Mata Juna berputar jengah, lagi-lagi mencetuskan mengenai perceraian, sungguh kekanakan, kalau ada masalah, solusi langsung ke cerai, bukannya mencari jalan keluar yang lebih menyenangkan.“Kamu pikir pernikahan itu hanya sebatas permainan atau apa, hm?” Juna masih menatap tajam istrinya, dia geram karena bisa-bisanya Lenita menuduh dia yang aneh-aneh.Bagaimana mungkin dia ingin membuat affair terlarang dengan Wenti yang berstatus ibu mertua? Dia belum segila itu. Dia belum sebobrok itu moralnya.‘Meski Wenti cantik, muda, dan molek, bukan berarti aku berminat ingin melakukan hal-hal intim tak senonoh dengannya! Dia itu ibu mertuaku, mau bagaimanapun juga! Lenita gila!’ rutuk Juna di hatinya.“Juna! Sakit! Ini sakit!” jerit Lenita sambil berjuang melepaskan kedua tangannya dari genggaman ketat suaminya.“Tidak akan aku lepaskan sebelum kamu minta maaf pada Mama Wen.” Juna bersikeras terus mengetatkan genggamannya di pergelangan tangan Lenita.“Ju—Juna, jangan begitu.” Wenti memegangi
Juna memiliki rencana sendiri. Dia bahkan ingin mempermainkan orang-orang itu.Sebagian dari pria di dalam sana adalah yang dia incar, sedangkan sisanya akan dia tindak karena melakukan judi ilegal, apalagi di kawasan pemukiman penduduk meski tergolong daerah pinggiran yang agak sepi, tetap saja sungguh meresahkan masyarakat.Pertama-tama ….Kraakk … krekk … taakk ….“Eh? Bunyi apa itu?” tanya salah seorang dari mereka sambil menghentikan tangannya yang masih memegang kartu sembari kepalanya mendongak ke atas. Sepertinya dia pemimpin kelompok judi dan pemilik rumah tersebut. Tubuhnya besar dengan perut buncit yang ditutup dengan kaos singlet putih lusuh dan sarung tua.“Memangnya apa yang kau dengar, kawan? Sudah, teruskan mainnya! Paling-paling itu kucing di atap!” Kawannya yang lain membanting kartu di tangannya dan terkekeh. “Ha ha! Lihat, aku dapat flush!”“Halah! Dapat flush saja bangga! Nih! Aku full house!” Kawannya yang lain tertawa keras sambil menguak kartu miliknya yang dit
“Ho ho ho ….” Juna mengganti suaranya dengan suara berat, serak, dan dalam agar mereka semakin gentar.Benar saja, mereka semua memang mulai gentar. Namun, pemilik rumah itu sepertinya lebih berani dari semua yang di sana. Dia membentak Juna, “Kau manusia! Ya, kan?”Juna tak mengira pemilik rumah langsung mengetahui bahwa dia memang bukan hantu apalagi setan. “Ha ha ha! Ya, aku memang manusia.”Sama sekali tidak ragu untuk mengakuinya. Usai mengatakan itu, Juna cukup melambaikan tangan dan pintu mendadak saja tertutup dengan bunyi berdebam cukup keras seperti dihempas angin kuat.“Ahhh!” Banyak yang kaget dan terlonjak di tempat gara-gara bantingan pintu ulah Juna tadi.Mereka yang tadinya mulai kembali mendapatkan keberanian karena ternyata Juna hanyalah manusia, apalagi setelah melihat jelas bahwa Juna memakai masker dan topi, kini mereka kembali ciut akibat keanehan pintu akibat kibasan tangan Juna.Ada yang mengucapkan doa dengan suara bergetar, sampai kepalanya ditepuk keras oleh
Polisi belum sempat bertanya ini dan itu pada Juna, tapi dia sudah lebih dulu melesat pergi dan menghilang tanpa bisa ditemukan mata.“Cepat sekali dia pergi!” Ketua tim polisi sampai terheran-heran. Lalu dia memandang bukti yang diserahkan Juna berupa kamera mini yang berisi rekaman perjudian di rumah tersebut.“Bawa mereka semua ke truk!” Ketua tim memberi perintah ke anak-anak buahnya.“Baik!” Lalu, para polisi segera menggiring semua orang di rumah itu menaiki truk yang sudah disediakan.Sementara itu, Juna sebenarnya masih dekat dari rumah tersebut, dan dia benar-benar pergi ketika melihat polisi menaikkan para pelaku perjudian. Dia sudah memiliki bukti tersendiri.‘Untung aku menyiapkan dua kamera mini. Hm, tidak kusangka di zaman ini ada benda praktis semacam ini.’ Juna sudah bersiap pergi dari sana, tapi sosok bergaun putih melayang di sebelahnya.“Bang, rumah yang tadi, boleh aku tempati?” tanya si sosok bergaun putih tanpa menggunakan bahasa roh.“Tempati saja! Ajak teman-te
Juna menampakkan dirinya tanpa melepas masker yang menutupi wajahnya. Dia lekas melesat ke Parto dan berdiri di depan hidung anak buah Leila itu.Tubuh Parto gemetar saat dia menatap Juna yang dia kira makhluk astral.“Berlutut!” tegas Juna dengan suara penuh wibawa.Seperti ada sesuatu yang menekan jiwa Parto, lelaki itu segera berlutut takluk di depan Juna. Mentalnya sudah jatuh karena dia meyakini bahwa keanehan di kamar sang pacar adalah karena sosok misterius di depannya.Satu tangan Juna terulur dan telapak tangannya seakan memiliki daya tarik kuat sehingga kursi yang cukup jauh di sudut ruangan melesat di tangannya, sehingga dia bisa duduk di depan Parto.Ketika menyaksikan adegan itu, mana mungkin Parto masih berpikir sosok di depannya manusia?“Kamu … aku mewakili dewata penghukum untuk mengurusmu!” Juna sedikit mengubah suaranya, siapa tahu Parto mengingat suara Arjuna sebelumnya.“A—ampun … ampuni saya, Dewata! Ampuni saya!” Parto benar-benar meyakini makhluk di depannya ad
Suasana sedikit hiruk-pikuk gara-gara bungkusan kotak kecil yang sangat mencurigakan di dekat gerbang masuk.Tetangga berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, tapi petugas polisi segera meminta mereka bubar dan dilarang mendekat demi keselamatan.Hartono dan Wenti saling berpegangan tangan, wajah mereka penuh akan kecemasan.Sementara itu, Juna kesal, dia merutuk di hati, ‘Sialan! Kenapa malah harus memanggil polisi penjinak bom segala? Apanya yang harus dijinakkan?’ Ketika penjinak bom berhasil membuka kotak itu secara perlahan-lahan, terkuaklah apa isi di dalamnya.Sebuah flashdisk.“Hah?” Polisi penjinak bom sampai tak bisa menahan keheranannya. Dia mengangkat benda kecil seukuran kelingking dan menunjukkan ke rekannya.“Flashdisk?” Rekannya ikut bingung. “Hanya itu?”“Hanya ini.” Petugas itu kemudian berdiri dan menyampaikan temuannya pada Hartono.“Eh? Ini? Cuma ini, Pak?” Ekspresi Hartono sama seperti dua petugas tadi.Petugas mengangguk dan setelahnya mereka mengemasi alat
Tak hanya para polisi saja yang terkejut atas ucapan Hartono, tapi Juna dan pekerja rumah Hartono di sana pun ikut terkejut. Mereka tak menyangka Hartono memiliki permintaan demikian.“Tapi, Pak, ini sudah berkaitan dengan nyawa serta keselamatan seseorang.” Polisi mendebat Hartono dengan bahasa sehalus mungkin. Bagaimana pun, Hartono adalah pengusaha besar di Kota Samanggi, tak bisa sembarangan bertingkah di depannya.“Bapak polisi sekalian bisa meringkus para penjahat di rekaman CCTV itu, saya tidak peduli, tapi biarkan saya menangani sendiri mengenai istri pertama saya.” Hartono bersikeras dengan keinginannya. Lalu, dia menoleh ke Wenti di sisinya. “Mamah, kamu setuju dengan niatku ini, kan?”Sebagai orang yang tidak memiliki kuasa apapun dan menggantungkan hidup dan cintanya ke Hartono, Wenti tak punya opsi lain selain mengangguk pelan. “Iya, Mas, silahkan Mas saja yang atur.”Juna geram sekali. Padahal dia sudah gembira karena akhirnya Leila akan menemui batunya. Tapi … ‘Huh! Har
Metode yang digunakan Juna ke para penculik Wenti sebelumnya sama seperti yang dia gunakan terhadap para pelaku pembobol rumah Hartono.Dia kini sudah mengantongi bukti rekaman pengakuan mereka. Tapi dia ingin menghukum orang-orang itu.Menggunakan kemampuan untuk memerintah makhluk astral terdekat yang lemah, dia menggunakannya sebagai sarana intimidasi pada para penculik Wenti.Mereka berhasil dikumpulkan di sebuah gudang kosong dan Juna cukup beruntung menemukan banyak makhluk astral di tempat itu yang bisa dia perintah.Maka, sudah bisa dibayangkan seperti apa teror yang dihadapi para penculik itu ketika mereka dipaksa melihat sosok-sosok menyeramkan di sekeliling mereka.Yang lebih parah dari teror makhluk-makhluk seram itu adalah … Juna membuat mereka tidak bisa bergerak dan tak bisa pingsan. Dia memiliki banyak ajian yang bisa dia pilih sesuai kebutuhan.“Arrghh! Jangan! Jangan!” teriak salah satu penculik. Tulang lengannya baru saja sembuh tapi kini dia menemui bencana lainny