak cemburu? Apalagi usia Wenti dan Juna tak terpaut jauh.Hartono sudah bersiap hendak menegur, tapi raut wajah gaharnya mendadak berubah menjadi tatapan cemas ketika melihat istrinya tiba-tiba kehilangan kesadaran.“Ma! Mama!” Juna sudah memeluk Wenti yang mendadak pingsan begitu saja saat sedang membetulkan dasinya.“Sayang? Kamu kenapa, Sayang?” Hartono mengambil alih Wenti dari pelukan Juna. “Sudah, kamu minggir saja, Jun!” usirnya dengan tatapan sengit ke menantunya.Juna menyerahkan Wenti pada Hartono agar tidak ada salah paham di antara mereka. Tapi, dia masih merasa khawatir pada Wenti dan tidak beranjak dari sana.Hartono sedikit kepayahan ketika menggendong istrinya masuk ke kamar di lantai atas. Padahal Juna menawarkan dirinya untuk membantu, tapi ditolak mentah-mentah.Anak tangga masih setengah lagi yang harus dilalui Hartono, dan dia bersikeras tetap membopong istrinya ke l
Pikiran Hartono penuh akan pertanyaan dan dugaan buruk mengenai kehamilan istrinya. Ini gara-gara dia berulang kali dihasut Leila yang mengatakan bahwa pekerja di rumahnya kerap menjumpai kemesraan antara Juna dan Wenti di belakang dia.Leila tidak bersedia memberitahu siapa pekerja yang dimaksud. Dia bahkan bisa memberikan rekaman CCTV ketika Juna dan Wenti berbincang akrab di sudut taman depan.Pernah juga Hartono dikirimi CCTV saat Juna memegangi tangan Wenti yang hendak naik ke bangku kecil untuk mengurus tanaman hias. Atau Wenti yang berpegangan pada bahu Juna ketika hendak turun dari kursi kecil usai mengambil sesuatu di atas lemari dapur.Mana bisa Hartono mengabaikan rekaman semacam itu? Ditambah lagi dia sendiri memergoki istrinya dan Juna terlihat sangat akrab jika tak bisa dikatakan mesra.Seperti pagi ini saat Wenti membetulkan dasi Juna di teras depan, hal demikian menambah tumpukan kecurigaan bagi Hartono.‘Benarkah itu anakku? Dari benihku?’ Pertanyaan ini terus saja be
Mendengar tantangan beserta taruhan dari Juna, nyali Leila sedikit ciut. Kini dia justru mempertanyakan keyakinannya sendiri mengenai tuduhan dia ke menantu dan madunya.‘Kira-kira mereka benar selingkuh atau tidak, ya? Informasi Rendi valid atau tidak, sih? Gawat kalau ternyata itu sungguhan anak Hartono!’ Batin Leila bergumul dengan egonya.“Bagaimana, Ma? Berani?” Juna kembali bersuara, menyadarkan Leila akan perenungan pemikirannya.Dagu Leila terangkat dengan angkuh, tak mau memperlihatkan kelemahannya. “Berani-beraninya kamu bicara begitu ke aku. Bukankah kau ini menantu kurang ajar?” Dia membelokkan ke hal lain supaya aman.“Ini bukan kurang ajar, Ma. Hanya ingin permasalahan ini bisa jelas dan tidak berlarut-larut.” Juna tersenyum kecil, namun tentu saja batinnya tertawa keras.‘Nah, nah! Lihat! Kau kelimpungan sendiri, kan? Siapa suruh kau bermain licik, dasar wanita culas!’ batin Juna sambil tertawa dalam hati.“Awas saja kamu!” Leila mengerling tajam ke Juna sambil berputar
Hartono cukup terkejut mengetahui bahwa adik Wenti wajahnya mirip seperti Juna. Meski tidak 100 persen mirip, namun fitur wajah mereka sama.Akhirnya kini Hartono paham dengan rasa sayang yang ditunjukkan Wenti ke Juna, ternyata itu bukan mengenai asmara lelaki dan wanita, melainkan karena di mata Wenti, Juna dianggap pengganti adiknya yang telah meninggal.Dikarenakan itu, Hartono menjadi semakin merasa bersalah ke istri mudanya, dia berlutut di samping Wenti sambil mengecupi tangan sang istri lalu mengecupi perut Wenti yang belum terlalu terlihat hamil.“Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku juga, yah anakku di dalam sana. Maafkan papamu ini, yah!” Hartono terus mengecupi perut Wenti sambil berucap lirih penuh penghayatan atas penyesalannya.Wenti mengusap kepala suaminya sambil tersenyum. Tak perlu berlama-lama kesal jika sang suami sudah menyadari kekeliruannya. Dia bukan orang pendendam, maka kalau sudah jernih, ya sudah, tak perlu diperkeruh lagi dengan dendam.Wajar saja apabila Har
Juna baru saja selesai sarapan pagi dan hendak ke kamar untuk mengambil tas kerja dan jasnya ketika Leila datang ke rumah Hartono.‘Ini sudah beberapa hari berlalu semenjak wanita jahat ini mengirimkan jin perempuan ke Wenti. Sekarang semua sudah tenang di sini, hendak apa lagi dia?’ Benak Juna tidak bisa tidak mempertanyakan maksud kedatangan Leila.‘Bahkan, beberapa hari ini Lenita sudah patuh padaku seperti anak kucing.’ Juna membatin sembari melirik istri di dekatnya.“Mama ….” Lenita memanggil ibunya saat dia hendak ke kamar bersama Juna.Sorot mata Leila menyiratkan ketidaksukaan atas sikap patuh putrinya kepada Juna, tapi dia masih punya urusan lain yang perlu dikatakan di sana. Mengenai perubahan sikap Lenita, dia urus nanti saja.“Heh, kamu, menantu bajingan!” Leila segera menudingkan telunjuk secara tegas disertai tatapan penuh kebencian ke Juna. “Aku akan mengurusmu nanti, setelah aku mengurus si betina jalang itu!” Dia memaksudkan Wenti.Hartono keluar dari ruang makan did